Cerpen Aveus Har (Media Indonesia, 19 November 2017)
Aku menemuinya, kali ini sendiri, tanpa istriku. Dia menyambutku berbeda dengan kemarin wajahnya tak beku. Kulihat ada sekumpulan otot yang hendak menarik ujung-ujung bibirnya, tetapi otot lain seolah diperintah untuk menahan. Hasilnya sebuah senyuman yang samar.
Sepertinya dia baru mandi; rambutnya masih basah menguarkan aroma sampo. Dia bertanya, “Mana istrimu?” Kujawab bahwa istriku tidak ikut. Lalu dia berkata, “Masuklah.”
Dia menutup pintu. Aku berdiri menunggu.
Ruangan ini masih sama seperti kemarin: sofanya masih mengambangkan debuan ke atas ketika dia menepuk-nepuknya beberapa kali sebelum mempersilakan aku duduk; dua gelas plastik air mineral yang kemarin tidak kami (aku dan istriku) sentuh meskipun telah dipersilakan; sekaleng roti yang berisi rengginang dan sestoples kue kering yang kemarin juga disuguhkan pada kami. Satu yang berbeda adalah sebuah buku yang tergeletak di atas meja.
Buku itu sangat kukenali: berjudul Berjuang demi Negeri, bergambar sampul seorang yang kini menjadi menteri, sebagai penulis buku itu.
Mungkin dia sengaja, atau mungkin kebetulan saja buku itu ada di sana. Buku yang sebagaimana banyak buku lain menjadi hantu dan membuatku tak sudi mengingatnya (namun, sebagaimana hantu, ingatan itu selalu menghantuiku). Aku berlaku seolah tak melihat buku itu, tapi dia wanita tuan rumah ini mengambilnya dan meletakkannya di pangkuan. Aku merasa yakin buku itu memang disengaja berada di antara kami.
“Kami tidak menyangka kau bukan seorang profesional,” kataku, membawa ke perbincangan yang telah kupersiapkan sebelumnya.
Dia tertawa. “Aku tidak peduli profesionalitas,” katanya. “Aku hanya peduli pada apa yang kuinginkan, selagi aku bisa mendapatkan.”
“Kau tahu istriku sudah begitu berharap sejak pertama proses ini berlangsung.”
“Oh, ya? Kau tahu, aku sudah begitu berharap sejak bertahun-tahun lalu.”
“Aku tidak tahu yang kau maksud.”
Dia bangkit, masuk ke dalam, dan kembali ke luar dengan selembar film USG. “Ini foto janin yang bertahun-tahun lalu tidak mendapat kesempatan hidup.”
Jadi, benarlah ketakutanku dulu bahwa masalah itu yang pada akhirnya menghadang.
***
Pertemuan kembali kami setelah bertahun-tahun lampau adalah ketika istriku pulang dari reuni kecil bersama teman masa kanak-kanaknya dan mengabarkan, “Ada persewaan rahim.”
Setelah lima belas tahun istriku didiagnosis tak bisa mempunyai anak karena masalah pada rahimnya, kabar itu terdengar seperti janji surga untuknya.
“Itu ilegal di sini,” kataku.
“Tapi praktiknya tetap ada,” sahutnya. “Dan, temanku berhasil punya anak dengan cara itu tanpa ada yang tahu bahwa dia hanya berpura-pura hamil. Aku mau seperti itu.”
“Berpura-pura hamil?”
“Sama seperti artis di film. Kau pikir mereka hamil beneran? Tidak. Mereka memakai sesuatu di perutnya agar tampak hamil.”
Aku tahu itu. Tapi, bagiku, itu konyol meskipun aku tidak keberatan. Bahkan aku pikir itu lebih baik daripada adopsi. Dengan berakting hamil, tidak akan ada pertanyaan perihal kehadiran bayi dalam keluarga kami.
Lalu, setelah kusetujui, istriku membawaku ke hadapan wanita ini, dan memperkenalkannya sebagai calon surrogate mother bagi janin kami.
