Cerpen Raidah Athirah (Republika, 05 November 2017)
Zofia bersama Khalid berdiri di ujung dermaga kayu di sebuah kota yang mengenalkan mereka pada jejak sejarah. Kota ini bernama Gdansk Polandia. Inilah api semangat pertama yang membawa mereka menjelajah sejarah kota tua di tanah penganut Katolik.
Khalid mengagumi keindahan sungai-sungai jernih karena ini pertama kali ia menjejak di sini. Pantulannya sempurna melahirkan bayangan kembar. Ia pun tak bisa menepis bayang-bayang daun bertebaran menutupi hutan dan taman kota selama akhir musim gugur. Semuanya membentuk kanvas hidup yang memukau. Kini, semua perjalanan itu menetap dalam ingatan.
Khalid Abdullatif, pemuda Suriah ini, hendak mengubur semua kenangan pahit nan berdarah-darah tentang perang yang meluluhlantahkan kota dan cintanya. Kadang, ia berpikir bahwa ia seperti baru keluar dari kuburan. Tidak ada lagi tawa ibu dan kedua adik perempuannya di apartemen yang memiliki dua ruangan. Anak yatim ini selamat ketika bom menutupi seisi kota.
Khalid masih mengingat saat ia melangkah mendekati jendela dan menyibak kain gorden. Pemandangan yang ia dapati membuatnya hanya bisa menutup mulut setelah sebuah sedan yang dirasuki setan memuntahkan peluru api ke seantero jalanan. Tetangganya, laki-laki tua yang memaki marah kepada pemerintah karena damai tak kunjung tiba, tewas seketika. Dia adalah Alawite yang sudah kadung kesal kepada penguasa yang semena-mena.
Ujian pemuda ini sungguh berat. Ia bercita-cita ingin menjadi dokter agar bisa mengobati manusia, apa pun agamanya. Namun, hari-harinya dipenuhi ujian menyaksikan keluarga yang tewas dan ribuan orang terbunuh. Zofia menghapus air mata Khalid. Ia paham suaminya masih terperangkap dalam memori yang penuh luka.
“Aku baik-baik saja, habibati (kekasihku),” Khalid menghapus tetesan bening itu dari bola matanya agar timbul senyum di bibir istrinya.
“Tidak, hidungmu merah karena sedih.” Zofia membalas ucapan Khalid dengan nada serius.
“Oh, hidungku merah karena dingin. Kau lihat ini,” Khalid menunjuk hidung mancungnya yang memerah sambil sesekali menggoda Zofia.
Pengantin itu berharap, dalam suatu masa, Allah Tuhan Mahapemberi rezeki mengizinkan kaki mereka kembali bersama orang-orang tercinta menjejak rindu di kota ini.
Gdank memang menakjubkan. Gadis-gadis berambut pirang dengan postur tubuh tinggi berlalu-lalang di jalanan. Mata mereka menggoda sebagaimana warna-warni atap gedung. Akan tetapi, tak sedikit pun Khalid tergoyah. Hatinya telah tertambat pada perempuan cantik zahir dan hatinya, Anna Zofia Winieska.
Perjalanan mereka kala itu hendak mengisi romantisme. Zofia mengajak suaminya ke kota tua Gdansk untuk menunjukkan padanya bahwa selalu ada harapan di setiap perjalanan. Perlahan, sehelai demi sehelai kenangan tergantikan dengan senyum dan tawa. Mereka hendak mengenang perjalanan ini sebagai keindahan penuh kenangan.
Gdansk atau Danjig dalam dialek Jerman merupakan kota megah di Polandia yang gerejanya berbata merah dan berwarna-warni. Rumah-rumah pun berhias warna. Berjalan-jalan di sepanjang jalan Gdansk seperti melangkah ke dalam telur Faberge. Berkilau. Bercahaya. Zofia mendapati dirinya sebagaimana anak kecil yang baru belajar tentang sejarah masa silam. Terpukau. Rasanya menggebu-gebu.
Setiap kali memandang Khalid seperti sebuah ungkapan penuh syukur ingin keluar dari lidahnya karena cinta telah membawanya ke sini, Gdansk. “Terima kasih, cinta telah mengajarkan kita melangkah bersama dalam satu keyakinan adalah karunia besar menyemai mawadah.”
Gdansk memiliki sejarah panjang yang merekat kuat dengan peristiwa Perang Dunia II. Kota ini adalah rumah bagi orang-orang Yahudi Polandia sejak abad ke-11. Satu tahun setelah peristiwa ini, banyak kaum Yahudi bermigrasi besarbesaran ke tanah Palestina.
Entah ini sebuah kebetulan atau tidak, perjalanan Zofia dan Khalid selalu terpaut kisah cinta dan sejarah perang. Di perjalanan, gadis berdarah blasteran ini menceritakan tentang Serock, kota Yahudi yang penuh kenangan kepada Khalid. Tempat keluarga leluhur mendiang ayah Zofia menjalani masa kecil yang indah tak terlupakan. Di pegunungan Serock memang banyak didapati kuburan orang-orang Yahudi. Salah satunya adalah leluhur Zofia.
