Cerpen, Koran Tempo, Yusi Avianto Pareanom

Edelweiss Melayat ke Ciputat

4.5
(2)

MINGGU, 10-10-10. Beberapa orang memilih menikah atau melahirkan pada hari bertanggal biner itu. Aya ditemukan pada hari tersebut dengan tubuh terpotong sepuluh dalam empat kantong plastik hitam besar. Kantong-kantong yang ditaruh di pembatas jalur di jalan raya depan Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, itu selama tiga hari sempat dikelirukan sebagai kantong sampah lainnya yang banyak bertumpuk di sana.

EDELWEISS mendengar kabar itu sepuluh jam kemudian di rumahnya di Nitiprayan, Jogjakarta. Ia sedang istirahat makan malam setelah seharian melukis di studionya. Ia makan sambil iseng menonton televisi, tangan kirinya yang masih berbau minyak cat memindah-mindahkan saluran. Breaking news di sebuah stasiun menyebutkan nama lengkap Aya, dan Edelweiss meletakkan remote control di meja.

Berita itu menyebutkan bahwa tersangka sudah tercokok, seorang ibu rumah tangga yang masih kerabat jauh Aya dan tinggal di kawasan Ciputat juga. Pagi tiga hari yang lalu Aya menagih uang yang dipinjam kerabatnya itu, jumlahnya Rp 10 juta. Menurut pengakuan tersangka, ketika ia minta tempo lagi Aya marah dan menyerangnya sehingga ia refleks membela diri. Aya kemudian terdorong jatuh, bagian belakang kepalanya menghantam meja marmer di ruang tamu. Tersangka kemudian memotong-motong tubuh Aya di kamar mandi, meletakkannya ke dalam kantong plastik, menyembunyikannya di dapur, menunggu tengah malam tiba sampai anak-anak dan suaminya tidur, lalu dengan dua kali naik sepeda motor menaruhnya di depan pasar. Ia berharap kantong-kantong itu langsung terangkut truk sampah keesokan paginya.

Edelweiss tanpa sadar mengikuti awal berita ini dengan masih menyendokkan makanan ke mulutnya sekali lagi. Tapi, begitu narasi berjalan, ia berhenti mengunyah. Ketika berita selesai, rendang yang belum betul-betul lumat di mulutnya meluncur ke tenggorokannya tanpa ia maui. Ia cepat-cepat mendorongnya dengan teh tawar untuk kemudian lari memuntahkan semuanya di kamar mandi.

Masih lemas, ia keluar kamar mandi. Pikiran pertamanya setelah itu adalah mengapa Pandan tak langsung menghubunginya. Pandan adalah suami Aya. Lima tahun yang lalu, laki-laki itu masih menjadi suami Edelweiss.

“Bapak dari tadi siang belum pulang dari kantor polisi, Bu. Diperiksa, katanya,” kata pembantu rumah Pandan. Pembantu itu juga bilang bahwa Pandan pada kemarin lusa sebetulnya sudah melaporkan hilangnya Aya ke polisi. Tapi, saat itu Pandan disuruh menunggu.

Edelweiss keluar ke halaman depan, menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dengan cepat. Ia menyalakan sebatang lagi sampai habis sebelum masuk rumah. Ia mulai menduga-duga sekiranya Danae sudah mendengar berita mengejutkan tersebut. Danae adalah anak tunggal Edelweiss dan Pandan, usianya sembilan tahun. Edelweiss dan Danae tinggal berdua saja di rumah mereka yang besar.

Edelweiss mengetuk pintu kamar anaknya dan masuk setelah anaknya menyahut. Danae sedang mengerjakan tugas matematika. Ia mengusap kepala anaknya dan dari belakang sekilas membaca soal-soal yang ia rasa terlalu rumit untuk anak kelas empat SD. Dari sikap Danae, Edelweiss yakin anaknya belum tahu. Seperti dirinya, anaknya juga tak begitu gemar menonton televisi.

“Ibu mesti ke Jakarta, ketemu ayahmu.”

Wajah Danae langsung gembira. “Ikut, kangen adik.”

Edelweiss menggeleng. Lalu, dengan amat berhati-hati ia menyampaikan berita duka itu tanpa menyinggung sama sekali tentang mutilasi. Danae menangis.

EDELWEISS mencari tiket pesawat paling pagi ke Jakarta. Tapi, ia baru bisa mendapatkan penerbangan pukul sepuluh. Danae sebetulnya berkeras ikut, Edelweiss melarang dan memilih menitipkan Danae ke rumah kakak sepupunya di Jalan Kaliurang.

