RABU, 15 Desember 1943. Hukum alam telah ditaklukkan oleh kekuatan-kekuatan gaib. Bulan Desember, sebetulnya, bukan sekadar musim hujan, tapi puncak musim hujan. Karena kekuatan-kekuatan gaib, jauh sebelum bulan Desember, hujan tidak mau turun, bahkan hujan renyai pun tidak. Angin pun menderu-deru ganas, menerbangkan debu dan kotoran-kotoran menjijikkan, dan beberapa pohon bertumbangan.
Di sana-sini ada mayat, bergelimpangan karena kelaparan, bergelimpangan karena kekejaman serdadu-serdadu Jepang. Semua mayat kotor dan bau.
Rabu, 15 Desember 1943, berarti sudah hampir dua tahun pasukan Jepang masuk Surabaya, dan sudah tidak terhitung lagi jumlah orang yang sudah menjadi mayat.
Dulu, pada hari Senin, 9 Februari 1942, langit Surabaya tampak menakjubkan. Awalnya, belasan pesawat besar berdatangan, berputar-putar sebentar, lalu menjatuhkan serangkaian bom. Pesawat-pesawat besar pergi, lalu kembali lagi, dan menjatuhkan serangkain bom lagi.
Datanglah kemudian pesawat-pesawat kecil, semua terbang rendah, dan semuanya membrondongkan peluru. Begitu pesawat-pesawat kecil mundur, pesawat-pesawat besar datang lagi. Bukan menumpahkan bom, tapi menerjunkan pasukan payung.
Mulai hari itu Jepang resmi menduduki Surabaya. Pasukan Belanda tidak mau berbuat apa-apa. Banyak orang Belanda beberapa hari sebelumnya lari ke Australia, dan mereka yang tersisa di Surabaya dengan mudah dipukuli oleh serdadu-serdadu Jepang, dan perempuan-perempuan diperkosa.
***
Rabu, 15 Desember 1943, sudah hampir dua tahun pasukan Jepang masuk Surabaya. Orang-orang Surabaya mula-mula senang. Anak-anak sekolah dengan penuh semangat menyanyikan lagu “Inggris kita linggis dan Amerika kita setrika,” serta lagu-lagu mars Jepang.
Kesenangan bisa saja mirip pijar bola lampu. Awalnya berpijar terang, makin tua umur bola lampu, makin redup. Tiba saatnya, hanya dalam beberapa jam, bola lampu itu menyala dengan sangat tajam. Itulah tanda kawat pijar bola lampu akan putus. Begitu putus, tidak bakal ada pijar lagi.
Demikianlah orang-orang di Surabaya, dan demikian pulalah orang-orang di seluruh Indonesia. Bola lampu kegembiraan berpijar amat terang. Sesudah itu, yang tersisa adalah kekejaman serdadu-serdadu Jepang dan penderitaan rakyat. Banyak laki-laki tanpa sebab dipukuli serdadu Jepang, perempuan-perempuan muda hilang mendadak, dan penangkapan terhadap laki-laki muda hampir selalu ada. Lalu mereka entah diapakan, dan dijamin tidak akan pulang.
Rabu, 15 Desember 1943, seperti biasa, jam setengah tujuh pagi Misbahul meninggalkan rumahnya di Kedung Gang Buntu bersama tetangganya, Ratman, anak Mukarto, ke Sekolah Rakyat Kedung Rukem. Kepala sekolah, Peket namanya, dengan menirukan lagak serdadu Jepang, mondar-mandir sambil membawa tongkat komando. Peket kepala sekolah, tapi dia mondar-mandir tanpa sepatu dan tanpa sandal pula. Karena begitu Jepang masuk, sandal menjadi barang langka, apalagi sepatu. Pakaian Peket, mulai atas sampai ke bawah, robek-robek dan tampak sudah beberapa kali ditambal. Biasalah pakaian seperti itu.
Maksud Peket memang berjalan mondar-mandir dengan gagah seperti serdadu Jepang, tapi itu kan maksudnya. Hampir seluruh permukaan kulit Peket kudisan, maka sambil berjalan ke sana kemari, tangannya gencar mengaruk-garuk bagian-bagian tubuhnya mulai bawah ke atas, kembali lagi dari atas ke bawah. Satu tangan memegang tongkat komandan, tangan lain menggaruk-garuk. Dan memang, hampir semua orang Surabaya, sebulan setelah Jepang masuk, kena penyakit kulit.
