Cerpen, Lailatul Badriyah, Pontianak Post

Lesparina

4.7
(3)

SEPERTI magma yang mendidih di dalam lambungnya, terasa perih dan memualkan. Lesparina memijit perut kirinya. Sekaplet polysilane sengaja ia bawa dari rumah bersiap dikunyahnya berjaga-jaga apabila maagnya kambuhan. Sebentar lagi jam makan siang kantor, tetapi ia sama sekali tak berniat menyentuh bekal makan berisi nasi kuning, telur puyuh bumbu bali juga wortel dan asparagus rebus buatan ibunya. Dua hari belakangan sejumput nasi belum ia rasakan, ibunya terus mengomel karena hanya salad buah yang ia cemil demi menurunkan berat badannya menjadi ideal, pasca mendapat undangan reuni SMA sebulan lalu. Ia merasa bobot tubuhnya begitu naik drastis semasa menjadi orang kantoran. Dua tahun silam, sejak ia lulus menjadi sarjana humaniora kemudian bekerja sebagai editor di salah satu penerbit buku terkenal.

Lesparina membayangkan Ambar teman sekelasnya yang semakin cantik, Nirina, Tamara, Agatha. Dan wajah Bara, ah …, mantan pacarnya yang dulu hampir menjadi tunangannya di masa sekolah hingga kuliah di tahun akhir.

***

“Mama rasa kau tak usah datang diacara reuni itu, Rin! Acara itu hanya memaksamu untuk berpenampilan sempurna. Mereka itu ingin bersilaturahmi dengan kawan lama atau pamer keadaan?” Ibunya mengomel sebal di ujung telepon.

Terpintas sekelebat wajah garang ibunya, usianya mulai menua dengan keriput dan tulang pipi yang menonjol pasti semerah tomat sekarang.

“Kalau hanya ingin bertemu mantan pacarmu direuni itu, mengapa harus begini repotnya?” Lanjut Ibunya.

Lesparina mendengus kencang, ia mulai jengah mendengar percakapan ibunya membahas mengenai mantan pacar.

“Mengapa tiba-tiba membahas mantan sih, Ma? Ini hanya masalah diet dan datang ke reuni SMA itu saja,” jawab Lesparina yang protes.

“Mama hanya mengingatkanmu. Usia hampir kepala tiga harus mengencangkan ikat pinggang. Jangan menunggu sesuatu yang belum pasti untuk masa depanmu, hingga begitu lama kau bekerja keras lalu menunda pernikahanmu. Kau masih berharap pada laki-laki itu, Rina?” tegas Ibunya.

“Sudah dulu, Ma. Diteruskan nanti saja di rumah. Aku sibuk!”

Ditutupnya gagang telepon usai bercakap dengan Ibunya, kali ini ia begitu kesal perutnya makin melilit jika berdebat masalah laki-laki bersama Ibunya. Cepat-cepat ia mengunyah sebutir polysilane, ia merasa maagnya mulai kekambuhan.

Baca juga  Lelaki yang Jatuh Cinta pada Bunga

***

Di meja terdapat macaroni schotel dan avocado float kegemaran Mona, sahabatnya. Laesparina hanya memesan secangkir teh chamomile. Diseruput sedikit demi sedikit untuk mengurangi rasa tegang di lambung karena maagnya. Lesparina mengedarkan pandangan sekitar pada ruangan kafetaria berdinding cat hijau pastel.

“Kau serius ingin mengadiri reuni SMA kita?” tanya Mona.

“Ya …, kurasa begitu,” jawab perempuan berambut potongan bob itu.

“Apa yang kau harapkan dari reuni itu? Jangan bilang kau ….” tatapan Mona menyelidik.

“Aku hanya ingin mematahkan praduga mama, maksudku mengenai sosok pria seperti apa yang kupilih nantinya. Jujur aku bingung. Dan saat kuterima undangan reuni SMA aku menemukan jawabannya, kau ingat ‘kan Bara? Aku ingin memperbaiki hubungan dengannya di acara reuni nanti dengan sedikit merubah penampilanku. Ya, walaupun kau tahu sendiri kami sudah lama putus,” ucap pelan Lespariana.

Lesparina bersemangat membahas Bara mantan kekasihnya terdahulu. Jemari lentiknya yang berkuteks ungu pucat meraih kembali cangkir bening berisi teh chamomile lalu dihirupnya perlahan.

“Kau yakin diet seketat ini tak akan membahayakan lambungmu? Saranku jangan terlalu memaksa. Kau harus bepikir matang-matang juga memperbaiki hubungan dengan lelaki yang memutuskan hubungan lebih dulu seperti Bara. Lihat Pramudya? Dokter ganteng itu lebih senang melihatmu memakai kulot dan kardigan, ia yang lebih menerimamu apa adanya,” tandas Mona. Lesparina kini terkikik sambil menahan nyeri di perutnya. Kira-kira begitu usaha Mona sebagai makcomblangnya dengan Pramudya.

“Kau sama saja dengan ibuku, menyuruhku mencari laki-laki yang tanpa menuntut. Dokter Pramudya itu pendiam, tak banyak menuntut juga terlalu sibuk. Aku takut kalau akhirnya lelaki tanpa penuntut itu mendua di belakang, kau tahu sendiri bagaimana brengseknya Samudra mantanku sebelum Bara? Ia persis seperti dokter Pramudya pendiam, hasilnya Samudra selingkuh dengan perempuan yang lebih cantik dan menarik dariku,” sahut Lesparina.

“Tak semua alasanmu itu sama, bagus kalau Pramudya tak menuntutmu begitu rumit, itu artinya ia pengertian padamu? Pentingkah memperbaiki hubungan dengan Bara? Maksudku, kalian ini mantan pacar dan belum bertemu dua tahun lamanya, bisa jadi Bara mungkin sudah menemukan penggantimu, bukan?”

