Beni Irawan, Cerpen, Minggu Pagi

Ibunya Meninggal, Dia hanya Memandang Lautan

4
(1)

Cerpen Beni Irawan (Minggu Pagi No 13 Th 73 Minggu I Juli 2020)

Ibunya Meninggal, Dia hanya Memandang Lautan ilustrasi Donny Hadiwidjaja-Minggu Pagi (1)

Ibunya Meninggal, Dia hanya Memandang Lautan ilustrasi Donny Hadiwidjaja/Minggu Pagi

Dia seharusnya menangis, anak laki-laki itu, yang duduk memeluk lutut itu, di pematang sawah pinggir desa. Ibunya meninggal pagi tadi. Sore ini, ketika ibunya dimakamkan, dia tidak ikut mengantarkan ibunya ke peristirahatan terakhir. Dia duduk saja di pematang sawah, memeluk lutut, mematung, menerawang jauh ke lautan yang terpampang di utara sana. Tadi, sempat bapaknya membujuk agar dia ikut ke pemakaman. Dia bergeming, tidak melepas pandangan dari lautan.

Dari arah pemakaman, lewat pengeras suara, merambat di udara, Kiai desa membaca talkin untuk ibunya. Pembacaan talkin itu tidak mengusiknya. Dia masih dengan posisi semula.

Senja turun di langit desa ketika dari arah pemakaman, terdengar pembacaan doa, rangkaian terkahir pemakaman ibunya.

“Amin … amin … amin.” Tanpa melepas pandangan dari lautan, dia lirih memgaminkan.

Pembacaan doa masih berlanjut, tapi mulutnya sudah tertutup rapat. Dia sudah tidak merasa perlu mengaminkan doa. Atau barangkali karena doa itu sudah tidak didengarnya. Telinganya dipenuhi suara gulungan ombak. Kepalanya dipenuhi bayang-bayang kedalaman lautan dan apa yang ada di seberang lautan.

“Ibumu sudah beristirahat dengan tenang,” kata bapaknya yang sudah berdiri di sampingnya dengan suara serak. Di mata bapaknya, masih ada sisa-sisa basah.

Anak laki-laki itu untuk pertama kali melepas pandangan dari lautan, melihat ke arah bapaknya yang sekarang sudah duduk di sampingnya. Dia memandang dengan wajah datar dan hanya sebentar untuk kemudian kembali memandang lautan.

“Ibumu orang baik. Bahkan teramat baik sehingga menerima laki-laki seperti bapakmu ini menjadi suami,” ungkap bapaknya sambil ikut memandang lautan. Dan dia, anak laki-laki itu, masih memandang lautan dengan sikap yang sama.

Baca juga  Ketika Angin Berhenti Mengalun

“Ibumu tahu betul bagaimana bapak dulu. Pemuda yang pertama kali berani mabuk terang-terangan di desa ini, ya, bapakmu ini. Mencuri apalagi. Mungkin ibumu juga tahu bagaimana bapak ketika di perantaun dulu. Tapi, ibumu selalu percaya cinta. Ibumu percaya, dengan cinta, dia bisa mengubah bapak. Meski ditentang banyak orang, termasuk kakek nenekmu, ibumu tetap menerima bapak. Dan, akhirnya, kami menikah.”

“Setelah menikah itu apa bapak berubah? Tidak. Bapak masih bapak yang dulu. Masih mabuk, masih mencuri, judi, bahkan beberapa kali main perempuan.” Bapaknya menghela napas panjang. Di matanya, air mengambang. Sedangkan dia, masih memeluk lutut memandang lautan. Diam. Wajah datar.

“Apa ibumu tidak tahu itu? Tidak mendengar kabar tentang semua itu? Tahu. Semua orang memberi tahu ibumu. Tapi ibumu masih percaya pada bapak, pada cintanya, dan pada waktu yang akan memperbaiki semuanya.”

Matahari tenggelam di kaki langit. Azan berkumandang dari masjid. Angin menerbangkan kesunyian dan mengibarkan pakaian bapak dan anak itu.

“Keburukan apa pun yang bapak lakukan, baik yang ibumu melihat dengan mata kepala sendiri, atau yang dia dengar dari orang lain, ibumu tetap diam. Namun, jika sedikit saja kebaikan yang bapak lakukan, dia akan memuji bapak habis-habisan.”

“Dengan kepercayaannya yang besar pada cinta, dengan kesabaran, dan dengan cara-cara yang menawan, bapak mulai menunjukkan perubahan ke arah kebaikan. Itu mungkin karena perasaan hormat yang tiba-tiba muncul dalam diri bapak pada ibumu. Itu tepat ketika dia mengandungmmu.”

Laut di utara sana sudah disembunyikan kegelapan. Hanya terlihat lampu-lampu rumah yang berjejer di garis pantai. Juga beberapa lampu bergerak ke tengah lautan, lampu yang berasal dari perahu nelayan.

