Cerpen Raudal Tanjung Banua (Jawa Pos, 27 Agustus 2017)
ZEN menyampirkan handuk kecil di leher, dan sambil bersiul ia turun ke air. Takjub, ia terpaku sebentar, memandang arus memutih seolah baru menemukan sungai susu yang disebut dalam kitab suci. Tapi ketika membuka pakaian, ia sadar bukan orang pertama di tempat itu: ia lihat bungkus sabun dan sampo berserakan di celah batu. Dan, saat ia mulai berendam, sesuatu nyangkut di kakinya, ia angkat: o, bungkus mi instan hanyut terseret arus!
Apakah ia merasa Luk Ulo, sungai kuno di bumi, telah ternodai? Dalam hati, mungkin ia bilang iya. Tapi ah, bagaimanakah menjaga kemurnian di dunia yang penuh serbuan benda-benda? Maka ia hanya nyengir kuda ketika aku sentil, “Jadi, tetap ada plastik pabriknya, ya?”
“Iya, Mang, malah muncul dari hulu,” Zen masygul. Menebal raut kecewa di wajahnya, seperti mendung di langit. “Ayo, Mang, mandi, mumpung belum hujan!” ajaknya kemudian.
“Aku istirahat saja, sambil awasi Neng Eli. Mana tahu ada yang usil,” aku menyulut rokok di atas batu. Dari situ aku bisa melihat Minareli sedang sibuk mengecek ulang nota-nota, faktur dan kuitansi, menghitung uang masuk dengan pulpen dan kalkulator di tangan.
Kami bertiga karyawan PT Bahagia Asri yang bergerak dengan mobil kanvas. Sebagai sales canvasser, tugas kami mengantar barang ke toko dan warung-warung pinggir jalan sampai kampung terujung—sampai mobil boks yang kukemudikan tak bisa lagi lewat. Tapi selagi jalan bisa dilalui kendaraan roda empat, dan ada warung tegak merdeka di ujung, kami berjuang mencapainya. Kami cepat tahu jika ada warung baru yang buka, menawari diri jadi langganan, sambil menjaga kesetiaan pelanggan lama. Sebab, ketahuilah, sales kanvas bersileweran dari berbagai penjuru. Kadang menyulut pertengkaran, tapi selesai berkat database operasional. Bagaimanapun target penjualan sudah digariskan. Makin banyak pelanggan, makin banyak bonus kami dapatkan, di luar gaji pokok yang tak seberapa besar. Jika abai, bukan hanya dompet kempes dibawa pulang, juga terima bersih omelan di kantor.
Kami biasa pergi berhari-hari menyisir daerah pinggiran, kota-kota kecamatan, masuk kampung ke luar kampung. Menyinggahi toko dan warung-warung. Bersua wajah-wajah langganan yang semringah. Bertemu sungai, pantai, sawah hijau, dan bukit-bukit biru, seolah aku sedang jalan di kampungku sendiri. Kaca mobil kubuka lebar, dan kuhirup udara segar. Malam hari kami menginap di losmen langganan yang harganya terjangkau di jalur lintasan. Itulah bedanya canvasser seperti kami dengan sales motor atau motoris maupun sales taking order (TO) yang hanya muter-muter dalam kota atau kampung terdekat.
Hari ini kami tahu ada warung buka di kampung terujung, milik seorang TKW yang baru pulang dari Saudi. Ketika kami susuri jalan batu ke situ, kami temukan warung itu berdiri anggun tak jauh dari Sungai Luk Ulo. Ber kardus-kardus barang ia pesan dan aku merasa lega mendapat satu lagi tambahan pelanggan. Tak lupa kami tempel poster produk terbaru dan barang promo. Bahkan sebuah baner bergambar perempuan berambut panjang –untuk iklan sampo—kami pasang di depan, membuat warung itu jadi tampak tambah cemerlang. Setelah itulah kami singgah di Luk Ulo, sungai dengan batuan purba, di pedalaman Kebumen.