Di atas pesawat, ingatan tentang Aya yang paling kuat menyerbu Edelweiss adalah pertemuan terakhir mereka di rumah Ciputat. Saat itu ia menjemput Danae yang berlibur Lebaran di sana. Ia sebetulnya malas jika harus masuk ke rumah yang dulu pernah ia tempati juga, tapi seperti biasa Danae harus benar-benar ditarik karena anak itu sangat tak rela berpisah dengan adik tirinya, Zulaika, anak satu setengah tahun yang lucu dan benar-benar menggemaskan: kulit terang, mata besar, bulu mata seperti bulu sapi saking lentiknya, alis tebal, hidung mungil, rambut hitam ikal, dan pipi yang gembil. Gengsi belaka yang mencegah Edelweiss tak memeluk atau mencium-cium anak itu.

“Kak Danae, masih ingat pesan Mama Aya, kan?” tanya Aya kepada Danae ketika anak itu berpamitan.

Danae mengangguk. Edelweiss penasaran. “Pesan apa, memangnya?”

Baca juga  Tiga Cerita di Batang Pisang

“Sekadar cerita kok, Kak, tentang baiknya meneladani perilaku nabi-nabi,” kata Aya.

Edelweiss mengangkat bahu dan pamit dengan senyum basa-basi.

Di dalam taksi yang mengantar mereka ke bandara, Danae buka mulut. “Mama Aya bilang patung sama saja dengan berhala, semestinya dihancurkan. Nabi Ibrahim melakukannya.”

“Menurutmu, patung yang Bunda buat itu berhala?”

“Enggaklah, kan tidak disembah-sembah. Bunda aneh tanyanya.”

Jawaban anaknya menenangkan Edelweiss. Sesaat tadi, kepengin betul ia meminta sopir taksi memutar haluan kembali ke Ciputat. Aya sudah berani menyerangnya, mencoba memanipulasi Danae pula. Tapi, keesokan harinya Danae mesti bersekolah dan ia juga punya janji ketemu dengan seorang juragan tembakau asal Temanggung yang ingin membeli karya lukisnya periode 2000-an awal.

Hanya saja, tak mungkin Edelweiss membiarkannya begitu saja. Di bandara, ia menelepon Pandan. Seperti dugaannya, bekas suaminya itu pertama-tama meminta permakluman seperti pegawai pemerintah daerah yang tak punya jawaban lain saat ditanya mengapa banjir tak bisa dicegah, kemudian membela Aya mati-matian. Kata Pandan, Aya tak punya maksud buruk, mulia malah, karena ingin mempertebal iman Danae.

Edelweiss yang sudah gusar semakin marah ketika Pandan kemudian menyebut bahwa kehadiran patung-patung di rumah Jogja memang kurang baik bagi anak mereka, dan sebaiknya Danae tak diajak ikut-ikut gaya hidup ibunya. Dengan suara tertahan karena tak ingin didengar anaknya dan membuat drama di ruang tunggu, Edelweiss bilang bahwa jika Pandan tak menarik kata-katanya, ia tak akan sudi mengizinkan Danae datang lagi ke Ciputat. Pandan kaget dan nada suaranya mulai berubah, ia minta maaf mengiba-iba.

Kemarahan Edelweiss dengan cepat berubah menjadi rasa nelangsa. Ia betul-betul sedih. Dahulu lelaki itu sangat dipujanya, mataharinya, teman terbaiknya. Sekarang, sepertinya kualitas terbaik yang dimiliki Pandan hanyalah mudah terharu.

Insiden lain yang masih membekas pada Edelweiss terjadi setengah tahun sebelumnya, juga saat menjemput Danae. Saat itu ia masih bersedia duduk di teras berlama-lama menunggu Danae bermain-main dengan adiknya. Ketika itulah mendengar Aya menyanyikan lirik ini kepada Zulaika.

“Yahudi laknatullah, Amerika laknatullah….” Pertahanan diri Edelweiss jebol ketika lagu itu diulang-ulang.

“Mengapa menyanyikan lagu seperti itu?”

“Kan bagus, Kak,” jawab Aya.

“Berat sekali.”

“Sejak kecil kan anak mesti diajarkan siapa saja musuhnya.”

“Aduh, mengapa harus punya musuh, lagi pula siapa Yahudi yang kaumaksud?”

“Ya semuanya.”

“Bangsanya atau agamanya?”

“Semuanya.”

“Termasuk para nabi: Ishak, Sulaiman, Musa,Yahya, Isa, dan masih banyak lagi?”

