Oleh Widodo (Jawa Pos, 18 Februari 2018)
Buku ini merangkum kegelisahan dan kritik Putu Wijaya terhadap situasi yang tidak semestinya terjadi di Indonesia. Bisa dengan santai melompat dari kenyataan sehari-hari ke dunia imajinasi.
***
SEBAGAIMANA karya-karyanya yang lain, dalam buku ini I Gusti Ngurah Putu Wijaya (atau lebih dikenal dengan Putu Wijaya) banyak bertutur kepada kita mengenai kemanusiaan dan ketidakadilan. Dengan gayanya yang khas dia dan bahasa yang lugas, kita disadarkan akan berbagai kompleksitas dan peliknya persoalan-persoalan yang tengah melilit dan menghantam negeri ini.
Kegelisahan-kegelisahan dan kritik-kritiknya terkait dengan situasi dan kondisi yang tidak semestinya terjadi di negeri ini hampir semuanya bisa didapatkan dengan membaca, dan menyelami pesan-pesan, dari kumpulan cerpen ini.
Buku ini juga mengajak kita untuk semakin mengenal “absurditas” ala Putu Wijaya. Ia mampu menuliskan cerita tragik kemanusiaan dengan lancar. Dengan bumbu-bumbu emosi yang padat dalam aroma kegetiran dan kegelisahan untuk pencarian kebenaran yang hakiki.
Gaya personifikasi dengan menggunakan tokoh layang-layang putus yang tidak mau kembali ke Indonesia, hanya karena si layang-layang bosan mendengar orang berdebat kusir hanya untuk mengalahkan lawannya, langsung mengusik perhatian. Para pemimpin yang suka berantem dan tidak memedulikan nasib rakyat seperti mengajak pembaca buku ini untuk sadar akan kondisi yang sebenarnya pada saat ini. (halaman 7–8).
Kita juga digiring dengan mengarahkan alam bawah sadar kita untuk terus menerus berpikir, merenung, dan mengendapkan rasa kita akan arti penting menjaga ke-Indonesiaan kita. Itu, misalnya, bisa ditengok di cerpen yang ditulis Putu dalam rangka haul yang ketujuh Abdurrah man Wahid (Gus Dur). Karena sejatinya, perbedaan bukanlah persengketaan, tetapi nuansa yang menyempurnakan. Dan hanya yang bisa merasa damai dalam per bedaanlah yang akan tetap menjadikan Nusantara negeri yang abadi. (halaman 43).
Di cerpen bertajuk Merdeka, Putu ber tutur tentang pergulatan batin yang dahsyat untuk tetap menjaga idealisme. Mati-matian untuk tetap teguh dalam memperjuangkan kebenaran yang hakiki. Dan, tak kenal lelah untuk memerdekakan Indonesia dari kemiskinan dan kezaliman pemimpinnya sendiri.
Di cerpen yang lain, Peradilan Rakyat, Putu menyiratkan sebuah pesan tentang pentingnya pengadilan yang objektif dan independen. Sebab, kalau tidak, pada akhirnya hanya akan melahirkan peradilan rakyat yang penuh dengan kekacauan, suasana chaos, dan kekacauan masal yang dilakukan oleh rakyat karena ketidakpuasan akan keputusan pengadilan.
Pada akhirnya, buku ini meninggalkan pesan-pesan penting dan pencerahan kepada kita untuk bersiteguh dengan nilai-nilai moralitas di segala lini kehidupan. Meskipun tidak mudah untuk melaksanakannya karena banyaknya hambatan yang mesti dihadapi.
Buku ini juga semakin meneguhkan sosok Putu Wijaya sebagai seorang pengarang sekaligus sastrawan yang piawai bermain-main dengan absurditas. Dari dunia sehari-hari dengan santai melompat ke dunia khayalan atau imajinasi. Seolah-olah ia mau menyampaikan pesan: saya tidak mau terikat oleh teori-teori bagaimana seharusnya bercerita dan bagaimana membuat sebuah cerita. (*)
Judul: JRENG
Penulis: Putu Wijaya
Penerbit: Basabasi, Jogjakarta
Cetakan: Cetakan Pertama, Januari 2018
Tebal: 414 halaman
Widodo, Guru SMP Negeri 2 Sudimoro, Kabupaten Pacitan; penggemar sastra.
Leave a Reply