Ternyata masih ada pemandangan lain pada pakaian Peket. Di sana-sini ada bercak darah. Itu pasti bekas kutu busuk yang diremukkan entah oleh Peket sendiri, atau istrinya, atau anaknya. Berita-berita sudah lama tersebar, begitu Jepang masuk, setiap malam serdadu-serdadu Jepang bersama begundal-begundalnya masuk ke gedung-gedung bioskop, kantor-kantor pemerintah, dan gedung-gedung pertemuan umum dengan membawa kaleng-kaleng besar berisi kutu busuk. Maka, begitu kaleng di buka, dijungkir, dan digedor-gedor, binatang-binatang terkutuk itu berlarian ke sana kemari, lalu dengan cepat beranak-pinak.
Rabu, 15 Desember 1943, seperti biasa, jam tujuh pagi lonceng besi dipukul. Lalu semua guru dan murid berbaris rapi dan seharusnya berdiri tegap. Mana mungkin berdiri tegap kalau tangan kanan dan tangan kiri terus-menerus harus menggaruk-garuk? Peket sebagai kepala sekolah pun, yang seharusnya memberi suri teladan, beberapa kali membongkok-bongkok menggaruk-garuk kakinya, pahanya, dan entah apanya lagi.
Upacara menaikkan bendera dimulai. Peket berkali-kali berteriak-teriak memberi aba-aba, sebab begitulah cara serdadu Jepang memberi aba-aba. Bendera dinaikkan perlahan-lahan diiringi lagu kebangsaan Jepang oleh semua murid dan guru. Lalu, semua guru dan murid membungkuk-bungkukkan tubuh beberapa kali menghadap ke arah Tokyo.
Setelah selesai, barulah Peket melancarkan khotbah. Seperti biasa, dia memuji-muji Jepang, dan memerintahkan semua guru dan murid untuk memuji-muji Jepang pula. Dan, seperti biasa pula, setiap kali berbicara, sudut-sudut mulut Peket selalu berbuih-buih, dan pada waktu berbicara ludah Peket bagaikan hujan renyai selalu menyembur-nyembur dari mulutnya.
Pukul 12 siang sekolah usai. Anak-anak berlari-larian pulang. Misbahul pulang bersama Ratman.
“Misbahul, kamu sahabat saya. Mengapa kamu kelihatan susah sekali?” tanya Ratman.
“Kamu tahu, Ratman, sudah satu minggu ibu saya hilang.”
Tiba-tiba suara sirine meraung-raung. Begitu sebuah sirine meraung, pasti semua sirine di seluruh Kota Surabaya dan sekitarnya ikut meraung-raung. Tanda bahaya. Pasukan musuh akan menyerbu. Atau, paling tidak, pasukan musuh sedang mengadakan pengintaian.
Misbahul dan Ratman berlari kencang ke sebuah gerombolan perdu, kemudian merebahkan tubuh. Dalam waktu sekejap, pasti sepeda-sepeda motor serdadu Jepang akan datang menderu-deru, mencari orang-orang yang berani keluar di jalan untuk dikorbankan. Barang siapa berani berada di jalan begitu sirine meraung, tidak akan diberi ampun. Orang-orang itu langsung ditabrak dengan kecepatan tinggi, lalu ditinggalkan begitu saja. Atau, mereka diserempet, ditinggalkan sebentar, kemudian digilas. Jangan heran, di mana-mana pasti ada orang berkelejatan, atau sudah tidak bernyawa.
Tidak berapa lama kemudian Misbahul dan Ratman mendengar deru sepeda motor. Seorang serdadu Jepang melaju di depan, disusul oleh serdadu Jepang lain.
Setelah dua sepeda motor itu tidak tampak, Misbahul berkata, “Rabu, 8 Desember lalu, kira-kira jam sekian, konon ibu saya sedang berjalan di kawasan Jalan Tidar. Ayah saya sedang ke luar kota. Sirine tiba-tiba meraung-raung. Sebelum ibu saya sempat berlindung, seorang serdadu Jepang mendekati dia dengan sepeda motornya. Lalu menarik tubuh ibu saya. lalu menjepit tubuh ibu saya. Lalu hilanglah ibu saya. Itu kononnya.”
***
Seperti yang terjadi setiap hari setelah Sulasmi hilang, Munir, suami Sulasmi dan ibu Misbahul, tampak linglung. Matanya bukan mata biasa, tapi mata orang kesurupan.
