Cerpen Nuryana Asmaudi SA (Jawa Pos, 14 November 2010)
NINI Tunjung demam berat. Sejak pagi suhu badannya terus naik. Dia merasakan getaran gempa, mendengar badai mengamuk. Hujan lebat, petir menyambar-nyambar. Perempuan senja itu miris, teringat gempa-badai yang datang beberapa saat sebelum gunung api di daerahnya meletus pada masa remajanya dulu.
“Ini gempa-badai seperti dulu. Sangyang Gunung marah…!” gumam Nini Tunjung, cemas. Matanya terpejam, mulutnya komat-kamit seperti sedang berdoa.
Seharian Nini Tunjung bertarung dengan demam yang datang di sela-sela sakit tua yang dia derita. Sudah hampir lima tahun Nini Tunjung lumpuh. Tak bisa keluar rumah. Tak bisa menari. Tak bisa membuat patung lagi.
Sebelum menderita lumpuh, Nini Tunjung dikenal sebagai perempuan yang aneh dan nyentrik. Jarang bergaul dengan tetangga. Sepanjang waktu asyik dengan diri sendiri dengan melakukan kegiatan yang tak lazim bagi perempuan desa yang sudah tua: mencari batu lahar bekas untahan-letusan gunung untuk dijadikan patung sambil menari dan berkidung di sembarang tempat. Para tetangga dan orang-orang kampung menganggapnya tak waras.
***
Banyak orang menduga, Nini Tunjung banyak menyimpan berbagai trauma hidup yang membuat ia jadi aneh seperti itu. Bencana dahsyat, meletusnya gunung berapi yang membumihanguskan ratusan desa dan puluhan ribu penduduk, termasuk kerabat Nini Tunjung, di masa remajanya dulu, tragedi politik pada pertengahan 60-an yang menelan ribuan warga, termasuk beberapa temannya. Serta banyak masalah lain yang mendera hari-harinya sejak muda sampai sekarang. Tapi, Nini Tunjung yang tahu hal ihwal tersebut.
Sejak memasuki masa tua, setelah “pensiun” dari kegiatan menari dan berkidung di acara-acara ritual di daerahnya, Nini Tunjung menyibukkan diri dalam pembuatan patung batu lahar dan benda-benda seni lainnya untuk menghibur diri di sela-sela waktu. Di desa Nini Tunjung tinggal, banyak perajin batu lahar untuk bahan bangunan dan perlengkapan rumah tangga. Nini Tunjung tak punya modal, juga tak punya keahlian, untuk membuka usaha seperti itu. Ia cuma bisa memulung serpihan-serpihan batu lahar dari lereng bukit atau sungai-sungai kering untuk dibuat patung. Ia pahat batu tersebut dengan alat dan perkakas seadanya, lalu dicat dengan bahan pewarna sekadarnya pula. Patung-patung berwujud aneh, terkesan dibuat tanpa konsep, tapi tampak artistik: ada yang mirip boneka anak-anak, ada yang menyerupai butakala, tampang monyet, moncong anjing, wajah manusia bopeng, dan macam-macam lagi yang aneh. Patung-patung batu lahar berbagai ukuran dan bentuk yang berbeda dengan patung lainnya yang banyak terpajang di artshop-artshop di kawasan pariwisata di daerah tersebut.
Patung-patung butut-bopeng buatan Nini Tunjung itu dipajang di tepi jalan, tak jauh dari rumahnya, bersusun-susun, tumpang tindih menyerupai bukit batu yang dipoles cat warna-warni; juga ditata bersaf-saf menyerupai gundukan-barisan gunung kecil atau candi yang disela-selanya diberi ruang kosong serupa gapura. Hanya orang berjiwa seni tinggi yang bisa menangkap nuansa artistik dan keindahan patung-patung aneh yang ditata seperti instalasi tersebut.