Sejak mula aku memang sudah ragu akan pilihan istriku pada wanita ini. Dia wanita baik, aku tahu. Dia juga pernah menyewakan rahimnya pada teman istriku—yang ini aku tidak tahu dan sungguh terkejut ketika istriku memberi tahu.
“Apa sebaiknya tidak mencari pilihan lain selain dia?” tanyaku, sepulang dari pertemuan dengannya.
“Memangnya gampang nyarinya?” balas istriku.
“Mungkin….”
“Tidak. Dia wanita baik, kata temanku, dan kooperatif.”
Aku tidak menyerah begitu saja. Aku mencari informasi wanita lain yang menyewakan rahim. Tapi aku tidak menemukannya—dan kupikir itu musykil buat penulis yang terbiasa meriset apa pun semacam diriku.
Akhirnya kami melakukannya. Selama prosedur bayi tabung berlangsung, aku menjaga jarak dengan wanita itu, dan berlaku profesional sebagai klien semata. Istriku, sebagaimana inginnya, berlaku seolah benar-benar hamil, dengan muntah di pagi hari pula sehingga aku kadang merasa dia hamil sungguhan.
Aku berharap ‘kelahirannya’ akan lancar, tapi wanita pemilik rahim yang kami sewa ini membuat masalah—masalah yang sejak awal pernah kutakutkan karena aku sangat mengenalnya.
Setelah kemarin wanita itu bersikukuh akan mengembalikan semua biaya proses bayi tabung itu (yang membuat istriku tak berhenti menangis), sekarang aku tahu yang bisa kulakukan hanyalah mengemis belas kasihnya (meskipun aku tak yakin).
“Aku tetap tidak akan memberikan janin ini,” katanya, setelah kami saling diam, sambil mengelus perutnya yang buncit besar, “Apa pun yang terjadi.”
“Kau tahu kesepakatannya,” sahutku. Sebaris kalimat yang kubenci ketika kalimat yang sama ditujukan padaku oleh klienku. Kesepakatan. Hitam di atas putih. Perjanjian yang mengikatku dengan rantai besi. Sekarang aku menggunakan kalimat itu, dengan nada yang sama dengan yang dipergunakan orang lain: menekan.
Dia tertawa, lalu menyorongkan dua tangannya. “Kalau kau hendak menyeretku ke penjara, silakan saja,” katanya.
“Kami tak bisa begitu,” sahutku. “Bagaimanapun ini ilegal.”
“Ya, lalu apa maumu?”
“Aku minta pengertianmu.”
Dia kembali tertawa, dan aku merasa ditampar-tampar oleh tawa yang seolah memantulkan kembali kalimatku itu.
“Dulu kau meminta pengertianku,” katanya. “Dulu aku memiliki janin darimu, benihmu, dan kau memintaku menggugurkannya. ‘Demi sekolah dan masa depanku’, begitu katamu. Sekarang, aku kembali memiliki darah dagingmu, darah daging kita, meskipun harus lewat alat-alat sialan itu dan bukan persenggamaan.” Dia tertawa lagi, kali ini nadanya getir.
Aku diam.
Kami saling diam.
“Kukira kau sudah tidak menulis,” katanya, setelah barangkali menungguku bicara tapi aku benar-benar tak tahu harus bicara apa.
Dulu aku pernah bilang padanya ingin hidup dari menulis. Tapi menunggu karyaku dimuat di majalah atau diterbitkan menjadi buku seolah menunggu langit rubuh. Dan aku menyerah, sampai kemudian seorang kawan melibatkanku dalam bisnisnya. “Kau hanya perlu menulis,” katanya, “Tapi bukan untuk dirimu.”
Sejak itu aku banyak menulis buku, semua atas nama orang lain. Dan aku tidak lagi menulis buku untuk diriku sendiri. Industri lebih menyukai nama-nama: pejabat, artis, pengusaha terkenal. Buku bertuliskan nama mereka jaminan laku; buku bertuliskan namaku dulu selalu ditolak. Padahal, buku yang laris sekarang ini, akulah yang menulisnya.
