Cerpen Nita Juniarti (Rakyat Sumbar, 25-26 November 2017
DI RUANG yang tidak bertepi, Risqi tertegun dalam kehampaan yang mengikat raganya. Di sentuhnya tirai waktu, ini sudah berlalu tiga belas tahun yang lalu sejak kejadian itu. Waktu berputar seolah menenggelamkan luka basah yang kini menjadi bekas kudis saja.
Foto-foto lelaki itu berserak di lantai, ditatap dengan mata nanar oleh Risqi. Mata itu sudah lama memerah menyimpan semuanya sendiri. Nama itu jelas masih terpatri di ingatannya hingga tahun-tahun melewati lembar kisah hidupnya. Bayang tentang pemilik nama seakan mengikut ke mana pun ia pergi; di pantai, tikungan, pohon-pohon, kabut dan lainnya, namun sebenarnya bayang itu tidak penah di sana, hanya tersangkut di bulu matanya sehingga tidak pernah tinggal meski waktu sudah berlalu tiga belas tahun.
Gravitasi memang tidak bertanggung jawab atas orang yang jatuh cinta, maka walau didera waktu setiap tahun, ia masih lekat mengingat lekat sosok itu, seperti cinta kadang luka diingat lebih dalam lagi, apalagi meninggalkan bekas kudis yang besar.
“Menawarkan diri untuk memimpin negeri ini?” gumamnya dalam kesendirian.
Ia kembali menatap foto-foto yang berserak di lantai, beberapa mempunyai tulisan visi dan misi “rakyat akan saya sejahterakan, saya berikan gajah dan kuda”. Risqi kembali menyengir sinis menatap foto gambar lelaki berusia empat puluh lima tahun itu.
“Kanda, kenapa melamun saja di sini?” Istrinya entah sejak kapan sudah ada di sampingnya.
“Sedang melihat hasil survey para sarjana, Dinda.”
“Wah, bukankah ini foto pak Burek? Calon gubernur itu?” tanya istrinya.
Ia hanya menyengir tipis, agar istrinya tidak banyak bertanya tentang pekerjaannya. Ia telah menyimpannya sendiri, kisah kudis itu hingga 13 tahun waktu berlalu, tidak diceritakan pada siapa pun.
“Kanda, makanlah dulu, nanti baru mengurus pekerjaan lagi.”
Istrinya menatap tumpukan kertas yang menggunung, menyadari suaminya akan lupa makan jika terus menatap kertas-kertas itu.
“Nanti Kanda menyusul Dinda, pergilah dahulu.”
Risqi menyahut sesopan mungkin pada istrinya agar istrinya tidak membaca gejolak emosi dari dalam jiwanya. Istrinya mengangguk lantas pergi meninggalkan Risqi yang pura-pura berkutat dengan kertas-kertasnya, padahal matanya tidak lepas dari foto “Burek-Calon Gebernur” itu.
Risqi mencoba mencari rokoknya, tidak ada. Ia sedikit stres sampai harus merokok, itulah kebiasaanya. Ia meraih permen, dua bulan lalu ia dan istrinya bertengkar hebat karena anak mereka yang berusia satu bulan mengalami gangguan penapasan akibat keseringan digendong ayahnya saat merokok. Entah bagaimana ini bisa jadi salahnya, namun itulah yang dikatakan dokter. Risqi menghela napas panjang, matanya memerah.
Tiga belas tahun lalu adalah masa terberat di negerinya, presiden negeri ini terlalu berbaik hati ketika semua rakyat memohon dan mengiba untuk perdamaian dengan suara lantang dan kekuatan besar malah menjadikan negerinya daerah militer. Di mana-mana orang menggunakan senjata dan seragam pengaman negeri, rumah-rumah yang dianggap pemberontak diberi tanda X besar dan catnya berwarna merah, laki-laki sering naik dan turun gunung karena jika saja mereka ketauan ada di rumah ada dua kemungkinan yang akan terjadi: mati atau menjadi budak yang dipukuli, jika bernasib baik akan dijadikan mata-mata untuk kepentingan pihaknya.
