Cerpen Dwi Cipta (Kompas, 03 Januari 2021)
SEJAK pukul dua belas siang ia hanya memandangi hujan dari balik kaca perpustakaan. Tak ada lagi gairah untuk membaca. Sejak tiga jam lalu ia hanya berjalan-jalan di antara rak buku sambil membaca judul-judul buku yang berjajar rapi di rak.
Tak seperti biasanya, kali ini ruang baca sungguh sepi. Hanya ada tiga orang pengunjung perpustakaan yang tenang membaca laksana patung. Sementara tiga pustakawannya enggan beranjak dari tempat duduknya.
Ia merasa enam orang ini tak ada bedanya dengan burung kedinginan di sarangnya. Burung! Hewan terbang itu membuat ia teringat masa kecilnya. Saat hujan, burung yang enggan terbang tak bisa lepas dari bidikan ketapel Rudi, teman masa kecilnya. Ia sendiri lebih senang menyaksikan hewan itu terbang bebas. Daripada menyakiti burung, saat berburu ia lebih memilih membawakan hasil buruan Rudi.
Bila tak berburu burung, di musim hujan seperti sekarang, ia pasti sudah menghambur ke dalam hujan. Tak dipedulikannya larangan ibunya atau gelegar guntur. Suara kecipak air hujan lebih menarik daripada suara ibunya atau gelegar guntur. Suatu kali kilat terang berkeredapan di depan mata diikuti suara guntur dahsyat. Teman-temannya menghambur pulang. Namun ia tetap hujan-hujanan sembari berburu yuyu darat.
Kini, ia mendapati dirinya takut kehujanan. Alih-alih menghambur ke dalam hujan, sedari tadi pikirannya justru melenting ke mana-mana. Kampung halamannya, pacar masa remaja, hidup yang berantakan, dan ketidakberaniannya untuk pulang kampung karena merasa gagal dalam hidup.
Sekejap ia marah menyadari masa dewasanya tak seindah masa kanak-kanak. Perasaan marah itu membuncah di dadanya, mendorong tubuhnya keluar ruangan. Biarlah sekarang air hujan memandikan dirinya. Siapa tahu ia menemukan jawaban dari teka-teki hidupnya tiga tahun terakhir ini.
***
Buku-buku yang ia baca di masa remaja membelokkan cita-cita masa kecilnya sebagai seorang insinyur. Persoalannya sepele. Buku-buku itu mampu melemparkannya dari sebuah kampung kecil di pesisir utara Jawa Tengah ke perkampungan suku Indian, desa-desa sunyi di pedalaman Perancis, sungai Huang Ho di Tiongkok, atau kincir-kincir raksasa di Belanda.
Ia berpikir menjadi pengkhayal lebih menarik daripada menjadi insinyur. Kegilaannya menghabiskan waktu dengan kisah cinta tragis Pemuda Werther, kelincahannya menulis puisi cinta murahan setelah berkenalan dengan gadis-gadis di sekolah, dan kenakalan meracuni guru sejarah dengan cerita silat Khoo Ping Hoo makin memperteguh pilihan hidupnya.
Impian itu membuat ia meninggalkan kampung halaman. Kebetulan Rudi, teman masa kecilnya, juga kuliah di kota yang sama seperti dirinya. Yang mengherankan, pemburu burung itu justru yang berkuliah di jurusan arsitektur dan kemudian menjadi seorang insinyur. Sementara Rudi bergulat dengan papan gambar, ia justru tekun membaca dan menulis puisi atau cerita.
Selepas kuliah, ketika teman satu kampungnya meniti karier cerah sebagai seorang arsitek, ia bekerja apa saja asal bisa memupuk impiannya. Ia pernah bekerja sebagai penjaga toko, penerjemah murahan, aktif di LSM, atau sopir di usaha rental mobil. Semua pekerjaan itu ia lakukan demi dunia yang dicintainya.