“Kamu tahu, Misbahul, di pojok jalan ini ada hutan. Di sebelah hutan ada makam khusus untuk orang-orang Kedung Gang Buntu. Nenek moyangmu semua ada di sana. Saya kelak akan ditanam di sana. Kamu kelak akan ditanam di sana. Kamu tahu apa yang terjadi ketika seseorang sudah menjadi jenazah? Dan dimasukkan ke dalam liang lahat? Awalnya semua dagingnya lenyap. Kemudian sisa-sisa dagingnya bersatu dengan tanah, menjadi tanah pula. Lalu, dalam waktu amat lama, sedikit demi sedikit tulang-belulangnya akan hancur , disusul dengan gigi dan kuku, juga menjadi tanah. Hanya satu yang sangat sukar menjadi tanah, yaitu rambut. Ibumu, perempuan anggun bernama Sulasmi, seharusnya ditanam di sana. Anak turunmu kelak akan menemukan rambutnya, seandainya jasad ibumu dimakamkan di sana. Itu seharusnya.”
Mata Munir tampak kosong.
“Apa yang kamu kerjakan di sekolah, Misbahul?”
“Membaca, berhitung, dan ilmu bumi. Semuanya diajarkan dengan cepat, sepintas lalu. Ada yang jauh lebih penting, kata kepala sekolah.”
“Kepala sekolah bernama Peket itu? Begundal Jepang? Apa yang dikerjakannya?”
“Menyuruh guru dan murid mencari biji jarak. Jepang berperang untuk kemerdekaan Indonesia. Minyak jarak diperlukan untuk melumasi kendaraan dan senjata. Ada juga guru dan murid yang disuruh mengumpulkan iles-iles. Dalam perang, iles-iles bisa jadi gula, bisa jadi makanan. Sisanya mencari bekicot. Bekicot merusak tanaman. Harus diberantas. Bekicot kering juga bisa dimakan. Bangsa Indonesia harus membantu Jepang, sebab Jepang berperang melawan Inggris dan Amerika. Kalau Inggris dan Amerika masuk Indonesia, pasti Belanda akan kembali menjajah Indonesia.”
Munir sudah sering mendengar, setiap hari Peket keliling dari satu kelas ke kelas lain, dan di setiap kelas dia pasti mencari korban untuk dihukum.
“Siapa korban Peket hari ini?”
“Darsini, anak perempuan. Ketika kepala sekolah mendadak masuk, Darsini sedang menguap. Kepala sekolah tertawa terbahak-bahak, lalu memaki-maki, lalu menjambak rambuk Darsini. Kepala sekolah membungkuk, mendekatkan mulutnya ke mulut Darsini. Kepala sekolah berdeham-deham agak lama, memancing-mancing dahak. Setelah dahak di mulut terkumpul banyak, kepala sekolah membuka mulut Darsini lebar-lebar. Semua isi mulut kepala sekolah ditumpahkan ke mulut Darsini. Kata kepala sekolah, begitulah cara guru Jepang mendidik murid-muridnya.”
***
Misbahul berjalan perlahan-lahan kea rah masjid kecil, tidak jauh dari hutan. Inilah masjid kecil Kedung Gang Buntu, didirikan oleh orang-orang Kedung Gang Buntu zaman dahulu, dan setiap ada kerusakan diperbaiki oleh orang-orang Kedung Gang Buntu pula. Kedung Gang Buntu memang benar-benar buntu. Di sebelah sana ada hutan, ada makam, ada sumber air, dan di seberang makam ada hutan pula.
Masjid bersih. Siapa yang membersihakannya tidak perlu dipertanyakan. Siapa pun di antara orang-orang Kedung Gang Buntu yang ingin membersihkan masjid, datanglah dia atau dia. Sesudah itu, kalau tidak ada keperluan sembahyang, pulanglah dia.
Di masjid tidak ada siapa-siapa kecuali Misbahul. Semua orang Kedung Gang Buntu bebas datang kapan saja, dan juga bebas untuk tidak datang ke masjid. Sembahyang di mana, orang Kedung Gang Buntu juga bebas. Di masjid silakan, mau di rumah sendiri tidak perlu dipermasalahkan, dan mau di mana saja juga tidak ada yang menegur. Siapa yang mengumandangkan azan ya terserah, siapa saja boleh. Kalau kebetulan masjid sedang kosong dan tidak ada yang mengumandangkan azan, ya tidak apa-apa.
Siapa yang menjadi pengkhotbah pada hari Jumat, ya terserah siapa saja yang mau. Kalau Wardiman mau, ya silakan. Kalau ada dua orang ingin menjadi pengkhotbah, salah satu dari mereka pasti mengalah. Misbahul ingat, Jumat, 10 Desember 1943, dia datang bersama Ratman.
