Cerpen E. Widiantoro (Pontianak Post, 30 Juni 2019)
Orang-orang Tanjung Nipah gerah sebenarnya. Gerah dengan Wak Jiban. Setiap masuk waktu salat, bersegeralah ia meraih mikrofon surau lalu azan. Suaranya, begitulah. Jika tak boleh dibilang jelek ya, sumbang. Cempreng! Orang-orang yang mendengar, jamaah surau biasa saling pandang. Geleng-geleng kepala. Nah, inilah. Ini masalahnya. Suara Wak Jiban begitu. Makhrajul huruf pun begitu. Huruf syin disebutnya sin. Huruf ‘ain di sebutnya alif. Wah, parah!
Orang-orang di Tanjung Nipah; Long Murad, Acik Ahyar, Anjang Masir datang ke rumahku di Ketapang. Mereka bicara soal Wak Jiban. Soal suara azan yang jelek itu.
“Tolonglah Bang Kahfi. Abang kan anak ruah Wak Subhi pemilik surau. Kalau Abang yang bicara, mungkin Wak Jiban mau mendengar karena Wak Subhi dan Wak Jiban berteman karib . Janganlah dia terus yang azan begitu. Gantianlah dengan orang lain yang lebih baik suaranya, baik pula melafalkan hurufnya,” kata Long Murad.
Aku mengangguk tersenyum. Benar kata mereka. Aku memang anak sulung bapak yang telah membangun surau di tengah kampung Tanjung Nipah tetapi apa hakku mengatur orang. Surau itu telah ada pengurusnya. Biarlah sesama pengurus yang bermusyawarah menyikapi persoalan Wak Jiban.
“Gimane, Bang?” tanya Acik Ahyar.
“Sebaiknya kawan-kawan musyawarah jak dulu dengan pengurus surau. Insya Allah pasti ada jalan gimane menyelesaikan persoalan Wak Jiban,” kataku.
“Selama ini mereka ndak ada respons,” kata Anjang Masir.
“Mereka?” tanyaku.
“Siapa?” “Pengurus surau,” sahut Acik Ahyar.
“Mungkin belum ada yang mengajak mereka bicara,” kataku lagi.
“Sudah,” ujar Long Murad.
“Aku pernah mengajak mereka bicara tetapi ye, gitu’lah.”
“Mereka tak peduli,” tukas Acik Ahyar.
“Wak Jiban dibiarkan gitu’ jadi makin parah dah!”
“Jangan suudzon! Coba ajak mereka bicara sekali lagi,” kataku.
“Ngape harus bicara same pengurus, Bang? Ngape adak langsung Abang jak yang melarang. Abang orang yang paling berhak bicara sebagai ahli waris pendiri surau,” kata Long Murad. Aku menggeleng.
“Almarhum Bapakku memang pendiri surau, Long Murad. Namun jangan lupa, surau itu dah diwakafkan beliau kepada masyarakat, dalam hal ini diwakili oleh para penerima wakaf yang disebut nadzir. Semasa hidup bapak cuma wakif, orang yang berwakaf, tak ada hak bicara apapun tentang surau apa lagi aku,” kataku menatap satu-satu mereka yang duduk di depanku. Long Murad menarik napas panjang.
“Kepada siapa lagi kami harus mengadu soal Wak Jiban?” tanyanya.
“Kepada pengurus, nadzir yang telah menerima surau sebagai wakaf dari almarhum bapak,” kataku jelas, tegas.
“Kalo gitu maunya Abang, baiklah. Secepatnya kami akan bicara dengan pengurus surau,” kata Acik Ahyar.
“Ya, gian jak lebih baik,” kataku. Mereka lantas pamit pulang.
Seminggu kemudian mereka, mereka datang lagi ke rumahku. Bucara soal Wak Jiban.
“Sekarang kelakuan Wak Jiban makin parah,” kata Acik Ahyar.
“Ya, Bang.” timpal Long Murad.
“Makin parah dah,”
“Parahnya gimane, Long? Tak paham aku nih,” kataku.
“Semalam Anjang Masir dah siap azan waktu Magrib. Eee eeeh mikropon dirampas Wak Jiban lalu tenang jak dia azan,” jawab Long Murad.
“Ah, aku jadi geram hendak menegurnya tetapi malu dengan jamaah. Dah tue masih gak mau kelahi gara-gara azan,”
“Kawan-kawan dah musyawarah dengan pengurus surau?” tanyaku.
“Dah am,” jawab Acik Ahyar.
“Gimane responsnya?”
“Mereka akan menegur Wak Jiban tetapi sampe sekarang ape ade?! Kalo orang kayak Wak Jiban nih dibiarkan, wajar ada perempuan tua yang bilang kidung lebih indah dari suara azan “ katanya lalu diam.
“Minggu depan akan ada ulama muda dari Palestina hendak safari dakwah di Tanjung Nipah, singgah di surau kita. Kalo mendengar azan Wak Jiban apa katanya nanti. Malu kita, Bang.” kata Long Murad.
“Siapa di antara kawankawan yang suaranya merdu ketika azan?” tanyaku.
“Anjang Masir,” jawab Long Murad dan Acik Ahyar hampir bersamaan. Mendengar namanya disebut, Anjang Masir yang memang lebih muda usia dari mereka hanya tersipu.