Sudah sejak SMA ia ingin menulis novel, namun usahanya tak kunjung terwujud sampai 10 tahun selepas masa SMA. Selama 10 tahun itu ia hanya mampu menyelesaikan sepersepuluh, seperempat, atau bahkan setengah bagian cerita. Impian itu akhirnya terkabul setelah ia keluar dari pekerjaannya di LSM dengan tabungan yang bisa menghidupinya selama setengah tahun ke depan. Itu pun setelah waktunya benar-benar dihabiskan di perpustakaan atau bersembunyi berhari-hari di sebuah hotel murahan di dekat lokasi pelacuran Pasar Kembang.
Lalu datanglah bencana itu. Ia tak bisa melupakan malam ketika sebagian kepalanya seperti akan meledak begitu novelnya rampung. Saat itu pertengahan Desember. Malam terasa dingin karena hujan turun sejak siang. Selepas petang membahagiakan itu, dengan tubuh setengah telanjang, ia masuk ke kamar mandi dan membasuh tubuhnya dengan air dingin. Hawa segar meresap ke seluruh tubuh. Namun tak lama kemudian, ia merasa hawa dingin yang ganjil perlahan menyerangnya. Ia terkesiap. Merasakan gelagat bahaya, ia keluar kamar mandi, dan lekas beranjak ke tempat tidur.
Di pembaringan ia merasa sebuah tangan maut menyentuh ubun-ubun kepala dan pusarnya. Hawa dingin merasuki seluruh tubuh diikuti sakit kepala yang mengerikan. Aliran darah di kepala seperti tersendat, dan tiap kali tersendat ia merasakan nyawanya memantul-mantul di dinding tengkoraknya. Ya Tuhan, apakah maut datang justru setelah ia mewujudkan impiannya? Ia membekap mukanya dengan bantal agar tidak mengeluarkan jeritan. Lalu kesadarannya hilang!
Ia tak tahu berapa lama dirinya pingsan. Begitu sadar, tubuhnya bersimbah keringat dingin. Selimut yang melilit tubuhnya terasa lembab. Matanya mengitari ruangan. Laptopnya masih menyala di atas meja. Dia merangkak ke arah meja untuk meraih telepon genggam. Jam dua dini hari. Hampir tujuh jam tak sadarkan diri!
Tangannya gemetar mencari-cari nomor Rudi dan berusaha menghubunginya. Dengan suara serak dan belum begitu sadar, Rudi mengangkat teleponnya. Ia menceritakan apa yang dialami petang itu hingga dirinya terjaga kembali. Begitu pembicaraan di telepon selesai, ia kembali membaringkan tubuhnya, menerka-nerka apa yang dialaminya selama hampir tujuh jam itu sampai pagi.
Pagi-pagi sekali, Rudi datang dan memeriksa tubuhnya. Kepala lelaki itu geleng-geleng. Tak ditemukan gejala aneh di tubuhnya atau sesuatu yang ganjil di kepala. Sampai menjelang siang mereka membicarakan peristiwa itu.
***
Semenjak kejadian itu ia merasa ada yang hilang dari dirinya. Tiap kali membuka buku, kalimat-kalimat di dalamnya terasa hambar. Segala yang ia baca seperti air yang melesap begitu saja di tanah musim kemarau. Selain itu, kelelahan misterius membayang ke mana pun ia pergi. Kebiasaannya berjalan kaki menyusuri setiap sudut kota perlahan-lahan lenyap.
Ke mana perginya keindahan yang ia peroleh ketika mengamati burung gereja hinggap lalu beterbangan di atas jalanan pada waktu matahari baru terbit dan jalanan masih sepi? Ke mana menghilangnya kemuraman lampu jalanan pada malam hari yang mampu melahirkan sebuah puisi kelam tentang pengembara yang tak tahu jalan pulang?
Keganjilan hidup itu membuatnya melupakan impian masa remajanya. Novel pertamanya diterbitkan dengan nama orang lain, itu pun atas desakan Rudi. Teman baiknya itu yang mengurus segala hal berhubungan dengan penerbitan novel. Ia bahkan tak peduli ketika bukunya hanya sedikit diulas di beberapa koran lokal oleh peresensi yang tampaknya kurang kerjaan sebelum diobral dengan harga murah di Shopping Center.