Nini Tunjung juga melukis dan membuat wayang dari kertas karton, serpihan seng, kulit pohon, serta golekan dari batok kelapa, yang digantung di atas instalasi patung batu lahar tersebut. Alam antah berantah menyeret Nini Tunjung ke dunia imajinasinya yang liar. Sering ia membuat patung sambil berkidung dan menari. Kidung dan tarian aneh, seaneh patung yang dia buat. Mungkin tarian dan kidung yang ia lantunkan adalah bagian dari ritual untuk memberi roh dan jiwa pada patung yang ia buat.
Nini Tunjung seolah tak peduli dianggap gila oleh masyarakat. Ia bahkan merasa kasihan pada orang yang menganggap dirinya kurang waras. Ia tak merasa nyeleneh dengan pakaian berlapis-lapis, kaus lengan panjang di dalam dan baju lengan pendek di bagian luar, juga dengan dandanan penuh aksesori, yang dikenakan setiap keluar rumah: ke pasar atau ke tempat keramaian lainnya. Nenek berusia 75 tahun itu merasa perlu menjaga kesehatan tubuh dengan pakaian hangat seperti itu di daerahnya yang dingin.
Ia jarang bicara, dan kalau sudah omong, kalimatnya meloncat-loncat, ulang-alik tak tentu arah. Bergerak spontan mengikuti gejolak jiwa, perasaan, dan pikirannya. Ada saat Nini Tunjung berperilaku seperti perempuan biasa: memasak di dapur, mencari kayu bakar, bahkan mencari rumput untuk sapi piaraan suaminya. Saat mood-nya muncul, masuklah dia ke dunianya yang absurd, membuat patung, melukis, berkidung, atau menari dalam misteri imajinasinya yang liar.
***
Pada masa remaja dulu, Nini Tunjung adalah bunga desa. Banyak pemuda yang tergila-gila dan bersaing memperebutkan dirinya. Hingga dara belia yang memesona itu pergi bersembunyi ke kampung bibinya karena tak tega menolak atau menerima salah satu di antara pemuda yang ingin menyunting dirinya. Tunjung muda merasa masih terlalu belia untuk dilamar pria. Bunga muda itu ingin memberi alam sekitar melihat dirinya mekar, membagi merbak-wangi pada lingkungan sebelum dipetik orang. Masa remaja yang selalu dia kenang dan dikidungkan ketika hatinya sedang gembira.
Dara belia di sebuah desa, cantik tiada tara. Tunjung namanya. Orang-orang menjuluki bunga tunjung. Banyak lebah, kumbang, kupu datang mengadu untung: saling terjang saling telikung memperebutkan Tunjung. Hingga orang tua Tunjung resah dan bingung. Tunjung diungsikan ke lain kampung di kaki gunung. Tak disangka bertemu kumbang bersayap buntung yang menyelamatkan Tunjung dari amukan letusan gunung, kumbang yang berhasil menyunting Tunjung.
Nini Tunjung berkidung sambil berkaca pada cermin kecil yang selalu dia bawa. Bangga melihat wajah sendiri yang dia bayangkan masih cantik. Kemudian berkidung lagi, kidung cinta yang mengisahkan perkawinan kedua dengan suaminya sekarang: Bertahun-tahun pria itu memendam cinta. Pria yang bersahaja. Pria yang bijaksana. Menggantung cinta sejak remaja, baru mendapatkan setelah Tunjung jadi janda.
Nini Tunjung tertawa sambil melirik suaminya setelah mengumandangkan kidung itu. Kakek bertubuh jangkung yang duduk mencangkung di dekatnya tersebut hanya terkekeh-kekeh.
***
Tak ada tetangga yang hirau pada patung-instalasi buatan Nini Tunjung yang bertahun-tahun beronggok di tepi jalan desa itu. Hanya orang-orang dari daerah lain, terutama seniman dari luar kota, yang memperhatikan; bahkan ada beberapa wartawan dan seniman yang sengaja datang untuk memotret patung-instalasi itu. Kadang juga ada turis asing yang memotret saat melintasi di kawasan tempat patung Nini Tunjung terpajang.
