Cerpen Indah Nova Ida Manurung (Haluan, 08 Oktober 2017)
BIAR kuceritakan pohon ingatan belasan tahun lalu padamu!
Mitos adalah; orang di sekitar memandang masyarakat dengan suku yang sama denganku sebagai kumpulan orang-orang yang berani sejak masih dari rahim ibu. Kau tahu, meski terlahir sebagai Boru Batak, tak lantas membuatku menjadi pemberani secara genetis. Bahkan, sekadar berbicara di depan orang saja menjadi ketakutan yang luar biasa bagiku.
Setelah masuk sekolah dasar, aku tak lagi berani berbicara di depan kelas seperti saat masih di taman kanak-kanak. Sekolah bagiku adalah tempat dewa-dewa mendakwa anak-anak tanpa data. Hanya berdasar pada perasaan dan persepsi mereka yang sering salah. Apa hubungan tangan cebok dengan kesopansantunan?
“Tio.”
“Hadir, Pak,” sahutku mengangkat tangan kiri.
“Tio.”Pak Dam kembali memanggil namaku.
“Saya, Pak.”Aku tetap mengangkat tangan kiri. Sementara tangan kanan kugunakan menulis catatan Matematika dari papan tulis yang tadi diajarkan Bu Roi. Di sekolah memang begitu. Pergantian jam pelajaran dimanfaatkan guru untuk menyuruh siswa mencatat pembahasan selama belajar. Selain menghemat waktu, itu adalah cara guru agar kami tak keluyuran saat menunggu giliran guru pelajaran berikutnya.
Pak Dam, guru pelajaran agamaku, datang. Setelah memanggil beberapa nama siswa, ia datang ke sampingku. Tangan hitamnya mendarat di pipi kananku. Keras sekali. Sampai-sampai aku terjatuh dari bangku hingga menimpa teman di sampingku.
Bak tersengat listrik. Aku tidak tahu-menahu apa yang telah kukerjakan hingga perlukah aku mendapat perlakuan begitu. Kuperhatikan puluhan pasang mata terarah padaku. Aku masih dalam bingung menahan sakit.
Leave a Reply