Cerpen AS Laksana (Jawa Pos, 08 Oktober 2017)
IA mengirim pesan singkat berisi permintaan maaf tidak bisa bertemu hari ini karena suaminya sedang tidak enak badan sejak pagi dan tidak mungkin ia pergi meninggalkan rumah ketika suaminya ada di rumah dan sedang tidak enak badan. Saya ingin membanting telepon selular saya begitu membaca pesannya. Tentu saya bisa memahami keadaannya: ia tidak mungkin meninggalkan rumah jika suaminya sedang tidak enak badan, tetapi pada saat yang sama saya berpikir jangan-jangan ia berbohong. Ia pasti berbohong demi menghindari pertemuan; saya yakin tidak ada masalah apa pun dengan suaminya; ia hanya tidak ingin menemui saya hari ini. “Saya telanjur memesan penginapan di tempat ini Kalwa,” balas saya.
“Sekali lagi maafkan saya,” balasnya. “Saya benar-benar tidak mungkin meninggalkan rumah hari ini.”
Saya hanya membaca pesannya tetapi tidak membalasnya; pikiran saya kacau dan dada sesak sekali rasanya. Ia bisa dengan enteng meminta maaf; ia hanya perlu menggerakkan jari-jari telunjuk di layar teleponnya, tetapi saya tidak bisa seperti itu. Saya tidak bisa secara enteng memberinya maaf. Saya merasa sedang dipecundangi; saya merasa dikhianati. Saya menghubunginya dan ia tidak mengangkat panggilan telepon saya. Tetapi tak lama kemudian ia mengirim pesan: “Besok kau jadi pulang?”
Tangan saya gemetar dan saya betul-betul ingin membanting telepon saya. Saya ingin datang ke rumahnya saat itu juga dan menggedor pintunya dan menggandengnya keluar. Jika suaminya ada di rumah dan betul-betul sedang tidak enak badan, saya akan tunjukkan kepada lelaki itu bagaimana cara saya membawa istrinya pergi; saya ingin lelaki itu melihat bagaimana tangan saya meraih tangan istrinya, bagaimana saya membungkuk dalam gerak anggun dan mencium tangan istrinya, dan bagaimana saya menggandeng perempuan itu meninggalkan rumah.
Jalanan sunyi pada pukul empat sore yang terasa seperti pukul delapan pagi—hari selalu terasa seperti pukul delapan pagi di tempat ini, matahari tidak terbit di timur dan terbenam di barat, ia hanya merayap di kaki langit dan bergerak melingkari tempat ini dengan ketinggian pukul delapan pagi. Bus ke pulau hanya mengangkut penumpang satu kali sehari dan ia sudah berangkat sejam yang lalu. Saya sengaja menginap di kota tepi pantai ini, meninggalkan apartemen dua hari sebelum hari kepulangan, karena ia yang meminta kami bertemu terakhir kali di sini.
“Berjanjilah,” katanya, “jika sudah kembali ke negaramu, kamu tidak akan melupakan saya.” Saya mengangguk dan berjanji tidak akan pernah melupakannya.
Sebetulnya ada taksi untuk kembali ke pulau, tetapi ongkosnya akan mahal sekali. Selain itu, saya tidak begitu yakin bahwa saya akan betul-betul punya nyali untuk masuk ke rumahnya dan membawanya pergi. Adegan-adegan itu berkelebat terus-menerus di dalam benak, tetapi saya tidak yakin akan punya hati untuk mengambil seorang perempuan dari suaminya dengan gerak-gerik sedingin yang saya bayangkan, dan menyakiti perasaan lelaki yang sedang tidak enak badan.
Lagi pula saya tidak datang kemari untuk melakukan tindakan yang akan dipandang orang-orang sebagai perbuatan bejat; saya tidak tahu bagaimana cara menghindar dari apa yang dipikirkan oleh orang-orang lain tentang diri saya dan kebejatan tindakan saya, jika saya melakukannya dan mereka nanti membicarakan hal itu. Saya datang ke tempat ini karena tertarik pada makhluk-makhluk imajiner di dalam dongeng mereka dan ingin tahu kenapa ada satu makhluk yang sama persis dengan makhluk imajiner dari Tulang Bawang Barat, sebuah tempat di pelosok Lampung yang saya kunjungi beberapa waktu lalu, yaitu ayam jantan yang menjunjung tinggi kepatuhan.
Selain urusan makhluk-makhluk imajiner itu, setidaknya di tempat ini saya bisa terbebas sejenak dari gangguan seorang penyair yang bisa datang ke rumah saya sembarang waktu, seolah-olah saya adalah anak buah yang harus selalu menyambut kedatangannya kapan pun ia datang. Ia senang datang ke rumah saya dan menceritakan perempuan-perempuan yang ia pacari dan ia mungkin berpikir bahwa saya senang mendengarkan cerita-ceritanya. Atau jangan-jangan ia tidak berpikir sama sekali tentang apa yang saya senangi; ia hanya menyukai cerita-ceritanya sendiri.
