“Ohya, aku jadi ingat pertama kali mengganti popok Tedi, setelah kita pulang dari rumah bersalin.” Kau tiba-tiba terkekeh, matamu sampai berair karena tertawa.
“Lucu sekali. Aku muntah-muntah karena nggak tahan baunya. Kau meledekku saat itu. Kau bilang apa ya? Aku lupa.”
Kalian saling tatap, mulutnya seperti hendak berkata, tetapi demikian sulit.
“Oh ya, aku ingat. Kau bilang aku ayah yang payah.”
Dan kau tergelak, tak mampu menahan tawa, tak peduli pada keributan di balik tirai merah marun yang memisahkan kalian.
“Setelah aku susah payah membersihkan pantatnya, saat aku hendak memakaikannya popok lagi, Tedi mengencingiku. Pistolnya tepat mengenai wajahku. Aku bahkan yakin sekali terminum air kencing itu,” kau terpingkal-pingkal, tubuhmu terguncang-guncang, geli sekali. “Anak sulung kita itu tertawa melihatku kelabakan dan meludah sembari mengusap mulut. Kau juga tertawa geli. Kalian berdua seperti dua orang yang berkonspirasi mengerjaiku.”
Tawamu reda. Itu kenangan lucu sekali. Ingatan yang acap kali membuat kalian tertawa dan merasa begitu bahagia, begitu sempurna sebagai orangtua. Dulu, saat kau sibuk bekerja di kantor, saat kau suntuk dan penat di antara banyaknya pekerjaan, kau kerap mengingat-ingat senyum anak-anakmu di rumah. Tingkah laku mereka yang nakal sekaligus polos, juga senyum istrimu. Bila sudah demikian, keletihan yang menderamu perlahan sirna, seakan-akan ingatan tentang mereka adalah obat mujarab untuk capek.
“Hei, kau ingat tidak saat Ira berak di sofa barunya Bu Joko?” kau tersenyum lebar. “Aku masih bisa merekam dengan jelas saat Bu Joko ngamuk di rumah kita. Dia terus mengoceh tentang sofanya yang baru berumur seminggu itu. Tentang betapa mahalnya dia membeli sofa itu. Tentang alasan dia membelinya karena akan ada tamu dari jauh. Dan kita berdua terpaksa mencuci sofa itu berdua, menggosoknya berkali-kali, memastikan baunya tak menempel. Kau menjemurnya hampir seminggu. Kalau ingat itu, aku nggak menyangka anak perempuan kita bisa tumbuh begitu cantik dan pintar.”
Leave a Reply