***
ZEN cah Bandung, lulusan universitas ternama di Jogja. Ia sales kanvas yang cekatan mengeluarkan barang, menumpuk kardus dan mengantar ke pemesan. Ia tahu pasti di mana posisi kardus-kardus berbagai produk. Mi, gula, kopi, deterjen, sabun, sampo, snack, bubur bayi, hingga permen, dan susu sachet. Ia juga fasih mempromosikan barang terbaru. Oya, ada lagi satu: ia terlatih membuat laporan aktivitas perusahaan pesaing! Zen memang tak asing dengan penyaluran barang. Ibunya punya warung kecil di kampung. Pamannya, begitu ia cerita padaku, adalah tukang mindring. Waktu remaja, Zen sering diajak sang paman keliling menyalurkan barang kreditan. Namun sebagaimana kita lihat nanti, lambat-laun Zen menjadi orang yang “bermasalah” dengan distribusi barang.
Aku sendiri wong Wonogiri. Aku juga tak asing dengan barang masuk kampung. Aku punya bibi yang kukagumi karena sejak pakde meninggal, dia menghidupi enam anak. Ia gesit berjalan kaki menawarkan barang ke kampung di lereng Gunung Lawu, menempuh jalan setapak, meniti jembatan gantung. Meskipun wong Wonogiri dianggap pintar dagang, aku tak berbakat dan kegesitan bibi tak membekas padaku. Jika pun kini bekerja di perusahaan dagang, aku tak terlibat langsung dengan barang. Aku hanya seorang sopir. Istilah kantor: driver.
Kasir kami Minareli, gadis Tasik, bertugas mencatat barang masuk/keluar serta menerima pembayaran. Ia hafal spesifikasi barang tanpa pikir panjang dan tahu mana item yang bisa bayar belakangan. Karena itu, ia tak lepas dari pulpen, faktur, kalkulator. Mestinya ia bertugas sebagai sales TO, menawarkan barang ke pihak grosiran. Tapi perusahaan kami lebih banyak meng-cover distribusi retail.
Maka Minareli bergabung bersamaku. Jangan khawatir, meski ia perempuan yang duduk di muka diapit dua lelaki, Minareli pandai menjaga diri, dan kami tak berbahaya. Di losmen, Minareli juga ambil kamar sendiri. Suka-duka di jalan, pahit-manis menghadapi pemilik toko dan orang kantor, menyatukan kami lebih sebagai kawan senasib. Aku merasa hubungan kakak-adik. Kedua anak muda itu mengingatkanku pada dua adikku yang jadi buruh di Jakarta.
Yang kusuka, Minareli tak canggung bersama kami maupun menghadapi konsumen. Maklum, ia pernah jadi sekretaris koperasi di kotanya. Namun ia keluar setelah ada kejadian unik. Waktu itu, pihak koperasi membuka usaha baru: “Simpan Pinjam Perempuan”. Minareli merasa agak janggal dengan sebutan itu. Maka ia beri masukan supaya ada kata “untuk” sebelum kata perempuan. Tapi ketua koperasi, Pak Jajang, keukeuh menolak. Lhadalah, setelah pe resmian, plang nama koperasi itu viral di media sosial dalam bentuk lucu-lucuan. Pak Ja jang menuduh Minareli memberi tahu dan mengipasi netizen. Ia dibentak dan diancam. Ketimbang ribut, Minareli memilih cabut. Lagi pula memang sudah saatnya. Ketua koperasi itu suka plirak-plirik padanya dan kadang berolok tak pantas. Minareli lalu pergi ke tempat kakaknya yang buka warung burjo di Jogja. Si Neng bantu-bantu di sana sambil ganti dilirik para mahasiswa.
Zen gemar nongkrong di situ, nonton bola, dan ssttt… bisa ngutang! Maklum, statusnya nanggung: mantan mahasiswa kepingin jadi mahasiswa. Ia nunggu beasiswa S-2 yang tak kunjung dapat, sedang orang tuanya sudah cukup senewen membiayai sampai S-1.
Kudengar ia mahasiswa pintar dan nilainya tinggi, hanya terlalu pemilih. Konon, ada beasiswa dari lembaga luar negeri yang ia tolak. Menurutnya lembaga itu pernah jadi tangan menyamar dalam peristiwa berdarah di tanah air. Pemuda 27 tahun itu boleh juga. Meski ia luntang-lantung jadinya. Di luar dugaan, atas ajakan Minareli, Zen mau ikut lamaran sales kanvas. Mungkin saat itu ada malaikat lewat yang membuatnya menyadari idealisme mesti diuji. Waktu aku iseng bertanya soal itu, Zen nyengir, “Utangku di burjo udah segunung, Mang. Malu mah sama Teh Eli.”