Saya tahu ia ingin membuat orang lain kagum bahwa ia sangat mahir dalam menekuk hati perempuan, dan orang lain itu adalah saya. Saya tahu ia ingin dianggap penakluk, orang yang menarik, orang yang sanggup menjadikan setiap perempuan pacarnya jika ia menginginkan perempuan itu menjadi pacarnya. Dan saya benci pada kelemahan saya sendiri—watak alami yang melekat dalam diri saya sejak hari kelahiran—yang membuat saya tidak mampu menghindar dari kisah-kisah penaklukan yang ia sampaikan. Kadang-kadang saya malah menunjukkan reaksi seolah-olah saya benar-benar mengagumi kehebatannya dalam melakukan penaklukan demi penaklukan.
Sekarang saya bisa terbebas darinya untuk sementara waktu, tetapi rupanya tidak sepenuhnya bebas. Orang itu mengirimkan puisi jelek setiap hari melalui aplikasi WhatsApp; ia setiap hari mengarang puisi yang kalimat-kalimatnya seperti kalimat berita biasa saja dan saya harus membacanya setiap bangun tidur. Saya tunjukkan puisinya yang berjudul Tadarus Handphone kepada Kalwa ketika kami sedang minum kopi di kedai dekat supermarket desa, dan saya terjemahkan satu bait untuknya agar ia tahu sejelek apa puisi itu.
“Nah, kau sudah dengar sekarang,” kata saya. “Ia menulis puisi seperti membuat pengumuman untuk warga kelurahan.”
“Diblok saja sehingga kau tidak akan menerima apa pun lagi dari orang itu,” katanya.
Saya katakan biar saja tak usah diblok; kadang-kadang saya terhibur juga membaca puisi-puisi seperti itu. Ia bingung kenapa saya bersungut-sungut menerima puisi-puisi itu setiap hari jika puisi-puisi itu bisa membuat saya terhibur. Jadi apa yang kau inginkan sebetulnya, katanya. Tentu saja yang saya inginkan adalah saat-saat seperti ini, Kalwa: minum kopi bersamamu setiap hari, tetapi bagaimana cara menyampaikan hal ini kepadamu?
Angin bertiup kencang di pulau ini; sebagian pepohonan menguning dan mulai gundul ditampar setiap hari oleh angin yang bertiup kencang. Jarvi, pemilik kamar, membawa saya masuk dari pintu belakang dan kami naik ke lantai dua menuju kamar yang saya sewa di apartemen kecil itu; ia menjelaskan beberapa hal dan memberi tahu bahwa saya harus keluar jika ingin merokok. “Di teras belakang tempat kita masuk tadi,” katanya.
Teras itu gelap tanpa lampu ketika saya keluar merokok pada malam hari, tetapi pada malam ketiga ia memberi saya cahaya dari jendela dapurnya. Ia tidak menurunkan tirai jendela dan teras tempat saya merokok menjadi terang dan dari situ saya melihatnya bergerak gesit di dapur. Ia tidak melihat saya. Setiap kali saya melihat ke arahnya, ia selalu sedang memunggungi saya, memasak sesuatu. Entah sedang memasak apa ia pada pukul setengah dua belas malam.
Pada hari berikutnya ia masih memasak di dapur ketika saya turun dari kamar dan merokok di teras pada pukul satu dini hari dan tetap berdiri memunggungi saya.
Kami bertemu pertama kali pada minggu kedua; saya baru pulang dari jalan-jalan dan ia baru keluar dari apartemen dan ia tersenyum ketika kami berpapasan di tikungan dekat apartemen kecil tempat ia tinggal bersama suaminya dan saya menyewa kamar selama tiga bulan. Berhari-hari sejak itu saya memikirkan senyumnya. Saya sibuk memikirkan kenapa ia tersenyum dalam cara malu-malu seperti itu dan apakah kepada setiap orang ia memberikan senyum malu-malu atau senyum itu hanya ia berikan untuk saya.
Dan kenapa ia mau memberi cahaya tetapi selalu berdiri memunggungi saya? Jika ia tidak mau melihat saya, mungkin karena penampilan saya tidak enak dilihat atau mungkin ia akan merasa sakit jika melihat saya, kenapa ia selalu berada di dapur setiap kali saya merokok? Saya ingin menanyakan hal itu kepadanya jika kami berpapasan lagi. O, tidak. Itu jelas keinginan yang konyol.
Ia pasti akan merasa bahwa pertanyaan itu menyudutkannya dan ia akan marah karena saya sudah menyakiti perasaannya dengan mengajukan pertanyaan yang seperti itu. Mungkin ia akan memandang saya sebagai lelaki jahat dan tidak tahu diri; lelaki yang suka menanyakan urusan-urusan remeh yang bukan urusannya; lelaki yang suka mempermalukan perempuan, makhluk yang memendam prasangka buruk terhadap urusan sehari-hari yang biasa saja. Saya khawatir ia akan merasa diserang dan kemudian akan menyerang balik:
“Kenapa orang tidak boleh berada di dapurnya sendiri pada pukul berapa pun? Pikirmu aku di dapur karena menungguimu merokok?”