Hari itu, tiga belas tahun yang lalu. Risqi dan beberapa teman sebayanya sedang bermain di halaman rumah, tiba-tiba saja sekelompok orang bersenjata datang dan membuat kegaduhan di sana. Risqi ketika itu baru berusia sepuluh tahun, suara senjata dilepaskan, beberapa orang berteriak. Agam, teman Risqi berlari kencang dengan niat berlindung ke rumahnya yang dekat dengan tempat bermain mereka namun malaikat maut yang sudah mengintainya sejak sejam lalu mengambil kesempatan itu, Agam terkena peluru nyasar, ia jatuh bersimbah darah.
Senjata berhenti berbunyi lima belas menit kemudian, Agam segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Rumah sakit terdekat kewalahan, mereka punya banyak pasien karena peluru nyasar, pasien yang akan melahirkan, pasien terkena penyakit ringan hingga yang berat, tapi di sana lebih banyak lagi pasien yang frustasi. Negeri Risqi hanya punya satu rumah sakit dan itu satu-satunya, tidak ada rumah sakit lain yang menangani semua penyakit dari yang waras hingga yang gila. Agam mengap-mengap, napasnya satu-satu, perawat berlari, entah apa yang mereka buat hingga darah Agam ditampung sampai sepanci banyaknya, Risqi bergidik ngeri sambil terus berdoa agar Agam selamat.
Kekacauan itu terus berlanjut selama tiga jam, orang-orang Desa berdatangan ke rumah sakit, rasa takut mereka bunuh dengan jiwa sosial. Situasi carut-marut, seorang laki-laki berambut panjang dengan tampang mengerikan dan memanggul senjata datang tergesa-gesa, usianya ketika itu kira-kira 32 tahun, masih muda dan gagah.
“Pindah semua, jangan ada yang menangisi keadaan ini. Ini hanya selingan di jalan juang yang panjang. Agam hanya akan menjadi pahlawan jika nanti kita sudah makmur dan sejahtera.” Kata lelaki itu, berusaha menengahi kegaduhan dengan ujung senjatanya.
Risqi jengah apalagi melihat mata Agam sudah fokus ke atas dengan darah yang keluar terus menerus dari bekas lukanya.
“Harus ada yang berjuang untuk kesejahteraan,” kata lelaki itu lagi, tidak ada masyarakat yang berkutik, semuanya manut dan adem ayem.
Risqi sudah menyerah hingga ia berdoa agar Agam cepat menemui ajalnya tanpa merasakan sakit yang berkepanjangan lagi.
“Burek, apa yang kamu lakukan? Kita semua sedang berusaha menyelamatkan Agam bukan berbesar mulut di sini” Seorang kakek tua berujar sinis, matanya merah saga.Risqi meremas jantungnya yang berdegup kencang, setiap kali peristiwa tiga belas tahun lalu itu diputar bagai kaset soak yang masih jernih gambarnya, membuat dadanya sakit, rasanya sesak. Ia memutuskan membakar foto-foto politikus yang ada di kamarnya, ia tidak peduli lagi dengan kontrak miliyaran rupiah untuk kertas-kertas foto itu, terlalu menyesakkan baginya.
Jiwa Risqi menjadi kurang sehat, hingga tepat hari itu setelah peristiwa tiga belas tahun lalu sebelum semuanya berlalu ia mendatangi Burek.
“Pahlawan hanya akan dianggap pahlawan jika ada yang memperjuangkannya, pahlawan hanya akan menjadi pahlawan jika ia selamat keluar dari perang. Pecundang tidak akan pernah berhenti membual tentang kesejahteraan perutnya sendiri, seperti anjing yang tidak lelah menggonggong untuk sepotong tulang!” itu kata terakhir Risqi ketika menemui orang yang membuat Agam mati tanpa pertolongan 13 tahun lalu.
Sehari setelah peristiwa 13 tahun lalu akhirnya Risqi mati di ruang kerjanya, di antara tumpukan kertas yang mengunung itu membawa bekas kudisnya yang telah meledak dan kembali berdarah nanah. (*)
BIODATA:
NITA JUNIARTI. Lahir di Desa Tangah Rawa Susoh pada tanggal 9 Juni 1993. Baru menyelesaikan S1 di UIN Ar-Raniry Banda Aceh Fakultas Adab Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam tahun 2015 dulu pernah bersekolah di SMA HARAPAN PERSADA, MTsN UNGGUL SUSOH dan Alumnus di SD 1 RAWA.
Leave a Reply