Kebetulan, pada Jumat, 10 Desember 1943 itu Wikono menjadi pengkhotbah. Wikono menekankan, Kedung Gang Buntu berbeda dengan kampung-kampung lain. Semua laki-laki Kedung Gang Buntu adalah pedagang keliling. Semua orang Kedung Gang Buntu selalu saling membantu. Kalau ada seseorang dari Kedung Gang Buntu sengsara, orang-orang Kedung Gang Buntu pasti datang menolongnya.
Mula-mula suasana sangat sepi. Panas makin menyengat, seolah matahari perlahan-lahan membelah dirinya menjadi matahari kembar. Kemudian angin dari arah hutan datang mendengus-dengus. Suasana sekonyong-konyong menjadi mengerikan. Suara angin mendengus-dengus berubah menjadi serangkaian lagu-lagu kematian, tidak teratur mana ujung mana pangkalnya.
Tupai di seberang hutan agak jauh dari makam memang banyak, karena di sana banyak pula pohon kelapa liar. Tapi, baru kali ini beberapa tupai berkejar-kejaran di jalan Kedung Gang Buntu. Setelah menyebrang ke jalan besar, tupai-tupai itu berlari-larian naik turun pohon.
Bukan hanya itu. Burung-burng pun tampak gelisah. Mereka beterbangan berputar-putar seolah-olah tidak tahu arah.
Sabtu, 11 Desember 1943, empat hari setelah Sulasmi hilang, Munir baru datang. Tidak ada satu orang pun yang memberi tahu Munir mengenai Sulasmi. Tapi, Misbahul tahu benar, begitu juga tetangga-tetangganya, bahwa Munir tahu apa yang tidak pernah diberitahukan kepadanya.
“Misbahul, kamu tentu sudah tahu, kamu satu-satunya anak saya. Kamu tidak punya abang, tidak punya kakak, tidak pula punya adik. Saya juga anak tunggal. Kakek kamu juga anak tunggal. Mereka semua pedagang keliling. Saya lahir juga untuk menjadi pedagang keliling. Kelak kamu juga akan menjadi pedagang keliling.”
Kalau sebuah keluarga di Kedung Gang Buntu mempunyai lebih dari satu anak laki-laki, satu di antara mereka pasti menjadi pedagang keliling. Sisanya akan keluar, entah menjadi apa, takdir yang akan menentukan. Dan kelak, apabila mereka meninggal, jasad mereka tidak punya hak untuk dimakamkan di Kedung Gang Buntu.
Misbahul meninggalkan masjid, berjalan perlahan-lahan menuju ke jalan besar. Tibalah Misbahul di jalan besar. Tepat di hadapan mulut Kedung Gang Buntu ada sesuatu yang sangat menakjubkan: pohon jejawi, sangat besar, sangat tinggi, dan sangat anggun, seolah-olah akan hidup selamanya sampai hari kiamat. Entah berapa umurnya, semua orang Kedung Gang Buntu tidak ada yang tahu. Akar bergelantungan dari atas. Ada yang melambai-lambai di atas sana, ada pula yang menyentuh-nyentuh tanah.
Pada hari-hari tertentu banyak orang, bukan hanya dari Surabaya tapi juga dari luar kota, datang ke pohon jejawi untuk memohon barokah. Tengoklah itu di bawah pohon jejawi. Sekian banyak sesajian masih ada di situ.
***
Rabu, 15 Desember 1943, sekitar pukul tiga sore, Munir meninggalkan rumah, menuju ke mulut gang, menengok jalan besar ke kanan dan ke kiri. Kadang-kadang pandangan matanya, dengan nafsu garang, melesat ke pohon jejawi, pohon yang oleh banyak orang dianggap keramat.
Sekonyong-konyong Munir berteriak-teriak ganas, “Jepang anjing! Jepang keparat! Jepang bajingan!”
Awalnya suara Munir hilang ditelan oleh deru, desah, dan desau angin, digilas oleh nyanyian kematian sekian banyak pohon yang bagian-bagiannya melambai-lambai dipermainkan oleh angin.
Munir terus berteriak-teriak ganas, memaki-maki jepang.
Beberapa orang di Kedung Gang Buntu mulai mendengar maki-makian Munir. Bahaya. Kalau Jepang tahu, seluruh penduduk Kedung Gang Buntu akan disiksa serdadu-serdadu Jepang. Seluruh rumah di seluruh kampung dibakar dan semua perempuan pasti akan hilang.