Mereka ditempatkan di mobil boks PS 100 yang aku bawa—awal kami bersama. Tapi, ah, tidak. Kami tak selalu bersama jika diartikan kegundahan milik masing-masing orang.
***
DI antara kami bertiga, Zen termasuk penggelisah akut (maaf, aku tak punya istilah lain), bahkan jika dibandingkan dengan semua karyawan di kantor. Ada-ada saja yang ia gelisahkan terkait barang dan distribusi. Kupikir ia trauma waktu ikut pamannya jadi tukang mindring. Sebab, katanya, ia pernah menghadapi ibu yang tak sanggup bayar kredit panci, dan pamannya tega mengambil panci yang sedang terjerang. Nasinya yang masih mentah ditelungkupkan di atas meja dapur. Zen mencegah, tapi si paman bilang bahwa yang pertama sudah ia maafkan dan ini yang kedua.
Pernah pula pamannya ditantang berkelahi oleh seorang bapak yang menolak melunasi cicilan. Besoknya sang paman mengajak kenalannya berambut cepak mencari si bapak. Zen melarang, tapi sang paman mendamprat, “Jangan lunak kerja di lapangan atuh!”
Aku duga Zen trauma atas kejadian masa remajanya itu. Buktinya, sehabis bercerita padaku, kulihat matanya menerawang. Kosong. Tapi dalam hari-hari kami kemudian, ia mulai menyebut berbagai istilah dan teori. Tentang barang-barang produksi. Pabrik. Investasi. Modal. Konglomerasi. Korporasi. Konsumsi. Dan entah apa lagi. Simpulanku berubah: apakah sebagai mantan mahasiswa sejarah, Zen terlalu banyak belajar revolusi industri, buruh, kolonialisme, hingga negara dunia ketiga? Jelek-jelek, aku pernah duduk empat semester di sebuah akademi.
Memasuki tahun kedua, Zen kerap murung. Minareli tahu perubahan itu. Aku bertanya dengan suara sengaja dikeraskan, “Kenapa si Akang, ya, Neng? Suka ngelamun sekarang.”
“Iya, dulu tak begini. Sekarang kok rada alergi sama barang, seolah semua barang banyak micinnya,” jawab Si Neng tenang. Aku terkekeh.
“Apa anak gadis pemilik toko di Kroya telah menolaknya?” selidikku lagi.
“Tidaklah, Mang. Si Akang mah setia sama teteh nun di sana,” kata Minareli merujuk ke kasih Zen, seorang penari di Bandung. Zen hanya mengembuskan asap rokok ke udara.
Kali lain, sengaja kutekan klakson keras-keras supaya lamunan Zen buyar. Tapi ia cuma senyum masam. Kata Si Neng, “Ia lagi mikir keras atuh, Mang!”
“Ya, tapi soal dunia tak bakal ambrol dipikirin, Neng. Atau utang burjo-nya belum lunas?”
Minareli tergelak. Dan saat istirahat makan sate ambal yang berkuah tempe, aku tepuk pundak Zen, “Ono opo to, Bung?”
Ternyata ia terlanjur jauh memikirkan rumah-rumah yang berubah jadi warung! Menurut pengakuannya, ia merasa suwung. Ada yang hilang dan gerowang. Jawaban dingin Zen tak ubahnya lubang jalan terlindas ban. Membuat tubuhku terlambung. Sialan! Bukankah di mata awamku warung-warung itu tampak semarak? Persis papan iklan di tepi jalan.
Tapi tampaknya bukan itu yang dimaksud Zen!
“Ya, ramai. Tapi semua terasa kosong, Mang, kosong belaka,” Zen geleng-geleng kepala.
“Lho?” aku bergidik. “Aku kok tidak ngerasa, ya,” akuku polos.
Zen menarik napas panjang. “Selintas memang tak terasa, Mang. Tapi coba renungkan. Warung-warung itu hanya menampung barang yang kita bawa dari kota. Ya, selalu hanya jadi penampung. Tanpa timbal balik,” emosi Zen tak terbendung.
“Bagaimana persisnya?” aku mulai tertarik.
“Dulu, Mamang cerita padaku pernah jadi sopir truk Wonogiri-Jakarta kan?”
“Ya, lantas?”
“Waktu itu Mamang bilang dari Wonogiri membawa hasil bumi. Dari Jakarta bawa kain dan barang pecah belah.”
