Pandemi Flu Spanyol, 1919 September
/
Udara menari-nari ke sana-kemari
Sesuai hati nan hati-hati
Untuk jiwa yang merana
Penuh harap keabadian berada di pangkuan terkasih
/
Arloji melirik September
dengan suasana mencekam
mengatakan, sudah cukup
Inilah waktu tuk berbenah
Setelah setahun lebih
jutaan jiwa terkasih meninggalkan pangkuannya
/
Awan menangis
dengan mengucurkan hujannya
Ia mengepung kami dengan rasa perih
Flu karena tangisan atau flu Spanyol
Kini tak dapat lagi kami bedakan
Semuanya bergumul menjadi satu
Kami meratapi wabah dan kepergiannya
/
Pandemi Covid-19, 2020 Desember
/
Perayaan akhir tahun apa yang paling menyedihkan?
Desember tahun ini
tak ada perayaan dan tak ada Kau
yang seperti biasanya
Kau duduk di sampingku
dan kita bercerita tentang fananya semesta
/
Langit tak beri isyarat
kalau sebentar lagi
Ia menyambutmu dengan girang
sedang saya hanya dengan kenangan
memandangmu
tuk terakhir kalinya lewat bias-bias jendela
rumah sakit bersama perihmu
dan tak kusangka pada akhirnya
kumengatakan jangan tinggalkan Aku
dan memesan batu nisanmu pada akhirnya
/
Wabah asing itu membuatmu
menjadi asing tanpa Kau di sini
kuingin memelukmu dengan erat tuk terakhir kalinya
kini kuhanya dapat menciumi dan memeluk bajumu
dengan melipat kepedihan
lalu kusimpan dengan baik dalam almari
Sebagian lagi kugunting
kujahit dengan tanganku sendiri
Kurekatkan pada sebagian wajahku
Meski kurasa Kau masih di meja kerjamu,
Kau duduk berhadapan di depan laptopmu
Lalu dengan setianya kubuatkan teh sehangat hatiku
dengan madu semanis rasaku yang tak lekang
tapi kini sudah telanjur dingin
Sedingin musim hujan di penghujung tahun ini
/
Adakah Jarak Kau dan Aku?
/
Adakah jarak antara pohon dan buah?
Adakah jarak antara suara dan pitanya?
Adakah jarak antara hujan dan air?
Adakah jarak antara bumi dan tanah?
Adakah jarak antara Rasa?
/
Semesta hanyalah belantara
Untuk hunian raga yang rasanya tanpa batas waktu
Adakah jarak antara hidup dan mati sayangku?
Sedang rasa itu Abadi
/
Aku di sini
Tahu apa yang kau rasa
Aku di sana
Melalui embusan angin yang kau hirup
dengan menitipkan Doa
Doa yang semoga saja jiwa nan selalu abadi
seperti sejuknya embusan angin malam ini
yang membawa jiwa ke alam
yang tak mengenal pedih dan perih
memberimu dan merasa
Kau dan Aku
Abadi
RISYA MARENNU. Dosen FIB Unhas.
Leave a Reply