Cerpen Han Gagas (Suara Merdeka, 17 Desember 2017)
SIONG NIO merapatkan selimut. Udara dari luar menyelinap melalui kusen jendela menusuk pori-pori kulit membuatnya kedinginan. Kantuk masih memberati kepalanya dan rasa malas membuat sepasang kelopak matanya enggan terbuka.
Pagi memang masih kelabu. Malam baru saja beranjak pergi. Lampu kota yang memancarkan cahaya oranye meredup lemah di sepanjang jalan kawasan Kebayoran, Jakarta. Hujan semalam membuat cuaca terasa lembap. Sing Nio berniat tidur kembali.
Tapi tiba-tiba udara senyap pagi terkoyak oleh pekik tangis suara bayi yang melengking tinggi. Oeek, oeek, oeek. Siong Nio terkejut hingga terpental bangun. Matanya terbuka lebar. Bunyi itu terdengar begitu dekat. Pasti berasal dari depan jendela kamarnya yang berhadapan langsung dengan pekarangan rumah.
Ia menyibak tirai. Tak cukup cahaya yang masuk ke matanya. Di luar, sinar matahari hanya berkemilau menyepuh embun pagi. Cahayanya berdenyaran menyemburat di antara dedaunan tanaman. Langit masih kelam, dalam terang tanah yang meraba jengkal halaman, ia tak bisa melihat siapa pun.
Gadis yang menginjak remaja ini memutuskan keluar kamar. Di lorong dia bertemu Munah, pembantu rumah tangga yang sedang menyapu di selasar. Siong Nio memberi tahu tentang suara tangis itu.
Munah pun langsung terbirit-birit keluar.
“Ada bayi!!” teriaknya seketika. Paras Munah memias menatap sesosok bayi mungil di bawah pohon cemara. Dengan tangan sedikit gemetar Munah mengambil dan menggendongnya.
Siong Nio yakin bayi itu baru saja diletakkan di bawah pohon itu. “Kalau sejak semalam pasti dia sudah akan menangis karena kedinginan, dan aku akan terbangun karena suara tangisnya,” batinnya.
Ny Lie, oma Siong Nio, yang datang karena keributan pagi itu terlihat sangat gembira atas kedatangan bayi mungil yang bagaikan sebuah hadiah besar dari Sinterklas. Ia lalu memerintah Munah memandikan dengan air hangat dan memberinya susu.
Setelah peristiwa pagi itu, bayi-bayi mulai ditemukan di antara pot-pot besar atau di bawah pohon cemara, bahkan ada yang tergolek di dekat pagar atau teras rumah. Ada pula yang langsung diberikan ke tangan Ny Lie. Sing Nio pernah melihatnya. Si pemberi adalah perempuan berkebaya yang wajahnya dibebat selendang hitam sehingga yang tampak hanya sepasang matanya.
“Ini adik kalian,” kata Ny Lie berseri-seri. Ia membahasakannya sebagai adik, kepada kami, cucu-cucunya. Mendapati bayi di pekarangan rumah membuat Ny Lie yakin itu berarti ketiban rezeki, seperti memperoleh berkat dari Tuhan secara langsung. Baginya ini jalan Tuhan, jalan untuk melayani. Namun tak hanya itu yang Ny Lie perbuat. Ia juga kerap menyelusup ke pelabuhan dan memeriksa kapal untuk melihat apakah ada gadis-gadis malang dari Tiongkok yang bisa ditolong. Karena pengaruh kedudukan suaminya, Kapten Lie Tjian Tjoen, ia bisa mendapat bantuan dari polisi atau jaksa menyelamatkan gadis-gadis yang hendak dilacurkan di Batavia.
Mereka dipaksa melayani lelaki hidung belang atau menjadi istri muda. Sebagian yang berwajah tak menarik dipaksa jadi pembantu. Nasib itu makin menyedihkan karena mereka kerap mendapat perlakuan kasar dan siksaan fisik.
Gadis-gadis muda itu dibeli dari orang tua yang miskin dan memang secara tradisi tidak senang atas kelahiran anak-anak perempuan di keluarganya. Kemiskinan yang parah membuat banyak keluarga terperangkap dalam utang-utang besar yang dilunasi dengan cara menjual anak gadis.
Bayi-bayi malang dan para gadis itu ditampung Ny Lie di bagian kiri rumahnya yang akhirnya diperluas dan direnovasi. Bangunan yang kemudian diberi nama Roemah Piatoe Ati Soetji. Rumah piatu yang terkadang dilempari batu atau petasan oleh orang-orang yang terganggu oleh kehadirannya. Dan Ny Lie bersikukuh, tak takut ancaman dan teror sekalipun.
Ny Lie kerap pula menerima surat kaleng yang memberikan informasi tentang seorang gadis yang harus ditolong. Ia pun tanpa ragu mencari gadis itu, walaupun bahaya tak jarang mengadang. Seperti nyaris dibacok dan dicelurit para germo dan anak buahnya yang resah akan tindakannya. Namun berkat bantuan para polisi dan jaksa yang mendukungnya, kehadirannya saja telah membuat mereka ngeri.