Bertahun-tahun patung instalasi itu beronggok di sisi jalan desa, di tegalan kosong—tanah tak bertuan—sungai kering bekas jalan lahar. Hingga suatu hari, benda-benda aneh itu lenyap. Semula masyarakat sekitar tak hirau. Namun, setelah mendengar kabar bahwa benda-benda yang mereka anggap sampah itu dibeli kolektor dari Jakarta dengan harga puluhan juta, orang-orang kampung jadi heboh. Desa Nini Tunjung gempar, masyarakat tercengang; ada yang datang tanya ke Nini Tunjung, tapi tak digubris Nini Tunjung. Dia asyik dengan dunianya sendiri yang tak dipahami masyarakat sekitar. Beberapa waktu kemudian, perempuan aneh itu tak pernah keluar rumah.
Nini Tunjung sakit. Lumpuh. Berbaring di dipan butut beralas tikar pandan dan bantal kusut di rumah gubuk berukuran 4 x 6 meter yang bersebelahan dengan kandang sapi. Hanya suami yang menemani. Tapi, Nini Tunjung masih bisa mencoret-coret kertas, membuat lukisan kecil sambil berbaring. Pada saat tertentu gambar itu dia lihat kembali, diajak dialog, digerak-gerakkan sambil berkidung seperti dalang.
Ada yang bilang Nini Tunjung sakit karena stres setelah kehilangan patung instalasi yang dia cintai itu. Patung-patung yang berjiwa dan berdaya hidup Nini Tunjung sendiri. Sebab, patung itu dibuat dalam bimbingan Sang Pengasuh, semacam laku zikir atau upacara suci Nini Tunjung dalam kehidupan sehari-hari yang didarmabaktikan kepada Yang Mahaindah. Juga, ayat alam, serpihan derita manusia, jerit-tangis orang-orang malang yang terabaikan peradaban, yang didengar Nini Tunjung, kemudian diekspresikan, dipahat, ditatah dan takhtakan pada benda-benda, disusun-abadikan jadi monumen kehidupan yang indah itu. dalam mewujudkan itu, Nini Tunjung mengorbankan segalanya. Dia rela dianggap kurang waras oleh orang-orang di kampungnya. Dia ikhlas. Namun, momentum itu akhirnya diceraikan dari dirinya, dijauhkan dari alam kehidupannya, dihapus dari sejarahnya. Seperti pohon dicerabut dari ladangnya. Nini Tunjung kehilangan. Jejaknya dihapus. Jiwanya dipasung dalam lubang kenangan yang menyiksa batin. Nini Tunjung murung. Berkabung. Linglung.
***
Sore yang indah bagi Nini Tunjung yang hampir dua tahun dirundung murung berbaring di atas dipan butut di rumah gubuknya. Seorang pelukis yang sering berkunjung dan mengajaknya ngobrol sambil memotret karya atau merekam kegiatan Nini Tunjung ketika masih sehat datang. Sahabatnya itu datang bersama serombongan seniman muda lain dari ibu kota provinsi. Nini Tunjung sangat girang. Dia langsung nyerocos menceritakan ihwal sakitnya, juga cerita lain, mulai kisah cinta di masa muda hingga cerita pengalaman hidupnya di masa lalu. Nini Tunjung bercerita sambil sesekali tertawa, ngomel, meracau, dan berkidung. Suaranya yang parau menggema di rumah gubuknya yang pengap, menerobos celah dinding ialalng beterbangan keluar, hinggap di ranting pohon, bercakap dengan angin dan burung-burung liar di sekitar rumah gubuknya.
