Cerpen Nazil Muhsinin (Kedaulatan Rakyat, 04 September 2017)
SLAMET, rakyat miskin bahkan termiskin di desa pelosok itu, sudah wafat lima tahun lalu, tapi tiba-tiba ada Pak Pos yang datang mencarinya.
“Betulkah ini rumah Slamet?” tanya Pak Pos kepada tetangga depan rumah Slamet.
“Iya, betul.”
Sekilas Pak Pos memperhatikan rumah Slamet yang kecil serupa gubuk, berdinding anyaman bambu, terasnya masih berupa tanah, belum dilapisi batu atau keramik. Sekilas pula Pak Pos membayangkan kepada Slamet yang miskin dan memang selayaknya mendapat bantuan dari pemerintah.
“Kok rumahnya sepi? Di mana Slamet?” tanya Pak Pos lagi.
“Slamet sudah wafat, lima tahun lalu. Almarhum dulu hidup sebatang kara. Jadi sekarang rumahnya kosong.”
Pak Pos tersentak kaget sambil memperhatikan amplop yang sedang dipegangnya. Sangat jelas nama yang tertera di amplop itu: Slamet. Juga sangat cocok alamat yang tertera di amplop itu dengan posisi rumah Slamet. Jadi tidak keliru atau tidak tersesat kalau dia datang hendak menyerahkan amplop berisi Kartu Indonesia Sehat itu kepada Slamet.
Pak Pos kemudian teringat pengalaman rekan-rekannya yang pernah diceritakan kepadanya. Ketika mereka hendak mengantarkan amplop berisi Kartu Indonesia Sehat kepada yang berhak menerimanya, ternyata si penerima sudah wafat beberapa tahun silam.
Siapa yang salah? Tiba-tiba Pak Pos bertanya dalam hati. Sekilas benaknya membayangkan kehidupan orang-orang miskin yang memang seharusnya menerima kartu jaminan sehat dari pemerintah. Tapi, pemerintah itu ibarat pihak yang berada di tempat jauh, tidak bisa melihat sendiri nasib rakyatnya.
Cara pemerintah melihat nasib rakyat hanya lewat laporan petugas dari lembaga yang berwenang mendata rakyat. Masalah tentu muncul jika data yang dipakai pemerintah dalam melihat nasib rakyatnya ternyata data yang sudah usang. Misalnya, data yang dibuat 10 tahun lalu dipakai pada saat ini.
Kesimpulannya, yang salah jelas pemerintah, karena memakai data yang sudah usang untuk melihat nasib rakyat. Padahal, nasib rakyat bisa berubah-ubah. Misalnya, banyak rakyat yang masih miskin pada saat didata petugas 10 tahun silam ternyata sekarang sudah makmur. Sebaliknya, banyak rakyat makmur ketika 10 tahun silam didata petugas ternyata sekarang jatuh miskin dan bahkan sudah wafat.
Pak Pos kemudian berkesimpulan lagi, betapa program pemerintah terkait upaya membantu rakyat miskin terbukti sering salah sasaran karena memakai data usang sedangkan kehidupan rakyat berubah-ubah. Tapi karena hanya sebagai Pak Pos yang tugasnya mengantar kiriman lewat kantornya ke alamat-alamat yang tertera maka kesimpulan itu tidak diucapkan kepada siapa pun.
Pak Pos kemudian pergi untuk mengantarkan kiriman ke alamat-alamat yang dituju. Ketika hendak mengantarkan amplop berisi Kartu Indonesia Sehat di desa sebelah, rumah si penerima dalam keadaan tertutup. Rumah itu cukup besar berlantai dua berpagar tembok setinggi tiga meter. Pintu pagarnya digembok.
Pak Pos bertanya-tanya, bagaimana mungkin rakyat yang punya rumah sebesar itu juga berhak menerima Kartu Indonesia Sehat? Pak Pos kemudian tiba-tiba teringat cerita rekan-rekannya bahwa memang ada rakyat yang sebetulnya sudah cukup kaya tapi mengaku miskin.
Bahkan, konon ada banyak rakyat yang sudah makmur tapi minta surat keterangan tidak mampu di kantor desa agar sekolah anak-anaknya bisa digratiskan.
Di negeri ini, memang banyak orang kaya justru ingin dianggap miskin karena pemerintah membantu rakyat miskin. Di mata mereka, menerima bantuan pemerintah dianggap lebih menyenangkan dibanding keadaan makmur yang selayaknya disyukuri. Apa mungkin karena itu banyak orang kaya jadi kualat, seperti celaka atau menderita sakit yang semakin parah walaupun sudah berobat ke mana-mana?
Pak Pos hendak pergi ketika tiba-tiba tetangga sebelah rumah mendekatinya dan berkata: “Rumah ini kosong, Pak Pos. Pemiliknya tinggal di rumah lain. Maklumlah, orang kaya, punya banyak rumah.”
Pak Pos mengangguk-anggukkan kepala sambil memperhatikan nama dan alamat yang tertera di amplop yang sedang dipegangnya. Sudah jelas, ada lagi kasus salah sasaran terkait program pemerintah dalam membantu rakyat miskin.
Pak Pos tiba-tiba teringat program bantuan untuk rakyat miskin pada masa-masa lalu yang juga banyak yang salah sasaran. Misalnya, dulu ada program Bantuan Langsung Tunai yang justru diterima banyak rakyat yang tergolong makmur. Tapi sebaliknya justru banyak rakyat tergolong sangat miskin tidak menerimanya.
“Kayaknya ini salah alamat, biar nanti dikembalikan ke pengirimnya saja,” kata Pak Pos. Lalu Pak Pos mencoba bertanya sambil memperlihatkan amplop lain kepada tetangga sebelah rumah itu. “Kalau nama ini alamatnya mana, ya?”
“Di desa ini, hanya ada satu nama ini. Tapi ini nama Pak Kades.”
Pak Pos tersentak sambil memperhatikan nama yang tertera di amplop itu, yang sudah tidak asing lagi baginya. Sebab, nama itu memang nama Pak Kades yang sudah lama dikenalnya. Jelas sangat aneh. “Bagaimana mungkin Pak Kades juga mendapat Kartu Indonesia Sehat?” tanyanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Mungkin dulu ketika didata belum jadi Kepala Desa dan mengaku sebagai rakyat miskin.”
“Ya, bisa jadi,” tukas Pak Pos sambil menahan rasa geli. q-e
Bumi Mina Tani, Pati, Agustus 2017
*) Nazil Muhsinin, Kelahiran 14 September 1971 Gemar mengembara sambil menulis prosa, puisi dan esai. Antologi cerpennya “Bajingan Bersorban” terbit tahun 2012.
jasminehandayani
Reblogged this on hanihandayani779.