“Benar. Truk tak boleh kosong. Prinsipnya cari muatan.”
“Nah, itu ideal. Ada pertukaran produk kota-desa. Tapi dengan mobil kanvas seperti ini, semua drop-dropan; kita antar barang sebanyak-banyaknya. Jor-joran, tak kenal ampun nyaris siang-malam karena target penjualan! Dan satu arah, top down; pernahkah perusahaan bertanya kebutuhan apa yang penting bagi orang-orang?”
Aku merasa jalan yang kulalui mengabur. Hablur ditimpa bayang-bayang kegelisahan.
“Kampung-kampung hanya jadi lambung, Mang, bukan lumbung,” nada Zen bergetar.
***
SUDAH lama aku menjadi sopir. Mulai truk pengangkut pasir—tempat aku belajar nyopir—lalu pick up sayur, sampai truk ekspedisi. Ketika pemilik truk bangkrut, aku ke Jogja, melamar jadi sopir kanvas. Dan belum pernah aku mengalami suasana batin seperti sekarang.
Jujur, aku cukup menikmati suasana jalanan di wilayah kerja kami, dengan warung-warung setia menunggu. Mulai perbatasan Purworejo sampai Kebumen, Cilacap dan sebagian Banyumas. Dari kantor Bangunjiwo, Bantul, kami biasa lewat jalur Deandels menyisir pantai selatan yang indah. Patanahan, Ambal, Ayah, dan keluar di Sumpiyuh, terus ke Buntu, Kroya, dan Cilacap. Pulangnya kami susuri Kebumen arah pegunungan.
Di sepanjang jalur itu memang masih banyak tempat suwung, namun tak kalah banyak kampung dengan rumah dan warung-warung yang hidup. Karena itu, aku kepikiran terus pernyataan Zen tentang rumah-rumah yang ja di warung dan segalanya berubah suwung!
Ah, aku memang suka mengganggu Zen dengan maksud menggoda, namun gangguannya padaku lebih kejam daripada godaan! Dan jika kudiamkan, perasaan ingin tahuku terus melawan. Aku mulai terdera. Tiap perkataan Zen terdengar rawan. Meski jujur kuakui, bersama Zen, juga Minareli, hidupku jadi lebih berwarna. Tak melulu urusan penjualan, bonus dan gaji. Tak hanya bicara produk, juga hakikat barang. Bahkan ruang dan waktu.
Dengar, saat melewati ruas jalan yang padat, Zen bergumam, “Jalan kecil ini punya hasrat terlalu besar, Mang. Semua bernafsu tumbuh di sisinya, tak kenal ruang, tak peduli waktu.”
Minareli mengangguk. Sedang aku tak bisa sekadar mengangguk. Gumam itu merasuk ke kepala, bikin kemaruk!
Kali lain Zen mengirimi aku pesan Kemerdekaan Aqua dan Coca-Cola. Sebelum “dinas luar kota”, istilah kami sebagai canvasser, ia bertanya, “Gimana, Mang, udah baca puisinya?”
“Puisi yang mana?”
“Yang aku WA.”
Oala, itu puisi toh! Mana kutahu. Zen akhirnya menjelaskan, itu puisi seorang penyair Jogja tempo dulu yang suka nongkrong berjamaah di Malioboro. Sekarang mustahil bisa begitu jika tak ingin tertindih ruko dan toko-toko, katanya. Setelah kubaca, kurasa cocok dengan perasaan dan keadaanku. Sebagian masih kuingat: Marilah takjub. Aqua dan Coca-Cola/ telah memudahkan pesta. Mengusir gelas/ cangkir dan kendi, kembali/ sebagai barang pecah-belah. Berdebu/ menyatu dengan sejarah almari.//
Bersama dengan itu, aku mulai amati jalan yang kulalui dengan hati jembar. Perumahan. Ruko. Travel haji & umrah. Kafe. Pabrik. Rumah sakit. Semua tumplek blek. Paling banyak warung dan toko, tegak berdampingan atau berhadapan. Kadang hanya terpisah satu dua rumah karena memang, seperti dikatakan Zen, rumah-rumahlah yang berubah jadi warung. Satu-dua warung tutup karena bangkrut atau si penunggu tak kuat duduk terkantuk-kantuk. Tapi warung lain buka mengganti. Ada pula yang mencoba terus bertahan. Uniknya, pada sebuah warung, kudapati mata Zen sebak menahan tangis. Minareli pun tampak sedih.