Dengan sigap, beberapa orang Kedung Gang Buntu, dengan sebelumnya memohon maaf, berusaha meringkus Munir. Kalau Munir tidak segera ditundukkan, dalam beberapa saat lagi pasti mereka akan digilas oleh sepeda motor serdadu-serdadu Jepang. Peristiwa sebelumnya pernah berlaku pada bulan Oktober 1943, ketika beberapa orang di Jalan Kawat Condong menghadiri sunatan masal. Tiba-tiba sirine meraung-raung, lalu dengan sangat mendadak serdadu-serdadu Jepang berdatangan, menggilas semua anak-anak, semua tukang sunat, serta semua hadirin dan hadirat.
Namun, seolah disusupi kekuatan Iblis, Munir tidak bisa diringkus. Dia justru berseru agar mereka segera pulang. Dia akan bertanding melawan Jepang sendirian.
Hanya dalam waktu sekejap, setelah semua tetangga Munir pulang dengan perasaan was-was, terdegar deru-deru sepeda motor. Munir berdiri dengan gagah di pinggir jalan, kemudian melambai-lambai ke arah serdadu Jepang. Serdadu ini, yang kemudian diketahui bernama Kojimo, berhenti agak jauh, tampak ragu-ragu.
Karena Kojimo tampak ragu-ragu, dengan nada girang Munir berseru, “Jepang keparat! Hanya berani menculik perempuan! Sini!”
Komijo menyeringai. Dengan tenang sepeda motornya diarahkan kepada Munir, kemudian dengan kecepatan penuh sepeda motor itu melaju. Begitu sepeda motor mendekat, Munir melompat. Komijo terkejut, sepeda motornya hampir menabrak pohon. Dengan gaya sembrono sepeda motor direm mendadak. Sepeda motor terpelanting, dan terpelanting pulalah Komijo.
Belum sempat Komijo berdiri tegak, sebuah sepeda motor lain, dinaiki seorang serdadu Jepang bernama Takeo, menderu-deru mendekat. Takeo berhenti sekejap, kemudian dengan kecepatan luar biasa melajukan sepeda motornya ke arah Munir.
Tepat pada saat sepeda motor Takeo akan melabrak tubuh Munir, Munir berkelit lagi. Takeo terpelanting, dan dengan sikap sembarangan Munir meludahi Takeo.
“Tunggu sebentar,” kata Takeo kepada Komijo.
Dengan tenang pula Takeo berjalan, memasuki Kedung Gang Buntu, menggedor-gedor beberapa pintu rumah. Dia perintahkan seluruh penduduk Kedung Gang Buntu segera keluar, dengan tangan diangkat ke atas kepala.
Mereka kemudian digiring ke dekat Munir.
Dengan tenang Takeo berkata, “Tangan kamu boleh turun. Tapi ingat, jangan bikin ulah. Bawa karung goni ke sini. Bawa juga tali.”
Terasa waktu berjalan lambat. Apa yang terjadi kemudian, seolah-olah tidak pernah terjadi.
Tiba-tiba dari puncak pohon jejawi ada suara menyeru, “Tunggu!”
Bagaikan seekor kera, Misbahul turun dari puncak pohon jejawi. Sambil berayun dengan berpegangan pada akar yang bergelantungan, Misbahul menyeru lagi, “Tunggu!”
Begitu menjejak tanah, Misbahul membungkuk ke arah Takeo dan Komijo, tepat seperti yang harus dilakukan oleh murid-murid apabila berhadapan dengan Peket.
“Saya akan cepat kembali,” kata Misbahul.
Misbahul berpikir mengenai dua buku berbahasa Jerman, kegemaran ibunya. Dua buku itu ada di lemari. Ternyata tidak ada. Pasti sudah diambil oleh ayahnya. Terpaksalah dia tidak bisa cepat kembali.
Ketika Misbahul kembali, tubuh Munir sudah diikat pada pohon. Tubuh bagian atas Munir ditutup karung.
“Tengok ini!” seru Misbahul.
Tanpa membungkukkan tubuh, Misbahul memberikan dua buku berbahasa Jerman kepada Takeo dan Komijo. Takeo dan Komijo membuka-buka buku itu sekejap.
“Siapa laki-laki ini?” tanya Takeo kepada Misbahul.
“Ayah saya. Munir. Saya Misbahul. Misbahul Munir. Ingin tahu artinya? Misbahul Munir, artinya, pelita yang tak kunjung padam.”
Setelah diam sebentar, Misbahul berkata, “Ayah saya pengagum Hitler!”
“Kami memang sekutu Jerman. Dan kami menghormati sekutu kami. Tapi ingat, kami keturunan langsung Dewi Matahari. Lahir untuk dihormati.”
Sebelum sepeda motor mereka menderu-deru, Takeo memberi aba-aba kepada Komijo, “Tembak bangsat itu.” (*)
Singapura, Agustus 2010
Leave a Reply