Namun hidup harus terus berlanjut. Dengan uang pinjaman dari Rudi, ia memutuskan membeli sepeda motor dan bekerja sebagai tukang ojek partikelir. Ia masih suka menyusuri jalanan, menghambur ke dalam kerumunan di Malioboro.
Sebagai ganti kebiasaannya ke toko buku bekas, ia sering menyaksikan konser musik atau duduk sendiri di warung kopi di Ringroad utara sampai kursi warung dikemasi dan meja-mejanya dibersihkan pelayan. Satu-satunya kebiasaan membacanya yang bertahan adalah menghabiskan koran dari halaman pertama sampai halaman terakhir. Itu pun ia lakukan untuk membunuh waktu di warung kopi.
Beruntung di warkop itu ia menemukan perempuan yang menjadi teman bercakap-cakap. Marinka, nama perempuan itu, hampir tak bisa berpisah dengan batang rokok di mulutnya. Dari mulutnya, bersama dengan asap yang tak henti mengepul, ia mendengar masa kecilnya di Jakarta, masa remajanya di Kalimantan, orangtuanya yang bercerai karena ayahnya memiliki istri muda, dan kegagalannya menjadi penyanyi jazz karena pita suaranya rusak setelah mengalami overdosis minuman.
Cerita Marinka yang hampir tak pernah putus membantunya menghabiskan waktu yang terasa hampa dan mengerikan. Tak sekadar celoteh dari mulut perempuan itu, ia juga merasakan kelembutan bibir dan kehangatan pelukannya di rumah kontrakan atau di hotel-hotel yang mereka singgahi begitu meninggalkan warkop.
Semuanya benar-benar seperti sebuah mimpi. Bersama Marinka pula ia makin masuk ke dunia para musisi yang ingar-bingar, menikmati petikan senar gitar, pukulan stik pada drum, dan lengkingan terompet, dan gemuruh tepuk tangan atau teriakan histeris penonton. Ia sering merasa dirinya memasuki sebuah dunia berkabut yang nyaris tanpa batas.
Setiap ditarik oleh tangan perempuan yang tak pernah menyebut dirinya sebagai pacar atau kekasih itu, ia merasa ditarik oleh kekuatan tak dikenal dari balik kabut, berlarian dengan sebentuk makhluk tak kasatmata, mendengar suara tawanya, embusan hangat udara di telinganya, dan erangan lembut yang membangkitkan gairahnya. Dunia yang serasa mimpi itu telah memenjara hidupnya selama hampir tiga tahun.
***
Dua minggu lalu, ketika tengah sendirian di warkop, ia membaca sebuah tulisan tentang novelnya yang ditulis tiga tahun lalu! Bagai diterangi kilat, dunia lamanya menyembul dari kedalaman ingatannya. Ia membaca kalimat demi kalimat ulasan tersebut.
Sebuah desakan tenaga yang besar mengguncang dadanya. Bagaimana kritikus itu bisa menghadirkan sesuatu yang bahkan ia sendiri tak memikirkannya, sesuatu yang tanpa ia sadari telah menyempurnakan novelnya?
Tubuhnya gemetar. Warkop masih sepi. Marinka belum tampak batang hidungnya. Ia beranjak ke kasir lalu pulang ke rumah. Telepon genggamnya dimatikan semenjak meninggalkan warung kopi untuk menghindari perempuan itu.
Di kamar belakang, ia mengambil novelnya dan membacanya kembali. Ia tenggelam dalam cerita tentang tiga tokohnya yang nasibnya saling berhubungan satu sama lain, kisah cintanya yang memabukkan dengan karakter perempuan yang mulutnya berbau tembakau dan selalu dipenuhi asap rokok. Ya Tuhan, apakah ini bukan suatu kebetulan?