Dalam darah gadis itu mengalir tiga agama samawi; Yahudi, Kristen, dan Islam. Kakek Zofia dari garis ayah adalah Yahudi. Mendiang bapaknya sebelum memeluk Islam adalah seorang Katolik. Sedangkan, ibunda Zofia yang berparas ayu adalah Muslimah berkebangsaan Indonesia. Kini, takdir mengikatnya bersama Khalid, laki-laki Suriah yang kini berkarier di Darmstad, salah satu kota di Jerman.
Hijrah Khalid ke kota kecil di Jerman akibat kecamuk perang mengantarkannya mengenal cinta. Laki-laki bersahaja ini perlu waktu untuk melupakan semua derita yang ia lalui. Perang telah merampasnya. Aleppo, kota sejarah tanah moyangnya kini terkoyak dalam darah dan tangis.
Ia bekerja siang-malam dengan doa penuh harapan untuk segera keluar dari neraka dunia. Setelah dihitung, Khalid merasa uang yang ia kumpulkan sudah cukup untuk membayar penyelundup agar ia bisa mendapatkan paspor palsu dan tiket pesawat ke Jerman.
Sayangnya, uang sebanyak 500 dolar yang Khalid berikan kepada laki-laki penyelundup di sebuah restoran tak menjamin ia lolos dari pengecekan petugas imigrasi. Setelah paspornya diselidiki, foto yang tertera di paspor ternyata milik seorang pemuda Italia. Ia telah dinasihati sebelumnya bila ia kedapatan meragukan maka ia harus bersikap tenang agar tidak menimbulkan curiga. “Paspor ini bukan milikmu,” kata petugas imigrasi laki-laki bersuara keras ke wajah Khalid.
Pemuda malang itu menyerah pada keadaan. Petugas menyita paspornya dan juga paspor asli yang berada dalam tas punggungnya. Ia ditahan. Ia dimasukkan dalam sel yang sempit dan gelap. Khalid masih harus berbagi dengan 50 orang asing. Allah mengaruniakannya hidup setelah hampir satu bulan berada dalam neraka itu. Pemuda ini tak percaya ia bebas dan dikirim kembali ke Suriah. Tak ada yang bisa ia lakukan saat itu selain mengumpulkan kembali mimpi yang dibalut doa dan kerja keras.
Bulan berlalu dan genap sudah setahun ia terisolasi dalam perang. Setiap dolar yang terkumpul adalah harapan baginya untuk meninggalkan tanah lahirnya menuju tanah Eropa. Khalid termasuk yang beruntung dibandingkan para penghuni sel lainnya.
“Semua meninggalkanku,” kata dia setengah berbisik agar istrinya benar-benar tak mendengar keluh batinnya.
Pada Juli Khalid menemukan jalan ke Turki setelah seorang sahabat ayahnya mengirim pesan singkat ke akun Facebooknya. Ia meminjam 1.500 dolar dari pamannya. Pada November yang kelabu ia terbang ke Istanbul dengan ransel kecil yang hanya berisi dua kemeja, celana, dan syal wol berwarna abu-abu buatan mendiang ibunda tercinta.
Berbekal informasi yang ia dapatkan di Facebook mengenai jalur perjalanan dari sesama orang Suriah tanpa harus membayar ke para penyelundup manusia, Khalid menaiki kapal menuju Yunani. Sesampai di Yunani, pemuda ini harus pandai-pandai mencuri kesempatan dari mata para petugas perbatasan. Ah, lelah suami Zofia ini tak bisa dikata.
Kesempatan itu datang ketika sebuah truk menuju Swedia melintas. Khalid melihatnya sebagai sebuah jalan untuk menuju kota tujuan. Ia merangkak, berusaha tidak meninggalkan bunyi apa pun dan menjatuhkan dirinya tanpa suara ke dalam sebuah peti kayu. Di Gothenburg, ia menjalani hari-hari dengan bekerja serabutan di bengkel sebelum kemudian benar-benar masuk ke kota kecil di Jerman secara legal dan beradab.
Ikhtiar Khalid untuk bekerja dan belajar sesuai dengan aturan mencapai labuhan kala ia mengajukan permohonan sebagai pencari suaka dan diterima oleh Lembaga Uni Eropa yang menjamin hak-hak manusia. Beginilah, atas izin Tuhan, ia kemudian berhijrah ke Jerman dan bertemu belahan jiwanya di sana, gadis berdarah Polandia-Indonesia. Dan beginilah kota tua, Gdansk, mengingatkannya tentang kenangan dan perjuangannya melintas batas. Ia terus berusaha melupakan kesedihan yang kentara.
“Jangan bersedih, ya habibi (kekasihku), Allah Mahapengasih kepada hamba-Nya. Mereka yang kita cinta telah pergi duluan. Bila waktu tiba kita pun akan menyusul,” kata Zofia.
