Cerpen, Jawa Pos, Yuditeha

Anjing Belanda

4.4
(8)

Pada bulan Februari tahun 1949 terjadi beberapa kekacauan di Kota Kediri dan salah satu kekacauan itu adalah kematian tuanmu yang ditikam bambu runcing oleh segerombolan laskar rakyat. Sejak itu hidupmu menjadi sebatang kara.

MASIH beruntung waktu itu kamu tidak ikut dibantai oleh mereka yang sedang kalap. Saat itulah mungkin kamu menyadari bahwa peperangan sesungguhnya tidak mengenal baik dan buruk. Di medan laga hanya ada dua pilihan, dibunuh atau membunuh. Ketika tuanmu mati, kamu terlihat begitu sedih. Kesedihanmu mungkin semakin menyayat saat mengetahui tak ada yang bersedia mengubur dengan layak jasad tuanmu yang mati itu. Berhari-hari kamu tunggui jasadnya, bahkan kamu rela untuk tidak beranjak meninggalkannya. Barulah ketika bau busuk itu mungkin menguar sampai ke permukiman penduduk, datanglah beberapa warga untuk menyeret jasad tuanmu, lalu mengubur dengan ala kadarnya.

Sejak tuanmu dikubur itulah kamu mulai menggelandang dan hidupmu terlunta-lunta. Tak ada orang yang mau peduli lagi padamu. Bahkan, dari percakapan beberapa orang yang pernah kamu dengar, sebagian besar di antara mereka telah menganggap kamu sebagai antek Belanda. Sudah tak terhitung berapa kali kamu mendapat penganiayaan yang tentu saja perilaku mereka itu sebagai pelampiasan atas kejengkelan yang selama ini dipendam terhadap orang-orang Belanda. Tubuhmu semakin tak terawat, bahkan banyak luka di sana sini. Lambat laun badanmu kurus hingga terlihat tinggal tulang dan kulit. Setiap kali menerima perlakuan kasar dari mereka, mungkin kamu berpikir akan lebih baik jika dulu kamu bisa ikut mati saja bersama tuanmu.

Tentu saja kamu tidak pernah melupakan jasa tuanmu. Di saat penderitaanmu begitu mendera, ingatan perihal tuanmu mengemuka di pelupuk mata. Kamu mengenang kisah perjalananmu hingga akhirnya bertemu dengan dia. Sesungguhnya kamu hanyalah seekor anjing kampung tanpa tuan. Kamu tidak tahu anjing mana yang dulu menjadi perantara hingga kamu ada di dunia ini. Pada saat kamu menyadari siapa dirimu, kamu telah berada di jalanan. Hidup bebas tanpa ada yang mengarahkan. Makan dan minum sekadar dari sisa-sisa makanan yang kamu temui di sepanjang perjalananmu.

Sampailah di suatu malam yang teramat dingin, setelah seharian berjalan, sementara kamu belum mendapatkan sedikit pun asupan makanan membuat tubuhmu tak berdaya hingga akhirnya roboh di dekat pintu gerbang sebuah rumah yang megah. Ketika penghuni rumah itu melintas di pintu gerbang, dia melihat ke arahmu, lalu berhenti dan mendekatimu. Sementara kamu tetap bergeming karena seluruh tenagamu telah hilang. Orang itu memegang salah satu bagian di tubuhmu, dan mungkin karena orang itu masih merasakan denyut nadimu, dia memutuskan menggendongmu untuk membawamu masuk ke rumahnya. Setelah meletakkanmu di sebuah bangku yang cukup besar, dia mengobati luka-lukamu dengan cairan berwarna merah. Setelah itu, dia menyelimutimu dengan kain yang amat tebal. Meski kamu tidak bisa bergerak, kamu masih bisa merasakan hal itu dengan kesadaranmu. Di sepanjang hidupmu selama ini, baru kali itu kamu seperti hidup dalam ketenangan dan kenyamanan. Bahkan karenanya kamu sempat berpikir, mungkinkah sebenarnya kamu sudah mati dan sosok yang mengangkat dirimu dari jalan itu adalah malaikat. Dan tempat di mana kamu dibaringkan sesungguhnya adalah surga, tempat di mana segala kenyamanan berada.