Sambil mendengarkan cerita Nini Tunjung, seniman berambut gondrong-rapi-perlente itu menyalakan pelita dari batok kelapa di dekat dipan Nini Tunjung. Sesekali dia minta bantuan temannya menyalakan lampu kamera yang dia bawa untuk menerangi ruang rumah gubuk Nini Tunjung—yang penuh barang aneh—untuk diambil gambar. Nini Tunjung dipotret dan direkam dengan kamera tangan. Sambil nyoting Nini Tunjung, pelukis abstrak bersahaja itu berkali-kali menggaruk-garuk kakinya yang dirubung semut api yang berkeliaran di lantai tanah rumah gubuk Nini Tunjung. Sementara itu, Nini Tunjung menunjukkan gambar-gambar terbarunya yang dibuat di atas kertas sambil berbaring. Gambar itu digerak-gerakkan sambil berkidung.
Beberapa tamu lainnya, teman seniman itu, berada di luar karena ruang rumah gubuk Nini Tanjung tak cukup menampung lebih dari tiga orang. Di depan rumah gubuk itu ada bakalan rumah tembok berukuran 2,5 meter persegi. Konon pembeli patung instalasi Nini Tunjung menyumbangkan dana untuk rumah yang layak huni untuk Nini Tunjung dan suaminya, entah berapa jumlah dana yang disumbangkan, pembuatannya diserahkan kepada pamong desa dan kerabat Nini Tunjung sendiri. Bakalan rumah yang masih sedang dalam proses pembangunan itu seukuran pos kamling. Dalam waktu dekat mungkin Nini Tunjung akan dipindahkan dari gubuk reot, sumpek, bocor, dan nyaris roboh itu.
Berkali-kali Nini Tunjung mengucapkan terima kasih ketika sahabatnya itu pamitan. Diletakkannya beberapa lembaran uang lima puluhan ribu—pemberian sahabatnya itu—di bibir dipan. Dia lepas para tamu dengan salam hangat dari atas dipan. Kunjungan yang membuat Nini Tunjung terlipur sejenak setelah lama memendam duka terpisah dari patung instalasinya dan terbelenggu sakit tua. Lumpuh.
***
Dalam demam. Senja itu. Nini Tunjung dijenguk gempa. Disambangi badai, hujan deras, angin kencang memusar-musar, awan bersabung di langit memancarkan kilatan cahaya kuning kemerahan seperti naga merah sedang mengamuk dengan mulut menganga dan lidah menyemburkan bisa api, serupa leak bermata bara, hendak membakar segala yang ada. Guntur dan halilintar tak henti menggelegar, bersahut-sahutan, memekakkan, mencekam perasaan.
Perempuan renta, yang tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit keriput, itu cemas. “Ini bukan sekadar gempa, bukan badai biasa. Ini gempa badai seperti dulu. Duh, Dewa Ratu, apa yang akan terjadi?” Gumam Nini Tunjung seperti mengigau, lalu mengucapkan kata-kata tak jelas. Seperti membaca doa, seperti merapal mantra. Sesaat kemudian Nini Tunjung terdiam. Tak lagi mengigau. Tak lagi meracau. Hening.
Nini Tunjung masih mendengar langit menangis. Angin memusar-musar. Kilat menjulur-julurkan lidah api menyerupai leak naga yang mengerikan, menerobos celah dinding rumah gubuk Nini Tunjung. Nini Tunjung memejamkan mata. Mulutnya komat-kamit. Entah apa yang dilakukan. Mungkin berdoa, mengusir resah batin, atau bermantra menolak bencana. Hening. Bisu.
Badai terus menari-nari. Cahaya putih meliuk-liuk keluar-masuk lewat pintu rumah gubuk Nini Tunjung. Entah apa yang akan terjadi. Tak ada tetangga yang tahu apa yang sedang dialami Nini Tunjung senja itu. ***
.
.
Denpasar, 2009-2010
Nuryana Asmaudi SA mengelola Rumah Sastra Intenbeh yang dihuni bersama Umbu Landu Paranggi (sejak akhir 1996), yang sering bersamanya berkeliling ke pelosok-pelosok tanah Bali untuk mengadakan pembinaan sastra terhadap pelajar dan generasi muda.
.
.
Leave a Reply