“Aku tak menyangka orang berego besar macam dirimu rela menjadi bayang-bayang.”
“Aku butuh uang.”
“Aku juga,” sahutnya. “Menyewakan rahim itu menyakitkan bukan di selangkangan, tapi di perasaan. Tapi aku butuh uang.”
Aku diam.
“Dan kurasa kau juga. Menyewakan rahim otakmu untuk karya yang diaku orang lain, apakah kau merasa dunia tak adil?”
Aku masih diam. Dia menyodorkan buku di pangkuannya ke hadapanku. Aku memandang keluar jendela.
“Aku tahu ini bukumu maka aku membacanya.” Dia mengambil kembali buku itu. Membuka-buka tanpa membaca. “Roni, teman sekelas kita dulu, yang mengatakannya padaku. Katanya kau menjadi penulis hantu.”
Aku tak menjawab.
“Orang ini,” dia mengangkat bukunya seolah aku tidak tahu foto rekayasa yang tergambar di sana, “Menikmati pujian akan kecerlangan tutur bahasanya, meskipun sesungguhnya palsu.”
“Aku tahu.”
“Kisah hidup yang kau rekayasa atas dirinya akan difilmkan.”
“Aku tahu.”
“Dan, bagaimana perasaanmu?”
Aku diam.
“Begitulah aku, setiap kali harus melepas bayi yang sudah sembilan bulan kukandung.”
Aku masih diam. Masa-masa lalu berputar dalam kenangan.
“Beberapa kali aku bisa melepaskannya demi profesionalitas atau taik kucing apa pun yang sesungguhnya demi uang. Aku melacurkan rahimku sebagaimana kau melacurkan intelektualitas, bahasa dan imajinasimu.”
“Ghost writer bukan pelacur.”
“Oh, maafkan. Kupikir sama.”
Aku diam lagi. Berpikir harus segera pergi tapi tak bisa beranjak. Otak dan hatiku seperti berseteru.
“Anak-anak dari rahimku menjadi hantu—bocah-bocah lucu yang tidak bisa kumiliki. Yang hanya bisa kulihat dengan perasaan hampa dan tak rela.”
“Aku tahu.”
“Ya, kau pasti merasakan semacam itu pada buku-bukumu.”
Aku diam. Dia benar. Aku selalu ingin ada namaku. Aku ingin orang tahu keberadaanku di balik nama lain di sampul buku-buku itu.
“Aku akan mengembalikan semua uang kalian, tapi aku harus menunggu rumah ini terjual.”
“Kau akan ke mana?” Aku terkejut dengan pertanyaanku sendiri.
“Aku akan pulang kampung. Kau tahu ke mana mencarinya jika ingin bertemu anak ini, anak kita ini.”
Aku kalah. Aku tahu aku kalah.
“Aku sudah membeli rumah di sana beberapa tahun lalu.”
“Janin kami?”
“Ini akan menjadi bayiku, bayi kita. Ini spermamu, dan meskipun bukan sel telurku yang kau buahi, ini tumbuh di rahimku. Aku tak akan melepaskannya, agar kau selalu ingat akan wanita yang pernah kau tinggalkan.”
Bertahun-tahun lalu. Kenapa harus bertemu; kenapa harus dia yang menjadi induk bagi calon bayi kami? Aku tak tahu. Mungkin, demikianlah takdir bekerja.
Aku pulang setelah tak ada lagi yang perlu diperbincangkan. Pulang sebagai kesatria yang kalah perang. Pada istriku yang menangis kukatakan, “Kita akan menyewa rahim lain. Dia pasti akan merawat anak kita dengan baik. Percayalah, karena aku sangat mengenalnya.”
Istriku memandangku seolah aku baru saja melepaskan sebuah peperangan yang seharusnya kumenangkan. Tapi dia tidak tahu, aku sudah kalah bahkan sebelum perang itu dimulai.
***
Penulis tinggal di Pekalongan. Novel terbarunya berjudul Sejujurnya Aku, Bentang Populer, 2015.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com
Leave a Reply