“Anjang Masir lagu azannya mirip azan Madinah, Bang. Aku suka mendengarnya.” timpal Long Murad.
“Aku percaya,” kataku. “Selanjutnya apa yang harus kulakukan?”
“Sesuai niat kami semula datang ke sini, kami berharap Abang bisa bantu kami mencegah Wak Jiban. Tak usahlah dia azan di surau lagi.” kata Acik Ahyar.
“Aku tak bisa mencegah Wak Jiban azan. Aku hanya ingin Wak Jiban tak memandang sepele soal azan karena ada adabnya, ada syariatnya, ada fadilahnya. Azan sebagai seruan bagi setiap muslim untuk salat tak boleh dilakukan sembarangan,” kataku.
“Gianam maksud kami, Bang,” ujar Long Murad.
“Kami percaya Bang Kahfi bisa menyelesaikan persoalan ini,”
“Insya Allah, Bang,” sahutku. Mereka bertiga tersenyum puas, pamit kembali ke Tanjung Nipah, jaraknya hampir dua jam dengan speed boat ke hulu Sungai Pawan.
Sepeninggal mereka kutelepon Mak Andak Salbiah, istri Wak Jiban.
“Asaalamualaikum, Mak Andak,” sapaku.
“Waalaikum salam, Kahfi.” sahut Mak Andak Salbiah.
“Ape cerite kau nelpon nin?”
“Besok aku mau ke rumah, Mak. Sebelum Zuhur. Rase lama dah ndak ketemu Mak same Wak Jiban.”
“Bujor ndak e, ade pejabat di kote mau ke rumah kami te?”
“Bujor am, Mak. Besok aku datang ye, Mak. Nanti Mak Andak same Wak Jiban kubawakan… Eemmm,” kalimatku terhenti, berpikir sejenak oleholeh apa yang hendak kubawa ke rumah Wak Jiban.
“Kau bawakan keropok ikan jak, Kahfi. Wak Jiban kau paling suke keropok itu tuh,” suara Mak Andak Salbiah seolah bisa membaca pikiranku.
“O, iyelah, Mak. InsyaAllah besok kubawa keropok ikan ye. Mundurkan gak jam dinding, Mak.
“Eh, tok ape pula, Kahfi? Pas dah jam tuh,”
“Mundurkan jak, Mak. Lima belas menit ye, hanye untuk besok aku datang ke rumah Mak Andak jak.” kataku.
“Hhmmm, iyelah. Ade-ade te am kau ni,” kata Mak Andak lalu menutup handphone. Aku benar-benar ke rumah Wak Jiban. Ia dan Mak Andak Salbiah senang menyambutku datang. Kulihat jam besar di ruang tamu, kucocokkan dengan jarum dan angka di jam tanganku. Selisih lima belas menit. Kuhidangkan kerupuk ikan dari Ketapang di meja tamu.
“Wah, tau jak kau dengan makanan kesukaanku ye, Kahfi. Keropok ikan! Hheheee…!” tawa riang Wak Jiban melihat kerupuk ikan itu.
“Yo’kite makan same nasi putih gik panas nih,” kata Mak Andak Salbiah dari dapur membawa sebakul nasi beras kampung dan beberapa piring.
“Ikan asin Biawan same sambal belacan pun ade gak.”
“Sedaaaaappp,” kataku yang memang telah merasa lapar.
“Eh, jam berape sekarang, Kahfi?” tanya Wak Jiban melihat jam dinding.
“Mau ke mana, Wak?” tanyaku pada lelaki lima puluh sembilan tahun itu.
“Ke surau. Azan kite, Kahfi. Masuk Zuhur dah.” katanya.
“Belum, Wak. Masih lama. Makan lok kite,” kataku turut menatap jam dinding. “O, iyelah. Ayo’ makan. Lama dah kan kau ndak pernah agik makan di rumah nih sejak kau dilantik jadi kepala dinas,” katanya.
“Iye, bujor am, Wak. Setahun lebih dah,” kataku menyendok nasi ke mulut. Wak Jiban pun makan dengan lahap. Ketika sedang makan itulah, terdengar suara azan dari surau.
Wak Jiban sontak menghentikan makannya, mendengarkan azan dengan seksama.
“Suare siape azan tuh?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Ngape, Wak?”
“Jangak ye,”
“Iye. Nanti biar dia jak yang azan di surau, Wak. Suaranya merdu, makhrajul hurufnya pun baik, fasih, kita yang mendengarnya jadi suka. Orang tak mudah mencela azan. Tak bisa dia bilang suara kidung lebih indah dari suara azan,” kataku.
Wak Jiban mengangguk. Ia menghentikan makan, mencuci tangan di kobokan, mengeringkannya dengan sehelai serbet. Dilihatnya jam besar bergaya klasik di dinding.
“Jam dinding nih rosak dah. Waktunya ndak pas lagi. Mungkin beterenya dah habis. Aku tak bisa azan dah tetapi suara biyak tuh memang jangak,” katanya bergegas ke surau. Aku yang sedang mengunyah nasi mengatupkan bibir rapat-rapat, menahan senyum geli dalam hati.
Kuala Dua, 26 Juni 2019
Leave a Reply