“Mereka kan Islam, Kak.”

Edelweiss bisa paham jika musuh yang Aya maksudkan adalah pemerintahan Zionis Israel yang menindas bangsa Palestina. Tapi, semua Yahudi kena laknat? Ingin betul ia menjitak kepala Aya sambil bilang bahwa tidak semua bangsa Yahudi beragama Yahudi dan tak semua yang memeluk agama Yahudi berdarah Yahudi. Tidak semua Yahudi pula selalu sepakat dengan pemerintah Israel. Ia tahu bahwa ia tak mungkin menang omongan dengan orang semacam Aya, tapi bukan berarti ia harus membiarkannya, apalagi kata-kata itu diucapkannya di depan Danae.

“Jadi, semua Yahudi bakal kena laknat? Aduh, kalau ikut hitungan kamu, Tuhan tidak adil, dong.”

“Mereka kan selalu melawan Allah, Kak. Pantas kena laknat. Orang Amerika juga.”

Kalau bertahan lima menit lagi, Edelweiss yakin ia bakal membakar rumah itu. Maka ia cepat-cepat berlalu. Kalau saja bukan karena Danae yang selalu merengek rindu kepada adiknya, tak mungkin Edelweiss sudi mengantarkan anaknya ke rumah Ciputat lagi pada kesempatan-kesempatan berikutnya.Yang pasti, sejak obrolan soal Yahudi itu ia mulai berupaya menghindari bercakap-cakap dengan Aya lebih dari sepuluh detik seperti halnya Hemingway berusaha keras menghindari pemakaian kata sifat dan juru masak yang baik menghindari monosodium glutamate.

Insiden patung membuat Edelweiss yang sudah tidak suka kepada Aya menjadi benci plus mengasihani. Ia kemudian kadang membayangkan betapa nikmatnya bila suatu hari mendengar kabar Aya tertangkap suku kanibal dan direbus dengan api kecil terlebih dahulu sebelum dimakan.

Pikiran jahat yang mendadak teringat itu membuat perut Edelweiss mual.

PERJALANAN udara Jogja-Jakarta yang hanya 45 menit itu ternyata mampu mengedukmampatkan kenangan Edelweiss akan Aya. Semakin ia berusaha mengingat hal-hal baik tentang Aya, semakin banyak alasan yang ia dapatkan untuk tidak suka. Bukan karena perempuan yang lebih muda lima belas tahun darinya itu menikahi atau bahkan merebut Pandan. Pernikahan Aya dan Pandan berlangsung hampir tiga tahun yang lalu, dua tahun setelah perceraian Pandan dan Edelweiss.

Baca juga  Sempurna

Edelweiss awalnya menilai perilaku Aya di depannya merupakan campuran rasa sungkan, minder, dan menjilat. Edelweiss menduga hal ini mungkin ia sekadar bekas istri Pandan melainkan juga boleh dibilang setengah pemilik rumah Ciputat. Sekalipun lahan rumah itu adalah warisan yang diterima Pandan, Edelweisslah yang kemudian dengan uangnya membeli lahan di samping kanan dan kiri dan mendirikan bangunan rumah baru. Ketika berpisah, Edelweiss tak pernah menyinggung-nyinggung soal rumah itu dan pergi hanya dengan membawa Danae.

Edelweiss tahu bahwa sekalipun ia seorang perupa kontemporer terdepan Indonesia yang karyanya dibicarakan dan diburu kolektor dalam dan luar negeri, hal ini tak masuk di hitungan Aya. Tapi, Edelweiss tahu kalau Aya awalnya cukup sadar posisi. Yang tidak ia ketahui atau tak ia perkirakan adalah akhirnya Aya berani menggusur karya-karyanya yang masih tersisa di rumah Ciputat ke bagian gudang dengan cara menumpuknya begitu saja.

Edelweiss tak mau ribut dan lebih menyalahkan dirinya dan segera mengirim karya-karya itu ke Jogja. Hanya saja, ia betul-betul terluka mengetahui bahwa Pandan tak berusaha menahan sedikit pun. Padahal, dulu laki-laki itu yang paling bersemangat mendorong Edelweiss berkarya dan memperbarui gagasan-gagasannya. Karya-karya yang ia tinggal ia rumah Ciputat adalah karya yang sangat personal, yang tak akan pernah ia jula karena ia buat khusus untuk Pandan, sekalipun ia tak pernah menyatakannya secara langsung.

