Puisi-puisi Marsten L. Tarigan (Koran Tempo, 09-10 Desember 2017)
![Jalan Panjang Sebuah Hikayat ilustrasi Google.jpg](https://ruangsastra.com/wp-content/uploads/2017/12/jalan-panjang-sebuah-hikayat-ilustrasi-google.jpg)
Jalan Panjang Sebuah Hikayat ilustrasi Google
Jalan Panjang Sebuah Hikayat
Buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin,
daging jadi taneh, tulan jadi batu,
tendi mulih ku Dibata Simada Tenuang *
Membaca adalah ketika kau percaya bahwa
sebuah perjalanan panjang dapat kau temukan
dalam sekumpulan kata-kata. Di sini, kami mulai
ucapkan tabas, mantra penolak bala dan harum
sihir, sirih yang sempurna membungkus pecahan
pinang dan biji-biji kapur. Kami hanya duduk
membaca kitab-kitab yang kami sebut Turi-Turin
Tembe Doni Nina Nininta Kalak Karo. Kami
hanya duduk, menyaksikan terakota berlapis-
lapis menyembunyikan bau tanah.
Sajak ini, seakan hikayat leluhur terus lewat,
terus datang dan pergi, silih berganti dengan
gerak mesin pembangun kota. Sebab matahari
akan tenggelam juga sepanjang siang. Setelah
hari ganjil itu, orang-orang berdiri sama tegak
dengan gedung, orang-orang berjalan kian
kemari tanpa sepatah kata pernah ia ingat telah
terbaca. Seperti tulah, kami hanya tertawan
dalam pohon-pohon, rengkahan batu dan air
sungai yang mengalir.
Kami hanya ingin pergi bersama gersik pasir
dan darah laut leluhur yang kalut, mencari
bahasa bagi mantra penolak bala, bunyi panjang
memanggil seseorang, cara memanggil piaraan
dan menghalau burung-burung. Kami tak lagi
membaca, seperti sekian kali kehilangan tanda
baca, saat orang-orang telah berhenti berdoa dan
hanya bicara tentang waktu yang mereka sebut
hari depan. Kemana akan kami cari, hikayat yang
tak mengusik kami dari belakang, cakap lumat
yang terlalu panjang lewat sekali helaan nafas.
Kandang Singa, 2017
* falsafah masyarakat Karo mengenai kematian
Di Tanah Karo Pengrengret Diturunkan
/1/
Pada mulanya kami adalah tubuh yang tak
memahami mimpi, tak memaknai bahwa yang
luhur berdiam dalam diri kami. Maka di lembah
dan perbukitan tanah karo, Dibata Si Mada
Tenuang telah menurunkan pelindung bagi kami
yang papa terbelenggu oleh indria dan tak biasa
mencari hakikat manusia.
Sejak itu, segala tulah, akan dikembalikan pada
doa-doa dan tabas. Dari segala yang terpisah,
akan bertemu kepala dengan kepala juga. Kami
pun menemukan keberanian pada warna merah,
kesucian pada warna putih dan kemurnian pada
warna hitam lewat pucuk-pucuk sirih, biji-biji
kapur dan buah gambir.
/2/
Telah kami baca hikayat tentang ikatan lewat
cicak bertubuh wajik, berkepala dua yang
mendiami rumah, pelindung kami. Berabad-abad
lampau ia telah menjadi penunjuk jalan bagi yang
berjalan dalam kelindan sesat hutan. Muasal likat
tatanan hidup telah ia rumuskan lewat petala
Rakut Si telu: Kalimbubu, Senina, Anak Beru.
Segala dongeng tentang gergasi dan begu
meganjang telah ia patahkan dengan gerak dua
belas jemarinya. Bergerak dengan berbagai jurus
dengan sentuhan paling jitu di tiap jejaknya.
Maka kini ia telah dibebaskan menghuni dinding
rumah kami, pada kesempurnaan makna dalam
keabadian, yang awal kali kami bayangkan
sebelum ini.
Kandang Singa, 2017
Marsten L. Tarigan. Lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 23 Februari 1991. Buku kumpulan puisinya Mengupak Api yang Hampir Padam (2016).
Leave a Reply