Hati-hati kutanyakan apa yang mereka lihat, sehati-hati aku menarik perseneling.
“Tahukah kamu, Mang,” jelas Zen, “Pak-pak rokok yang berjejer di etalase toko Bu Surti tadi, sebetulnya tinggal bungkusnya saja. Tak sengaja tersenggol tanganku, dan bungkus yang ringan itu berjatuhan. Ternyata itu kamuflase supaya orang menganggap usahanya tetap jalan. Bu Surti terperangah. Untung luput dari perhatian orang yang belanja.”
“Karena itu, kutunda minta tagihan minggu lalu,” tambah Minareli.
Dan Zen kemudian mengusap matanya. “Aku ingat ibuku… Beliau dulu pernah begitu.”
***
APA yang dipikirkan Zen perlahan kupikirkan juga. Apakah pikiran seperti air atau sejenis penyakit? Ia dapat menular melalui percakapan, tindak-tanduk bahkan kemurungan. Begitulah, Zen tambah gelisah. Kini ia membawa buku agenda ke mana-mana. Kukira itu buku catatan barang. Tapi lantaran kerap ia tulisi saat istirahat, kuduga itu buku harian. Bahkan ia menulis saat mobil sedang melaju, katanya, kepalanya lagi penuh. Maka kaburlah dugaanku.
Pernah aku jengkel sekali padanya. Bayangkan, saat mobil mogok, ia malah menulis di antara kardus-kardus, dalam boks yang sengaja ia buka sebelah pintunya. Aku mau marah. Tapi melihat keringatnya menetes—melebihi keringatku menyetel mesin—kupikir beban anak muda itu lebih berat dari yang kurasakan. Mungkinkah kepala yang penuh lebih berat ketimbang otot yang bergerak membuka sekrup?
“Ia mau bikin buku untuk mahar pernikahannya, Mang,” tanpa kuminta, Minareli menjelaskan. Mungkin dia khwatir bakal salah pengertian di antara kami, atau ia sendiri minta pengertian supaya kerja tetap nyaman. Aku tahu kekasih Zen seorang penari dan mereka akan ke pelaminan. Tapi buku apakah yang dibutuhkan seorang penari sehingga Zen harus menulisnya sendiri lebih liar dan senewen daripada gerak penari beneran? Perasaanku mulai kacau menghadapi Zen. Kesal, marah, kadang takjub, campur-aduk jadi satu.
Malam, sepulang kami mengantar barang, aku pacu mobil agak kencang menuju losmen langganan. Jalanan terasa lebih lapang, dan papan iklan kian gemilang oleh cahaya neon, berbarengan semarak iklan di radio yang kuputar. Di luar, kulihat makin banyak warung buka hingga larut, bahkan 24 jam. Sementara dalam mobil yang melaju, kulirik dua anak muda di sampingku. Mereka tidur kelelahan. Ah, anak muda, kau menghadapi masamu sendiri, dengan gejolak dan gelora.
Aku merasa dulu juga seperti itu, sebelum punya anak tiga. Aku menolak melanjutkan kuliah karena merasa tambah bego. Kemudian Pak Madi, tetanggaku, menawari aku jadi tenaga honorer di kantor pos. Tapi jika mau diangkat cepat, kata Pak Madi, si mbok bisa dikenalkan dengan orang yang ngatur. Ngatur mbahmu! Bentakku dalam hati. Mbokku sampai terbungkuk-bungkuk meyakinkanku. Aku bergeming dan memutuskan ikut truk pasir Pak Kali.
Sekarang aku merasa gagal jadi pemberang. Aku harus tenang memikirkan sembako, biaya sekolah anak, iuran ngaji, cicilan rumah, kondangan, pitulasan, dan tetek bengek ini-itu. Karenanya, melihat sikap Zen uring-uringan, aku mulai berpikir untuk menegur. Maklum, sekarang banyak warung dan toko yang ia minta dilewatkan. Alasannya macam-macam. Pemilik warung nunggaklah, suka komplainlah, galaklah, atau malas saja. Padahal aku dan Minareli berpendapat sebaliknya. Tapi sebagai sales utama, kami mesti ikut apa kata Zen.