Saat mengepak karya-karya itu Edelweiss bertanya-tanya ke mana perginya Pandan yang dulu periang dan lucu. Ia ingat bahwa mereka bisa semalaman berbual-bual tentang soal-soal remeh-temeh yang menggembirakan hati. Tentang Bruce Lee, misalnya. Pandan menunjukkan bagaimana bagian akhir film Game of Death berisi kesalahan yang menggelikan. Adegan yang dimulai dengan Bruce Lee masuk ke pagoda musuh pada malam hari tiba-tiba berubah menjadi siang ketika si pendekar berkostum kuning setrip hitam bertarung dengan bintang basket Kareem Abdul Jabbar. Hal itu terlihat saat Bruce Lee melubangi dinding agar sinar matahari masuk mengganggu mata lawannya yang peka. Ketika Bruce Lee turun dari pagoda, suasana di luar sudah malam kembali.

“Siapa tahu ia Lee ketiduran sampai malam,” kata Edelweiss, geli.

“Pluk, menurutmu, kalau tarung beneran, siapa yang menang: si Naga Kecil atau Raksasa Kribo?” tanya Pandan. Pluk, atau Cempluk, adalah panggilan sayang Pandan kepada Edelweiss.

“Serius? Tidak tahu. Menurutmu?”

“Aku juga tidak tahu. Tapi, yang kutahu, dari sekian musuh Bruce Lee di film, yang paling hebat adalah Chuck Norris. Aku yakin, kalau berkelahi sungguhan, Chuck Norris yang menang.”

“Masa?”

“Kau tidak tahu? Chuck itu tidak saja jago tetapi juga sakti. Air matanya dipercaya bisa menyembuhkan kanker dan penyakit gawat lainnya.”

“Ngawur.”

“Betul, Sayang, Chuck Norris tak pernah menangis.”

Edelweiss tak pernah tertawa sekeras malam itu sebelumnya. Pada detik itu ia yakin bisa hidup bersama sampai mati dengan Pandan, apa pun keadaannya. Ia tidak tahu bahwa ia terlalu optimistis saat itu.

Setahun sebelum mereka berpisah, ayah Pandan di Semarang sakit-sakitan. Tak lama kemudian, ia meninggal dunia. Selama sakit itu, Pandan hanya sempat datang sekali karena sibuk menjadi konsultan sebuah perusahaan pengembang yang akan go public.

Kematian itu menyulut rasa bersalah Pandan sehingga pekerjaannya di kantor terbengkalai dan ia kemudian mengundurkan diri. Ia lantas mengikuti kelompok pengajian yang alirannya sama dengan yang diikuti almarhum ayahnya. Mula-mula, Edelweiss memaklumi yang dilakukan Pandan. Rasa berduka sangat pribadi, dan kalau Pandan bisa mendapatkan penghiburan lewat kegiatan barunya, tak apa, demikian pikir Edelweiss.

Yang tak disangka Edelweiss, kelompok yang diikuti Pandan sangat senang melarang ini dan itu. Betul-betul ini dan itu. Bahkan Yasinan pun tidak boleh. Kapan pun Edelweiss keberatan, Pandan selalu berdalih pilihan kelompoknya selalu bersandar pada kitab suci.

Mereka tak pernah bertengkar hebat dalam artian yang satu berteriak yang lain membalas dengan jeritan. Tak ada kata-kata kasar yang keluar. Tak ada pula barang-barang yang pecah terbanting. Pandan juga tak menuntut Edelweiss melakoni apa yang ia jalani. Tapi, ketegangan yang merambat setiap hari ini mencekik Edelweiss. Ia sesak dan mulai merasa tak bisa membedakan warna. Padahal, ia bukan sopir angkot yang hanya butuh paham tiga warna: merah, kuning, dan hijau. Ia tak bisa berkarya di rumah itu, padahal saat itu dalam waktu dekat ia mesti menyiapkan pameran tunggal di Singapura.

Baca juga  Keringat dan Susu

Perceraian mereka berlangsung cepat. Banyak kerabat dan tetangga yang menyayangkan. Mereka juga sedih ketika Edelweiss pergi membawa Danae. Selanjutnya, setiap berapa bulan sekali Edelweiss mengantarkan Danae menginap di Ciputat. Ia melakukannya bukan karena Pandan tak mau datang ke Jogja melainkan karena ia justru tak ingin. Pandan pernah mengunjungi sekali, dan ia benar-benar merasa tak nyaman.

Selama Danae di Ciputat, Edelweiss biasanya menggunakan waktunya di Jakarta untuk bertemu klien, kawan, atau sekadar memuaskan makan di tempat-tempat yang ia senangi. Awalnya, ia masih bertandang ke tetangga-tetangga lamanya di Ciputat, tapi pertanyaan-pertanyaan mereka seputar kepemilikan rumah nyaris seperti hasutan sehingga ia memilih menghindari mereka sebisa mungkin.