“Bulan-bulan awal ketika ibumu mengandung, bapak mulai mencoba menghentikan kebiasaan mabuk. Sulit. Tapi ibumu selalu menyemangati. Kemajuan sekecil apa pun yang bapak tunjukkan, akan sangat dihargainya. Jika bapak menunjukkan kemunduran, ibumu bersikap biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa.”

Baca juga  Secangkir Kopi di Atas Meja

“Beberapa kali bapak hampir putus asa. Sehari tidak mabuk, dua hari mabuk. Seminggu tidak mabuk, tiga hari berturut-turut mabuk. Setiap ada kemajuan, selalu diikuti kemunduran. Namun, ibumu tidak pernah menyerah pada bapak. Dengan ibumu yang seperti itu, bapak jadi malu jika terus-terusan mengalah pada diri sendiri. Sampai suatu ketika, keinginan untuk mabuk itu sirna, keinginan menyentuh minuman tiada. Bahkan untuk melihat botolnya saja, bapak tidak sudi rasanya.”

Suara ikamah terdengar dari masjid. Bapak-anak itu sempurna diselimuti kegelapan di tengah sawah. Di langit, bintang-bintang bertaburan.

“Bulan kelima ibumu mengandungmu, bapak sudah berhenti total mabuk-mabukan. Kemudian, bapak bertekad berhenti mencuri dan berjudi. Bapak ingin mencari rezeki halal.”

“Ini juga tidak mudah. Orang-orang desa sudah tahu bagaimana bapak. Ketika bapak menawarkan jasa untuk membantu mereka di sawah, di kebun, membangun rumah, semua menolak. Dan lagi-lagi, ibumu tidak menyerah mendukung bapak. Ibumu seakan-akan memiliki cadangan ketabahan. Dia rela makan seadanya asal itu dari rezeki halal. Bahkan, kami pernah tidak makan beberapa hari.”

“Kemudian, satu per satu orang-orang mulai meminta tenaga bapak untuk membantu mereka. Mungkin karena melihat betapa bapak benar-benar ingin berubah. Atau mungkin karena kasihan pada ibumu yang hamil tua.”

Suara jangkrik berderik ragu-ragu dari lubang di bawah pematang.

“Untuk soal main perempuan, bapak sudah tidak melakukannya sebelum tahu ibumu hamil. Tapi, soal pandangan, bapak masih belum bisa menundukkan.”

“Maka, memasuki bulan ketujuh, bapak mulai melatih menundukkan pandangan. Ini lebih mudah karena setiap melihat perempuan, perut ibumu yang sudah membesar selalu terbayang.”

Aroma palawija menguar di udara sekitar mereka.

“Bulan kedelapan sampai bulan kesembilan, bapak lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani ibumu.”

Baca juga  Sebutir Nasi

“Subuh hari, ibumu mengeluh sakit perut. Tanpa pikir panjang, bapak melarikannya ke puskesmas desa. Dan, kau lahir, di pagi hari bersamaan dengan terbit matahari, tanpa menangis dan dengan keadaan seperti ini.”

Angin dari lereng gunung berembus membawa dingin. Anak laki-laki itu masih memeluk lutut. Menunduk. Samar-samar, dibantu cahaya bintang, dia memandang jari kakinya yang hanya berjumlah tiga. Memandang jari tangannya yang hanya jempol saja dengan ke empat jari lainnya yang tidak bersela.

Soal jari-jemari itu belum seberapa dibandingkan dengan wajahnya yang buruk rupa, menyebabkan dia dijauhi, menyebabkan dia sering menyalahkan perempuan yang telah melahirkannya. Namun, setelah mendengar cerita bapaknya, dia seperti tenggelam di lautan tanpa dasar.

“Bapak minta maaf. Karena bapak yang tidak bisa sejak awal mencari rezeki halal, ketika ibumu mengandungmu, dia lebih sering menahan lapar.”

“Jika … jika kau ingin … bapakmu ini satu-satunya yang pantas disalahkan.” Bapaknya terisak.

Dia tidak tahu apa yang dia rasakan dalam dirinya. Sejak kecil dia memang tidak bisa menunjukkan emosi, kecuali ketika melihat lautan.

Dulu, sebelum dia sadar betapa keadaan fisik berpengaruh pada bagaimana orang bersikap terhadapnya, dia selalu melongo ketika perempuan yang dia panggil ibu bercerita padanya mengenai lautan: tentang pantai, ombak, kedalaman, dan apa yang ada di seberang laut.

Baginya, lautan adalah perasaan: pantai adalah gembira, ombak adalah marah dan jijik, kedalaman lautan adalah sedih, seberang lautan adalah takut dan terkejut.

Dan sekarang, yang dia rasakan pada lautnya adalah kecamuk. Dia bangkit dari duduk. Berlari ke makam ibunya. Bersimpuh di sana. Berurai air mata untuk pertama kalinya. ***

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!