Saya bersyukur masih mampu mengekang mulut saya dan tidak menanyakan hal itu pada saat kami berpapasan lagi untuk kali kedua dan ia kembali tersenyum dalam cara yang sama. Saya juga tidak menanyakannya ketika kami bertemu di supermarket desa. Ada kedai kopi di dekat supermarket itu. Di situ kami mampir minum pada Selasa siang, dan pada hari Kamis, dan pada hari Jumat, dan pada hari-hari berikutnya pada saat kami berbelanja. Saya merasa seperti Clint Eastwood, wartawan foto dalam film The Bridge of Madison County, dan ia Meryl Streep, perempuan desa yang cantik dan sederhana, dengan suami seorang lelaki desa yang baik dan sibuk mengurusi ternak-ternak.
Di kedai itu, ketika kami sudah cukup dekat dan ia tidak lagi tersenyum malu-malu, Kalwa menceritakan bahwa dulu ia tinggal di kota pelabuhan dan pernah hendak lari meninggalkan rumah, mengikuti pacarnya dan menjalani kehidupan yang sama sekali baru bersama pacarnya di Bolivia, sebuah negeri yang jauh dari negerinya, di sana pacarnya memelihara iguana dan lelaki itu pernah terkilir kakinya saat melompat dari parit. Ayahnya marah saat mengetahui ia berpacaran dengan lelaki itu. “Aku tahu semua pelaut seperti itu,” kata ayahnya.
Ayahnya membenci pelaut yang memacari Kalwa dan mereka bertengkar ribut pada suatu pagi hari, dan sejak itu keduanya berpacaran sembunyi-sembunyi. Ia memutuskan ikut berlayar ketika tiba waktunya bagi lelaki itu untuk berlayar pulang ke negerinya.
“Kau tidak jadi mengikutinya?” tanya saya. Ia mematung di tempat duduknya.
“Aku menangis pada malam hari ketika menulis surat untuk ayahku dan untuk adik lelakiku,” katanya.
“Mereka memang orang-orang yang menjengkelkan, tetapi sebetulnya mereka tidak seburuk yang kupikirkan selama ini. Dan aku satu-satunya perempuan di rumah sejak ibuku meninggal.”
Pada hari keberangkatan, Kalwa diam-diam meninggalkan rumah dan menemui pacarnya di tempat lelaki itu menunggu dan mereka kemudian bergegas ke pelabuhan. Para penumpang masuk ke kapal melewati tangga jembatan. Ia mencengkeram jeruji pagar jembatan itu kuat-kuat ketika pacarnya menggandengnya di tengah orang-orang yang berjalan masuk ke kapal.
“Ayo!” kata pacarnya. Ia diam di tempatnya, seperti tugu batu, tangannya mencengkeram makin kuat.
“Ayo!” Ia masih tetap mencengkeram jeruji pagar ketika kapal berangkat, dan ia masih berdiri di situ sampai kapal hilang dari pandangan.
Ayahnya mungkin tahu hal itu, tetapi orang tua itu tidak pernah menyinggung-nyinggungnya sama sekali. Ia hanya mengajak anak-anaknya pindah dari rumah mereka di kota pelabuhan dan menetap di pulau ini.
“Kau masih mencintainya?” tanya saya.
Ia menunduk, saya melihat senyumnya sekilas saat ia menunduk: senyum malu-malu sebagaimana yang saya lihat ketika kami pertama kali berpapasan. Tiba-tiba saya merasa tidak nyaman dengan senyum malu-malunya. Jangan-jangan ia masih mencintai pelaut keparat itu dan sampai sekarang tetap menunggu kedatangannya.
“Kau masih mencintainya, kan?” saya mengejarnya.
Ia mengangkat wajah, tidak berkata apa pun, mata kami bertemu dan saya merasa kikuk bertatapan dengannya. Hampir bersamaan kami mengalihkan pandangan kami masing-masing ke arah jendela. Seharian langit berwarna kelabu. Daun-daun kuning beterbangan ditiup angin.
Pesan darinya masuk lagi ke ponsel saya: “Selamat jalan jika besok kau jadi pulang. Maafkan aku tidak bisa menemuimu.”
Perut saya terasa mual di kamar. Di cermin, saya melihat wajah saya terlalu menyedihkan—dan saya baru menyadari sekarang bahwa korban cinta bisa tampak hancur lebur seperti ini.
Pada malam yang berantakan, saya sedih memikirkan diri saya sendiri. Saya juga merasa kasihan kepada suaminya. Kalwa pasti masih menunggu-nunggu pelaut itu; saya berharap lelaki itu sudah mati karam di dasar lautan. ***
.
.
AS Laksana, cerpenis, sedang mengikuti program resisdensi kepenulisan selama tiga bulan di Finlandia.
.
Kalwa. Kalwa.
Jasmine
Pelaut itu pasti saya..hehehe… Bagus cerpennya, jadi trbayang suatu tempàt di Finland..
Kharis
Selalu ada kejutan, terutama di bagian akhir…