Baca juga  Bulan Lemon

Jikapun memang benar kejadiannya seperti itu kamu ikhlas, bahkan rasa syukur mungkin kamu lontarkan karena kenyataannya pada saat kamu berada di dunia sebagai makhluk tak berharga, tapi kini bisa tinggal di surga, tempat suci yang diidamkan banyak orang. Tetapi, apa yang kamu bayangkan rupanya bukan kenyataan. Sosok yang mengangkatmu dari jalan ternyata benar-benar manusia. Meski begitu, ucap syukur pastinya tetap kamu lanjutkan karena kamu merasa masih beruntung telah dipertemukan dengan orang baik. Kebaikan itu sudah terbukti dan hal itu masih berlanjut karena setelah kamu siuman dari tidur lelap, di hadapanmu telah tersedia secawan susu yang memang dia sediakan untukmu.

“Opdrinken,” ucap orang itu sembari menyorongkan cawan itu. Dengan antusias kamu meminum susu itu, sembari hatimu berjanji akan mengabdi kepadanya seumur hidupmu.

Ketika ingatanmu sampai kepada peristiwa itu, dengan sekuat tenaga kamu bangkit, lalu kembali berjalan menuju kuburan tuanmu. Meski sesungguhnya kamu sendiri merasa kedinginan dan butuh selimut untuk menghalaunya, kamu tak memedulikannya. Kamu justru memeluk tanah kuburnya seperti kamu sedang menyelimuti tuanmu yang kamu pikir tentu lebih merasa kedinginan. Bahkan kamu berharap esok pagi tidak bangun lagi agar bisa bersama-sama lagi dengannya.

Ketika pagi datang dan matamu masih bisa melihat gundukan kubur tuanmu, kamu menjadi sadar bahwa kamu masih diperkenankan untuk hidup. Lalu kamu berpikir, mungkin untuk membalas kebaikan tuanmu bukan dengan cara ikut mati, tetapi dengan melanjutkan hidup. Sejak pemikiran itu bercokol dalam kepalamu, kamu permisi kepada tuanmu untuk pergi melanjutkan hidupmu. Tapi, keputusan yang kamu pilih itu bukan perkara mudah karena banyak orang telah menganggapmu sebagai makhluk yang teramat hina.

Langkah pertama yang kamu tempuh adalah memulihkan tenagamu, oleh karenanya kamu harus segera mendapat makan dan minum. Pada saat kamu berpikir begitu kamu teringat Kasim, penjual warung makan yang meski tidak sepenuhnya bersedia menerimamu, tapi setidaknya selama bertemu denganmu dia tidak pernah berlaku kasar terhadapmu. Pikirmu kamu bisa menunggu sisa-sisa makanan dari orang-orang yang jajan di warungnya. Setelah sampai di sana, kamu duduk agak ke belakang warung agar tidak terlihat oleh orang-orang yang sedang makan. Terlebih warung itu termasuk satu-satunya tempat yang melayani laskar rakyat yang sedang beristirahat.

Baca juga  Lelaki Patah Hati yang Menemukan Cinta di Bar Tua

Sekian lamanya kamu duduk, tapi tidak juga mendapat makanan sisa yang kamu harapkan. Keadaan itu cukup membuatmu maklum. Kasim tentu saja tidak berani menempuh risiko dengan memberimu makanan karena jika sampai hal itu ketahuan laskar rakyat bisa jadi nasib warung Kasim akan berakhir. Jangankan mendapat makanan, bahkan laskar rakyat yang biasa makan di warung itu masih suka memperlakukanmu dengan kasar. Terkadang malah menjadikanmu sebagai sasaran untuk lantihan lempar bambu runcing.

“Antek Belanda gathel!” teriak salah satu di antara mereka sembari melempar bambu runcing ke arahmu.

Jika sudah begitu terpaksa kamu lari terbirit menghindarinya. Kasim yang melihat hal itu hanya bisa geleng-geleng. Meski keadaannya seperti itu, tak ada pilihan lain, di lain waktu kamu tetap kembali ke warung itu dan berharap suatu saat mendapat makanan sisa itu.

Kali ini hari yang berbeda dan situasinya juga agak berbeda, karena laskar rakyat yang sedang makan di warung Kasim sepertinya tidak peduli dengan keberadaanmu. Hal itu dikarenakan mereka sedang asyik membicarakan sesuatu. Beberapa di antaranya sempat menyebut sebuah nama, Tan. Dari perbincangan mereka, kamu akhirnya tahu bahwa orang yang disebut Tan itu adalah tokoh besar republik ini, bahkan kabarnya orang itu pula yang sesungguhnya membentuk laskar rakyat itu.

“Besok siang Tan ke sini.”

“Dia semakin agresif, tidak mengenal kompromi dengan penjajah.”

“Berita terbarunya dia menentang Perjanjian Renville yang ingin merebut kembali keutuhan republik.”

“Tapi karena itu kabarnya justru dia dicurigai.”

