Marsten L. Tarigan, Puisi

Jalan Panjang Sebuah Hikayat

0
(0)

Puisi-puisi Marsten L. Tarigan (Koran Tempo, 09-10 Desember 2017)

Jalan Panjang Sebuah Hikayat ilustrasi Google.jpg

Jalan Panjang Sebuah Hikayat ilustrasi Google

Jalan Panjang Sebuah Hikayat

 

Buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin,

daging jadi taneh, tulan jadi batu,

tendi mulih ku Dibata Simada Tenuang *

 

Membaca adalah ketika kau percaya bahwa

sebuah perjalanan panjang dapat kau temukan

dalam sekumpulan kata-kata. Di sini, kami mulai

ucapkan tabas, mantra penolak bala dan harum

sihir, sirih yang sempurna membungkus pecahan

pinang dan biji-biji kapur. Kami hanya duduk

membaca kitab-kitab yang kami sebut Turi-Turin

Tembe Doni Nina Nininta Kalak Karo. Kami

hanya duduk, menyaksikan terakota berlapis-

lapis menyembunyikan bau tanah.

 

Sajak ini, seakan hikayat leluhur terus lewat,

terus datang dan pergi, silih berganti dengan

gerak mesin pembangun kota. Sebab matahari

akan tenggelam juga sepanjang siang. Setelah

hari ganjil itu, orang-orang berdiri sama tegak

dengan gedung, orang-orang berjalan kian

kemari tanpa sepatah kata pernah ia ingat telah

terbaca. Seperti tulah, kami hanya tertawan

dalam pohon-pohon, rengkahan batu dan air

sungai yang mengalir.

 

Kami hanya ingin pergi bersama gersik pasir

dan darah laut leluhur yang kalut, mencari

bahasa bagi mantra penolak bala, bunyi panjang

memanggil seseorang, cara memanggil piaraan

dan menghalau burung-burung. Kami tak lagi

membaca, seperti sekian kali kehilangan tanda

baca, saat orang-orang telah berhenti berdoa dan

hanya bicara tentang waktu yang mereka sebut

hari depan. Kemana akan kami cari, hikayat yang

tak mengusik kami dari belakang, cakap lumat

yang terlalu panjang lewat sekali helaan nafas.

 

Kandang Singa, 2017

Baca juga  MUHAMMAD

* falsafah masyarakat Karo mengenai kematian

 

Di Tanah Karo Pengrengret Diturunkan

 

/1/

Pada mulanya kami adalah tubuh yang tak

memahami mimpi, tak memaknai bahwa yang

luhur berdiam dalam diri kami. Maka di lembah

dan perbukitan tanah karo, Dibata Si Mada

Tenuang telah menurunkan pelindung bagi kami

yang papa terbelenggu oleh indria dan tak biasa

mencari hakikat manusia.

 

Sejak itu, segala tulah, akan dikembalikan pada

doa-doa dan tabas. Dari segala yang terpisah,

akan bertemu kepala dengan kepala juga. Kami

pun menemukan keberanian pada warna merah,

kesucian pada warna putih dan kemurnian pada

warna hitam lewat pucuk-pucuk sirih, biji-biji

kapur dan buah gambir.

 

/2/

Telah kami baca hikayat tentang ikatan lewat

cicak bertubuh wajik, berkepala dua yang

mendiami rumah, pelindung kami. Berabad-abad

lampau ia telah menjadi penunjuk jalan bagi yang

berjalan dalam kelindan sesat hutan. Muasal likat

tatanan hidup telah ia rumuskan lewat petala

Rakut Si telu: Kalimbubu, Senina, Anak Beru.

 

Segala dongeng tentang gergasi dan begu

meganjang telah ia patahkan dengan gerak dua

belas jemarinya. Bergerak dengan berbagai jurus

dengan sentuhan paling jitu di tiap jejaknya.

Maka kini ia telah dibebaskan menghuni dinding

rumah kami, pada kesempurnaan makna dalam

keabadian, yang awal kali kami bayangkan

sebelum ini.

 

Kandang Singa, 2017

 

Marsten L. Tarigan. Lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 23 Februari 1991. Buku kumpulan puisinya Mengupak Api yang Hampir Padam (2016).

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!