Baca juga  Atkinsons Kafe, Sejak 1837

“Tak ada yang tak mungkin ‘kan? Cinta seperti quotes yang ada di sampul buku barumu itu ‘Kadang-kadang cinta bersifat tamak dan loba, kadang-kadang was-was dan kadang-kadang putus asa,’ Buya Hamka,” ucap Lesparina menirukan gaya penyair, “mungkin seperti itu caraku memperbaiki hubungan dengan Bara. Dengan sedikit keras kepala,” bisik Lesparina tersenyum pada Mona.

***

Suara pendingin ruang kantor terdengar berdengung lebih kencang. Ditambah aroma lemon citrus yang kuat menikam indera penciuman Lesparina, begitu mengganggu suasana lambungnya. Penderita penyakit lambung menjadi begitu sentimentil jika mencium bau-bau menyengat.

Lesparina ingat, pagi-pagi sebelum berkemas menuju kantor ia hanya sarapan minuman berenergi. Diet selama tiga minggu berat badannya berhasil menuju normal. Hari ini ia akan lembur, ada pekerjaan tambahan edit naskah masih menumpuk di folder komputer, deadline esok.

Sunset menggantung oranye di ufuk barat, petang hari telah tiba, rekan kerjanya satu-persatu telah berpamitan pulang. Lampu-lampu kota dihidupkan tampak seperti segerombolan kunang-kunang yang kompak menyinari suasana kota.

Lesparina memilih menikmati teh peppermint bercampur madu demi menghalau pening di kepalanya. Dari gedung lantai lima belas ruang kerjanya ia menengok suasana rentetan mobil yang menyemut ramai. Lain dengan perasaannya yang sepi.

Lesparina segera menuju meja kerja melanjutkan pekerjaannya agar ia bisa pulang cepat sampai rumah dan istirahat. Supaya datang di acara reuni esok ia tampak segar. Tak berapa lama, tiba-tiba kepalanya pening seperti dihantam palu godam mahaberat, kedua pelupuk matanya begitu berat bak kejatuhan lem super lengket. Dan Lesparina tak sadarkan diri.

***

Bau khas obat-obatan menusuk indera penciuman Lesparina, tangan kanannya dililiti selang infus. Ruangan tempat ia berbaring begitu terang dengan cat putih pucat. Pintu berderit terbuka, dokter Pramudya datang memeriksa.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Pramudya mengecek aliran infus Lesparina.

“Mendingan,” Lesparina singkat menjawab.

Dokter Pramudya tersenyum mengangguk. “Sebaiknya aktifitas dietmu harus dihentikan, ada pendarahan yang cukup serius pada lambungmu.”

“Kamu istirahat dulu, luka di lambungmu cukup serius. Ini karena pola dietmu yang tak teratur. Semoga setelah dirawat ini kondisimu semakin baikan,” sambung Pramudya.

Lesparina mengangguk sepintas kemudian mendengar pintu kembali terbuka, Mona datang bersama seorang lelaki dengan seulas senyum di bibirnya. Laki-laki itu Bara. Ya, kedatangan Bara membuat Lesparina terkejut. Gegas Lesparina membetulkan posisi tidurnya. Dokter Pramudya terlihat cemburu melihat perubahan sikap Lesparina pada laki-laki yang dibawa Mona. Balutan kaos dan celana panjang se-mata kaki membuat Bara terlihat lebih tampan juga dewasa daripada dengan Bara terdahulu.

Baca juga  Keraguan nan Membatu

“Hai. Bagaimana keadaanmu?” sapa Bara membawa sebuket bunga.

“Oh. B-Bar-a ….” jawab Lesparina dengan canggung dan malu melihat kondisinya yang pucat di depan Bara.

Lesparina tampak gugup dan salah tingkah mengenai kedatangan Bara secara mendadak. Diubah posisi baringan Lesparina menjadi duduk.

“Tak usah terlalu tegang. Kebetulan aku bertemu Mona di lobi rumah sakit tadi siang. Katanya kau sedang sakit jadi aku kemari. Semoga cepat sembuh,” sambung Bara.

“Hari ini istriku sedang melahirkan anak pertama kami, kebetulan juga kita bertemu di rumah sakit yang sama. Senang rasanya berjumpa kawan lama.”

Deg! Tubuh Lesparina seperti tersengat aliran listrik, tulang-belulangnya serasa lolos, kedua matanya memanas, persendiannya terkunci dan lambungnya terasa kambuh lagi. Bibir pucatnya gagap akan kata-kata, sehingga ia memilih diam bergeming. Kali ini Lesparina harus mengikis pengharapannya kepada Bara.

“Jadi …, kau su-sudah ….” Lesparina menunjuk Bara kikuk.

“Ya. Setahun lalu setelah mengakhiri hubungan kita, aku menikah dengan istriku. Maaf bukan bermaksud tak mengundangmu, tapi kudengar saat itu kau sedang sibuk pindah ke Jakarta. Dan kebetulan tahun lalu aku dimutasi ke Jakarta,” ujar Bara. “Aku harap jika kamu sudah baikan kau boleh menengok anak kami di ruang bugenvil. Sebelah ruangan ini,” lanjut Bara lagi.

Ada penyesalan yang merambati perasaan Lesparina. Entahlah apakah ia akan memikirkan ulang saran Ibunya dan Mona untuk menerima sosok laki-laki seperti Pramudya yang mau menerima Lesparina utuh apa adanya, daripada mengharap cinta yang tak pasti dari seseorang yang telah jelas-jelas menyakitinya. (*)

Loading

Average rating 4.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!