Untuk menutupi target penjualan, kami terpaksa “buang barang”. Ah, orang lapangan pasti tahu yang kumaksud! Apalagi kalau bukan jual barang secara grosir ke toko-toko besar di kota kabupaten atau kecamatan. Tentu saja mereka bersedia karena harga sengaja dibuat miring. Demi target, tak apa, supaya bibir orang kantor tak ikut miring. Fakturnya dipecah supaya tak kentara, dan satu lagi: kami mesti nombok! Satu dua kali tak masalah. Kami masih dapat dari warung lain yang harganya digerek sedikit. Juga sisa uang solar karena tak banyak mutar.
Semua itu sungguh tak nyaman. Harus ada tindakan. Maka sehabis dua batang rokok, aku bangkit mendekati Minareli. Aku ajak ia menasehati Zen. Gadis itu segera menyimpan kalkulator dan membereskan semua berkas. Tapi belum sempat kami mulai, laki-laki kencur itu mulai lebih dulu! Begitu selesai mandi, dia langsung bilang, “Kuharap sekali ini saja kita ke sini, Mang.”
Aku yang girang dapat pelanggan baru, hari itu langsung ia patahkan. “Lho, kenapa?”
“Kita kurangi pelan-pelan jadi ujung tombak peredaran barang-barang konsumsi, Mang. Alangkah baik mereka menjual lemper dan onde-onde buatan sendiri, berbungkus daun pisang, ketimbang kita kirimi terus kue-kue kemasan dalam kaleng dan sampah plastik dari pabrik.”
Aku pikir ini konyol. Tanpa kami pun barang-barang itu akan datang menyerbu, bahkan tanpa saingan. Zen sendiri sepakat, tapi dengan tambahan, “Itu keniscayaan, Mang. Hanya saja bukan kita lagi pelakunya. Mengurangi lebih baik daripada tidak sama sekali.”
Wah, ini tambah tak masuk akal. Ciloko! Runyam. Tak terhindarkan, kami bertengkar di tepi Luk Ulo yang mulai bergemuruh karena hujan tampaknya sudah turun di hulu. Cukup banyak kata kuhamburkan, tapi ini paling kuingat, “….dengan begini kamu sama saja korupsi, mark up dan mengkhianati perusahaan!”
Zen membalas bersama kilat petir di langit, “…Teruslah kamu, Mang, selamanya jadi kaki tangan perusahaan, banjiri semua kampung dengan barang-barang berhalamu!”
Minareli terceguk. Ia bingung mau berbuat apa. Ia terjepit antara idealisme Zen dan keinginanku yang realistis—membuat kami sedikit berbahaya! Mata Zen nanar. Ia hempaskan pintu sebelum aku injak gas. Kepalanya berkali-kali ia tekan ke dash board. Melampiaskan apa yang tak terlampiaskan. Dadaku sendiri sesak, kemudiku zig-zag. Hujan turun sepanjang jalan, licin dan tergenang. Kurasakan kaca mengabur. Untunglah kami selamat sampai Jogja. Namun saat baru masuk ring road barat, persis di depan kampus UMY, Zen minta berhenti. Tanpa masuk jalur lambat, aku menepi. Begitu saja pemuda itu melompat, “Cukup sampai di sini!” katanya, lalu lari menembus hujan. Minareli tak bisa mencegah. Sedang aku memang tak ingin mencegah.
Dua hari setelah itu Zen Ahmad Suhendar resmi mengundurkan diri, setelah hampir dua tahun kebersamaan kami. Sedangkan Minareli dipindah ke bagian administrasi.
Jujur, itulah saat aku merasa benar-benar suwung, lebih dari sekadar kata sepi! Aku kehilangan sosok yang memberiku warna berbeda dalam kerutinan hari-hari. Tapi bagaimanapun toh bersama sales lain aku harus tetap keliling, mengantar barang sampai kampung terujung, dan seturut stiker yang nempel di kaca mobilku, “Kami setia sampai nanti, sampai mati.” ***
/Rumahlebah Jogjakarta, Agustus 2017
Catatan:
Mengenai sales kanvas dan distribusi barang, diolah dari artikel/info dalam www.lowonganmadiun.com dan www.motorisweb.com. Kutipan puisi bersumber dari Iman Budhi Santosa, Dunia Semata Wayang (YUI, 1996: 78)
RAUDAL TANJUNG BANUA, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, 19 Januari 1975. Tinggal di Jogjakarta. Bukunya Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai serta Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan dalam persiapan terbit.
Leave a Reply