Cerpen Nurfathi Robi (Kedaulatan Rakyat, 10 September 2017)

Mimpi dalam Saku ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
TROTOAR tua dingin nan sepi tanpa sapa, manusia berjalan tunduk-menunduk dalam keheningan. Searah.
Berada di jalan lain belum tentu tanpa beban; begitulah perasaan Edo saat ini.
Semestinya, menjadi berbeda merupakan kebebasan. Namun, bagi dirinya, berbeda adalah kesiapan untuk mati dalam kesendirian. Meski pun entah kapan akan datang?
Ia terpaksa jadi penyintas di jalan panjang ini, sembari memandang dalam-dalam setiap jengkal keheningan di sekitarnya. Jalan aspal yang membisu, tanpa ringkik mobil tua atau pekik mobil-mobil muda. Sekiranya, itu yang membuat kota sunyi malam ini. Tanpa laku berarti dari isi kota itu sendiri.
Edo enggan untuk larut dalam keheningan; meraba mimpi dalam saku blazernya; menyapa bias bulan malam keras-keras; atau sekadar mundur untuk mengambil batu yang tercecer.
Semua itu Ia lakukan, ketika semua mata menenggelamkannya ke dasar; mencekik; dan memotong nafas Edo.
Sekeliling memandanginya dengan sinis: mencibir. Boleh jadi, baik ketika Ia mundur atau pun maju, semua orang menjauh, membangun garis horizontal, seolah-olah terdapat garis pemisah diantara mereka.
Ah, keterasingan … memang menyesakkan: sering bagi yang-terpisah, kadang juga bagi yang-memisah. Semua orang adalah besi-besi penjara yang memancang, jatuh dari langit, dan memenjarakan manusia diantara dua bahu. Jadi terpaksa hidup mengasah. Mengasah pisau yang kelak digorokkan pada lehernya sendiri. Edo, boleh jadi orang kesekian yang mencoba kabur dari penjara itu. Lari dari pisau tua berkarat atau mencoba hidup seolah-olah taman bermain. Namun, besi telanjur terpancang tegak, semampu-mampunya Edo, untuk menggesernya saja tak kuasa.
Tatapan sinis, atau seringai jijik orang-orang, kian beringas ketika Edo berusaha menembus batas.
“Gila kau, Edo!” umpat seorang laki-laki.
“Tak puaskah kau, Edo? Tak puaskah kau dengan segalanya?” cecar seorang wanita tua yang memakai renda.
“Lihat! Edo, dia memungut batu. Buat apa? Pasti gila dia!” hasut seorang gadis
Edo diam, kini dalam kerumunan. Matanya … kadang menunjukkan sorot terheran-heran, atau kadang juga menatap benci, kadang juga menatap nista, atau kasihan. Apalagi bibirnya telanjur terkunci dengan gembok emas, gagal membela diri, atau sekadar menjawab cerca ibunya… wanita tua yang memakai gaun renda.
Edo kini patung pualam yang tak mengerti cara untuk bergerak. Tulang-tulang, kulit-kulit, dan sendisendinya berontak diam. Seolah bersekongkol dengan kerumunan untuk membunuhnya dengan belati tajam milik kata-kata. Ia tak bisa lari, kelak diartikan sebagai perlawanan. Si Gadis Penghasut melepas sepatunya dan melemparnya. Kena. Kepala Edo berdarah, disusul dengan lemparan-lemparan dari kerumunan. Bakiak, sandal, tas, handphone, lampu jalan, rumah, bahkan pohon-pohon semua terhempas pada tubuh yang letih berlari itu.
Polisi sedari tadi memperhatikan keributan itu, tetapi tetap diam seolah menunggu kerusuhan terjadi. Biarlah Si Edo itu dapat pelajaran begitulah idenya. Badan tegapnya Ia bawa mendekati kerumunan itu, sambil sesekali diusap-usap kumisnya yang mulai berubah putih. Berjalan sembari picik tersenyum. Perlahan, selangkah demi selangkah, pelan sekali, sampai kerumunan itu berubah menjadi badai.
Polisi tetap berjalan pelan. Ia ingin memastikan Edo mendapatkan pelajaran setiap detiknya.
“Tuliskan saja di laporan bahwa saya terlambat datang ke TKP,” gumamnya terkekeh.
Kerumunan itu mulai memercikkan api, seperti beradunya dua besi dalam kecepatan tinggi. Meski demikian, Edo, seperti sebelumnya, hanya mampu terdiam.
“Hentikan! Stop! Jangan diteruskan,” teriak Polisi keras sekali.
Massa terdiam.
“Ini semua ulahnya, Pak!” kata seorang pria sambil merujuk pada tubuh berlumur darah bertitel Edo.
“Betul, andaikan saja dia terima apa adanya. Dia betul-betul brengsek!” seruan terdengar dari sudut kerumunan. Suaranya berat, dan nafasnya tersengal. Barangkali, dia yang paling banyak memberi petaka pada tubuh Edo. Kerumunan jadi ribut, gagal memberi petaka lahiriah, kini kata-kata dipilih menjadi senjata.
“Diam, kalian semua.” Polisi berteriak lagi. Kini gemuruh petir mengiringi dibelakangnya. Suasananya kian dramatis. Hujan turun, dan bercampur dengan darah Edo yang menggenang semata kaki.
“Kau juga, Edo. Apakah kau lupa bahwa menjadi dirimu sendiri adalah tindakan melawan hukum!” hardik Polisi kepada Edo, tepat diwajahnya. Bagaikan sudah menjadi keinginan yang tenggelam oleh realita. Kini Polisi akhirnya bisa menghantam Edo, tepat di ulu hatinya, dengan kata-kata.
Sekarang, setelah belur dengan hantaman, sendi-sendi Edo dapat bergerak. Ia berjalan menembus kerumunan tertatih. Memungut kunci gembok emas yang tercecer, batinnya tak menyoal lagi hantaman itu, “Masa bodoh sudah!”.
Ditinggalkannya jauh-jauh kerumunan itu, sesekali masih terdengar kicau cacian dan umpatan yang menggelegar bersama petir, atau masih gamblang wajah-wajah padam-murka kerumunan itu, yang paling jelas adalah wajah Polisi.
Menjadi berbeda memiliki konsekuensi, dan mati oleh kata-kata hanya satu dari seribu konsekuensi. Sebenarnya, hal itu sudah disadari oleh Edo, tapi pilihannya telanjur bulat. Ia ingin membangun jembatan, dari mimpi yang ada disakunya dan batu-batu yang dia pungut. q – g
*) Nurfathi Robi, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Leave a Reply