Edelweiss juga tak betah lama-lama di rumah Ciputat karena setiap kali melihat Pandan hatinya perih. Fisik bekas suaminya itu baik-baik saja tapi seluruh geraknya tampak lembek di matanya.Tak ada lagi sorot mata yang dulu sering bersinar nakal. Tak ada lagi panggilan Cempluk untuknya, yang ada hanyalah Bunda Danae. Tujuh belas samurai merana, maki Edelweiss dalam hati ketika pertama kali sapaan itu ia dengar.

Maka, ketika Pandan berkata akan menikah lagi dengan Aya, seorang guru taman kanak-kanak, Edelweiss sungguh-sungguh berharap kegembiraan Pandan kembali sekalipun ia menyimpan cemburu. Namun, begitu tahu bahwa Pandan menikahi Aya karena dijodohkan ketua kelompoknya, dan Aya bekerja di taman kanak-kanak yang dikelola kelompok itu, Edelweiss mengecilkan harapannya.

Mengingat saat itu Pandan tak lagi bekerja dan hidup dari mengandalkan tabungan, Edelweiss memberi saran agar Pandan membangun rumah-rumah petak untuk kos-kosan di lahan kiri rumah Ciputat yang masih cukup luas. Pandan menurut. Berkat rumah-rumah petak yang kemudian dengan cepat bertambah dua kali lipat itulah Pandan beroleh penghasilan yang lumayan. Penghasilan yang memungkinkan Aya meminjamkan uang kepada kerabatnya yang kemudian memotong-motongnya menjadi sepuluh bagian.

AYA sudah dimakamkan ketika Edelweiss sampai di rumah Ciputat pada tengah hari. Begitu jenazah boleh keluar dari rumah sakit pada pagi hari, Pandan memilih langsung memakamkannya ketimbang menyemayamkannya di rumah. Edelweiss merasa itu pilihan yang bijak.

Saat datang, setelah kecanggungan dua-tiga detik, Edelweiss memeluk Pandan. Laki-laki itu menangis di pundak Edelweiss, semenit, Edelweiss merasakannya berjam-jam. Beberapa mata tetangga ikut basah. Beberapa mata anggota kelompok pengajian menatap bertanya, tapi mereka tak angkat suara. Edelweiss juga bersalaman dengan kedua orang tua Aya, tak keluar kata-kata apa pun dari mulutnya.

Sampai malam para pelayat masih berdatangan. Beberapa kerabat Aya terlihat kikuk karena korban dan pelaku adalah anggota keluarga besar mereka. Sejak sore Edelweiss memilih menyingkir ke halaman belakang. Ia menyempatkan memetik dan memakan srikaya supermanis yang dulu ditanamnya. Di sini pula, ia untuk pertama kalinya memeluk, menggendong, dan mencium-cium Zulaika yang sebelumnya dipegang pengasuhnya.

Pengajian selesai pukul setengah sembilan malam. Edelweiss sempat ikut sebentar. Ia sebetulnya agak berharap mendapatkan pengajian yang menggetarkan hati. Ia keliru, acaranya berjalan datar.

Kelelahan, Edelweiss beristirahat di kamar Danae, kamar yang sampai sekarang hanya digunakan jika anak itu datang menginap. Edelweiss tak tahu sudah berapa lama ia terlelap. Ketika terbangun, ia mendapati Pandan sudah duduk di kursi tak jauh dari ranjang. Mata laki-laki itu letih tetapi bibirnya mencoba tersenyum. Edelweiss bangkit dan memeluknya. Pandan menangis lagi. Beberapa menit kemudian, digerakkan oleh perasaan yang ganjil bagi keduanya, mereka membuka pakaian dan melakukannya. Edelweiss merasai air mata Panda di bahunya. Setelah selesai, Pandan tertidur.

Edelweiss melihat jam tangan, pukul satu dini hari malam. Ia mengenakan pakaiannya, membasuh muka di kamar mandi. Kepalanya belum sanggup mencerna yang baru saja terjadi. Penghiburan? Ia merapikan diri dan keluar kamar. Di lorong depan kamar tak ada siapa pun. Ia mengambil tasnya dan berjalan keluar rumah. Di halaman depan, ia menyalakan rokok. Ia melangkah ke arah jalan raya mencari taksi. (*)

Yusi Avianto Pareanom, editor di Penerbit Banana.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!