Bagaimana bisa selama tiga tahun terakhir ia menjalani kehidupan yang nyaris tidak berbeda dengan nasib tokoh utama novel karangannya? Sampai pagi, ia hanya berbaring sembari mencermati novelnya sendiri dengan perasaan campur aduk sampai tidak bisa memejamkan mata sedikit pun.
Ia telah mengirim pesan pendek pada Marinka agar tak menghubunginya sampai ia menemukan semua jawaban dari teka-teki aneh dalam hidupnya. Pada siang hari ia menyembunyikan dirinya di perpustakaan daerah, kembali membaca buku, dan merasakan desiran aneh yang menuntunnya untuk menulis kembali. Malam harinya, setelah keluar dari perpustakaan, ia berjalan kaki menyusuri jalan-jalan sepi di kota ini sampai menjelang pagi.
Hari ini, entah kenapa, ia ingin pulang dari perpustakaan lebih awal dari biasanya. Hujan hampir berhenti. Sebentar lagi ia akan sampai di kontrakan. Di sepanjang perjalanan, sebuah plot novel samar-samar mengemuka di benaknya. ***
.
.
Dwi Cipta, seorang novelis, cerpenis, esais sastra, dan penerjemah. Novel pertamanya Darah Muda terbit pada Desember 2017, sementara buku kumpulan cerpennya, Renjana, terbit pada Januari 2019. Buku terjemahannya yang sudah diterbitkan adalah Victoria (karya Knut Hamsun). Karya-karyanya berupa cerita pendek pernah diterbitkan Jawa Pos, Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, majalah Horison, dan lain-lain.
Made Kaek, perupa yang aktif berpartisipasi dalam sejumlah pameran bersama dan pameran tunggal sejak tahun 1991. Pameran tunggalnya, antara lain, Made Kaek #50 di VIN Seminyak-Bali pada 2017. Menerima penghargaan, antara lain, Citra Usadha Indonesia Foundation Award pada 1995. Buku karyanya 4 + 1 = Venezia diterbitkan pada 2004.
.
Jalan Melingkar. Jalan Melingkar. Jalan Melingkar. Jalan Melingkar. Jalan Melingkar. Jalan Melingkar.
Gundala Li
Cerpen dengan daya cipta andal.
Keren banget.
Dave
Tidak begitu sering ada cerpen yang menggambarkan kehidupan dan proses kreatif tokoh penulis sastra dalam karya fiksi. Dalam dunia nyata penulis menduduki posisi dalam masyarakat yang bersifat kemenduaan, bisa dihargai oleh kritikus dan pembaca dan bisa juga diabaikan. Dalam cerpen “Jalan Melingkar”, karya Dwi Cipta ini, kehidupan penulis sastra dikemukakan termasuk seluk beluk kehidupannya sehingga muncul sebuah potret seorang penulis dan posisinya dalam masyarakat. Suatu potret yang juga mengungkapkan kepribadian dan cita cita yang lain daripada orang ‘karir’. Jalannya yang diikutinya melingkar, dengan banyak waktu yang dihabiskan dalam dunia khayalannya demi seninya. Di masa dewasa, lain dengan masa kecilnya, kebebasan berkhayal terbelenggu rutinitas kerja sehari-hari. Ada ongkos akibat mengejar kehidupan menulis, dia tidak bisa memenuhi harapan keluarga dan temannya justru terpaksa menerima kerja apa saja untuk menyimpan uang agar ada kebebasan untuk menulis. Proses kreatif tidak mudah dan memakan waktu yang lama (buku pertama baru diterbitkan 10 tahun setelah dia lulus SMA) namun tidak ada ganjaran, hasil usahanya, sebuah novel tidak mengubah kehidupannya, kondisi materialnya tetap sama lagipula daya kreatifitas tampaknya habis untuk waktu yang cukup lama. Selama tiga tahun dia tidak ada bahan dan ilham untuk menulis sampai pada suatu hari ada percikan kecil yang mendorong dia untuk memulai proses kreatif lagi. Tapi kali ini kelihatan ada kesadaran baru tentang dunia khayalan dalam fiksinya dan dunia nyata.
Puspa Pus
Sebuah potret. Keren!