Kelembutan Ny Lie juga melunakkan hati germo saat Ny Lie berkata hanya akan memberikan pendidikan dan bekal hidup bagi para gadis malang yang ia temukan, setelahnya boleh diambil. Itu membuat mereka tak jadi bersikeras. Ya walaupun akhirnya, kenyataannya, para germo itu tak ada yang berani mengambil karena takut berurusan dengan polisi. Para gadis itu belajar menjahit, merajut, menyulam, memasak, dan pekerjaan rumah tangga lain.
Setelah cukup dewasa banyak di antara mereka menikah dan melanjutkan kemampuannya itu bekerja menjadi penjahit, di warung, atau membuat kerajinan. Mereka menjadi perempuan baik-baik yang berguna bagi keluarga dan masyarakat. Ny Lie bahagia mengantarkan dan mendampingi mereka di mahligai perkawinan dan bangga mengetahui anak-anak gadisnya hidup mandiri.
Buah memang tak jatuh dari pohonnya. Kedermawanan Ny Lie peroleh dari ayahnya, Seng Hoe, yang terbiasa menolong orang miskin dan cacat. Ny Lie ingat pada masa kecilnya beserta seluruh keluarganya bekerja sama untuk menyediakan kain kafan dan peti mati secara gratis, membagikan pakaian baru pada tahun baru atau lebaran, memberi pelajaran menulis dan membaca pada anakanak buruh kebun, dan memberi makan para pengemis dan gelandangan.
Saat kecil, Tjoei Lan, nama lahir Ny Lie, bertanggung jawab mengawasi para karyawan dapur melepaskan duri ikan yang akan dimakan para pengemis. Duri-duri itu harus dilepas dari daging ikan agar tidak tertelan oleh orang buta saat makan. Suatu hari, Seng Hoe menemukan masih ada duri belum dilepaskan dari ikan. Dia marah besar kepada Tjoei Lan. Seng Hoe menyentil anak gadisnya yang dianggap tidak bertanggung jawab. Pengalaman itu sangat membekas pada diri Tjoei Lan.
Terhadap pengemis, pengemis yang dianggap nista dan anggota masyarakat berkasta paling rendah, dan tak ada hubungan saudara pun, ayahnya mengajarkan untuk berbuat baik hingga ke hal-hal yang dianggap kecil dan remeh. Kasih untuk menolong tertanam dalam jiwa Tjoei Lan sejak kecil. Jiwa melayani dan berbudi baik tertanam dalam relung hatinya yang terdalam.
Namun apakah ia senang dianggap dermawan, kelak, ketika namanya termasyur di Batavia? Ia sesungguhnya selalu menolak bila ada kerabat atau wartawan mencoba mengangkat perihal jerih upaya sosialnya di media massa mereka. Ia tak suka niat ikhlasnya terlumuri oleh keinginan dianggap dermawan.
Dua puluh tiga tahun setelah Roemah Piatoe Ati Soetji didirikan, masalah perdagangan anak-anak perempuan yang dijadikan pelacur mendapat perhatian. Konverensi Liga Bangsa-Bangsa—yang kelak akan berkembang menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)—secara khusus membicarakan masalah itu di Bandung pada 1937, dan Ny Lie hadir pada pertemuan itu. Sayang, ketika Jepang masuk dan berkuasa, rumah piatu itu ditutup paksa. Puluhan bayi dan anak gadis terpaksa berpencar ditampung di tempat-tempat saudara Ny Lie. Mereka tersebar bertahun-tahun, dan saat Indonesia merdeka, atas panggilan nurani, Ny Lie mengumpulkan mereka kembali dan membangun Ati Soetji lagi yang hancur karena peperangan.
Teguh Karya atau Steve Lim, pria yang terlahir dengan nama Lim Tjoan Hok, pada 1960, mendatangi Ati Soetji, bertemu Ny Lie dan berencana mengadakan pementasan teater untuk penggalangan dana. Pementasan yang berlangsung selama dua hari itu melibatkan seluruh anak panti di Schouwburg (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) dan berlangsung dengan sukses. Namun Ny Lie tak suka ending-nya.
Pementasan yang mengangkat kisah hidup dan pengabdian Ny Lie itu ditutup dengan adegan anak-anak Ati Soetji menaburkan bunga melati di atas “pusara” Ny Lie, padahal saat pementasan berlangsung Ny Lie masih segar bugar dan menonton di deretan kursi terdepan. Walau tak suka, Ny Lie tetap memberikan penghargaan tertinggi pada Teguh Karya. Itulah sikap kemanusian sejati. ***
.
.
– Han Gagas, penerima penghargaan Dewan Kesenian Jawa Tengah 2011. Bukunya Catatan Orang Gila (2014) termasuk kumpulan cerpen terbaik Indonesia (Goodreads Indonesia). Novelnya yang akan terbit Sigarmangsi; Balada Sepasang Kekasih Gila.
Leave a Reply