“Dicurigai gimana?”

Mendengar percakapan mereka dan berita tentang rencana kedatangan orang yang disebut Tan itu sejenak kamu bergidik. Pikirmu perlakuan dari anak buahnya saja sudah keterlaluan, apalagi orang yang disebut-sebut itu. Orang yang kata mereka tidak mengenal kompromi dengan penjajah. Kamu jadi takut membayangkannya.

“Pergilah,” ucap Kasim pelan sembari memberimu tulang yang masih ada sisa-sisa dagingnya. Kamu tersadar dari lamunan. Sejenak kamu menatap Kasim, seperti ada haru yang tergambar di bola matamu.

“Lekas pergilah,” ulang Kasim.

Kamu tak ingin menundanya lagi, segera menggigit tulang itu dan berlalu.

“Datanglah lagi,” ucap Kasim lirih, tapi telingamu masih bisa menangkap suaranya dengan jelas.

Esok harinya warung Kasim sudah ramai oleh laskar rakyat. Keramaian itu lebih dari biasanya. Ternyata kabar yang beredar kemarin benar. Ada orang yang datang ke markas laskar rakyat dan sekarang sedang diajak makan di warung Kasim.

Berdasar pengalaman kemarin, ketika laskar rakyat sedang asyik bercakap, justru kamu akan aman dari perlakuan kasar karena mereka tidak begitu memedulikanmu. Karena itu, dengan mantap kamu berjalan mendekat ke arah warung tanpa mempunyai pemikiran buruk.

Baca juga  Menyerang Toko Kelontong

“Anjing siapa itu?” Kamu merasa belum hafal dengan suara orang itu dan apa yang kamu pikirkan benar adanya karena yang bicara adalah tamu yang sedang berkunjung ke markas laskar rakyat. Jika benar orang itu yang mereka maksud kemarin, berarti dialah yang biasa dipanggil Tan.

Karena terkejut, kamu tidak menyadari ketika orang itu telah berada di dekatmu. Bahkan orang itu telah jongkok, lalu memegangmu dan sempat mengelus-elus badanmu yang penuh luka. Tetapi, tiba-tiba ada bambu runcing yang melayang ke arahmu dan sempat mengenai ekormu.

“Kaing!” teriakmu.

Orang yang bernama Tan itu tampak terkejut, lalu menoleh ke belakang. Sedangkan kamu cepat berbalik arah dan berlalu. Agak jauh dari tempat itu kamu berhenti dan melihat ke arah warung. Seketika mata Tan menjadi merah. Dia bangkit, lalu mendekati sekumpulan laskar rakyat. Sementara dari kejauhan kamu memperhatikan kejadian itu.

“Siapa yang melempar lembing tadi?” tanya Tan.

“Itu Anjing Belanda, Bung!” sahut salah satu di antara mereka.

“Saya tanya, siapa yang melempar lembing?”

Hening seketika menyergap. Tak ada yang berani bersuara. Kewibawaan orang yang bernama Tan itu ternyata memang begitu besar.

“Kamu,” ucap Tan sembari menunjuk Kasim.

“Bukan saya, Tuan,” sahut Kasim ketakutan.

“Tolong, cari Anjing itu sampai ketemu.”

“Baik, Tuan,” jawab Kasim sembari berlalu.

“Bukan Anjing, bukan Belanda, tapi perilakulah yang kita nilai!” ucap Tan kemudian. Waktu sejenak berlalu, tapi hening tetap terasa menyelimuti warung itu.

“Tangkap dia! Tangkap dia!” Teriakan datang memecah keheningan.

Tan dan laskar rakyat yang mendengar teriakan itu tampak bingung sampai datanglah segerombolan orang yang mengaku sebagai utusan pemerintah yang diberi tugas untuk menangkap Tan. Menurut penjelasan mereka, Tan dianggap telah mengacaukan keadaan dan dicap sebagai pemberontak.

Sementara hampir bersamaan dengan kejadian itu, sesungguhnya Kasim sudah tiba di warung sedang menggendongmu. Tan yang akhirnya menyadari keberadaanmu lalu melangkah mendekatimu yang sedang berada di gendongan Kasim. Ketika tangan Tan hendak meraihmu, tiba-tiba beberapa tembakan terdengar. Ternyata tembakan itu melumpuhkan Tan. Seketika Tan roboh, bahkan sebelum tangannya berhasil menyentuhmu. (*)

YUDITEHA. Penulis tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah. Buku terbarunya Kumcer Filosofi Perempuan dan Makna Bom (Rua Aksara, 2020).

Loading

Average rating 4.4 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!