“Terimah kasih, habibati. Ini adalah rasa syukurku karena kau adalah belahan jiwa yang mengerti duka yang kurasa.”
Pengantin itu singgah menyantap kuliner di Bar Mleczny Neptun. Mereka menghindar dari semua jenis makanan yang berisi daging karena tak bisa dimungkiri daging babi sudah kadung menjadi makanan yang sangat disukai di negeri ini. Di manapun dan kapan pun identitas sebagai Muslim haruslah tertanam kuat dalam hati. Tak akan menyerah hanya karena dorongan nafsu perut sesaat.
Setiap yang datang ke kota tua Gdansk seperti sedang berdialog dengan sejarah. Zofia, Khalid, dan kaki-kaki yang melangkah ke kota ini akan paham akan sebuah kalimat bahwa laki-laki Polandia terlahir dengan pedang di tangan kanan dan batu bata di kirinya. Ketika pertempuran berakhir, ia mulai membangun kembali puing-puing itu menjadi bata sejarah. Ini adalah bukti bagaimana wajah Gdansk ditampilkan dari masa ke musim yang masih tetap utuh dipandang di sepanjang kota. Dan dalam merah darah Zofia mengalir sifat kerja keras yang dibalut keyakinan yang tak pernah memudar.
Hanya 15 menit di sebelah utara, daya tarik lain menghampiri. Di sini, di tempat ini, Lech Walesa memprakarsai gerakan solidaritas pada 1980 yang akhirnya menumbangkan rezim komunis. Galangan kapal ini kemudian dikenal sebagai tempat lahir kebebasan dari komunisme yang menjadi hantu pembawa kesengsaraan.
Jelajah mereka tak berhenti di sini. Dekat galangan kapal ada sebuah museum yang berjuluk “Jalan Menuju Kebebasan”. Di dalam museum didapati berbagai kisah dan wajah para pekerja yang berjuang untuk berubah. Bebas dari cengkeraman rezim komunis.
Zofia memandang lekat ke wajah Khalid. Selama perjalanan, kadang terlihat wajah lelakinya murung. Bukan karena Khalid tak menikmati keindahan kota ini, melainkan membicarakan sejarah perang berarti membuka lukanya yang masih segar tersimpan dalam memori. Kota yang hancur dan orang-orang tercinta yang pergi meninggalkannya menjadikan ia seorang yatim dan berjuang berdarah-darah untuk sampai ke Eropa. Sekalipun Zofia bersamanya, hati laki-laki ini tak mudah melupakan duka.
Zofia mengajak Khalid untuk beristirahat sebentar di sebuah kursi panjang yang tersedia. Perempuan muda yang berstatus istri ini berharap setidaknya laki-laki yang dicinta ini paham bahwa dedaunan yang gugur telah menjadi sajadah bumi, sedih meninggalkan induk pohon, tetapi tunduk bahwa semua adalah jalan hidup yang telah diatur yang Mahakuasa. Zofia menyentuh kepala Khalid, membiarkan suaminya membenamkan rasa sedih di pundaknya.
“Kocham cie, Kochanie! (Aku mencintaimu, sayang),” kata Zofia.
Suami Zofia itu menggerakkan kepalanya tegak. Kali ini, ia yang menatap istrinya. Menyampaikan rasa maafnya karena wajahnya tak bisa diajak riang kala itu.
“Maafkan aku, sayang! Tak ada maksud membuatmu risau dan kecewa, hanya saja bayangan mereka hadir setelah aku mengenal sejarah kota ini. Kuharap, kau tak marah, habibati,” tangan Khalid menyentuh lembut telapak tangan istrinya. Zofia tersenyum, kemudian menggeleng. Perempuan muda ini ingin suaminya tahu bahwa cinta membuatnya mengerti, Duka Khalid adalah dukanya.
Gdansk layaknya kota-kota tua di dunia tak luput dari sentuhan modernisasi. Meskipun demikian, Gdansk akan selalu memiliki sejarah yang kuat. Menjelajahi jalur kota ini akan membawa imajinasi membayangkan bahwa di setiap sudut, mungkin saja mata akan bertemu seorang yang bersejarah, seperti Lech Walesa yang sekarang sudah pensiun. Betapa sejarah kadang mudah diceritakan, tetapi sulit mengenang riang dalam perjuangan. Waktu yang kemudian membuktikan bahwa hanya orang-orang berhati kuat yang mampu bangun dari kuburan kenangan.
Cinta Zofia dan Khalid terikat erat di sini, Gdansk, kota cinta bertabur sejarah. Ada kenangan, sejarah, harapan, dan juga mimpi di dalamnya. Siapa tahu kelak kota sejarah yang bernama Aleppo bisa bangkit layaknya Gdansk. Itu yang menjadi doa dalam hati Zofia dan Khalid dalam embusan angin gugur kala itu.
Raidah Athirah adalah seorang diaspora yang tinggal di Polandia. Cerpen “Kenangan, Cinta, dan Sejarah Kota Tua” berhasil menjadi pemenang kedua Bilik Sastra VOI Award 2017.
Leave a Reply