Cerpen, Khairul Anam, Rakyat Sumbar

Pekerjaan Gelap

0
(0)

Cerpen Khairul Anam (Rakyat Sumbar, 30-31 Desember 2017)

Pekerjaan Gelap ilustrasi Rakyat Sumbar.jpg

Pekerjaan Gelap ilustrasi Rakyat Sumbar

KAU keluar menghampiri suamimu yang sedang duduk di beranda rumah. Suamimu masih sibuk dengan bukunya. Sedangkan kau, datang dengan kegelisahan yang melililitmu sedari tadi.

Kau duduk di sebelahnya, tatapanmu berjalan di seluruh tubuh suamimu. Dia tenggelam dalam lautan kata, atau mungkin menyengaja menyelam di dalamnya. Hingga dia tak menyadari kedatanganmu. Kau mendesah, mencoba mencari perhatiannya. Usahamu berhasil, dia menoleh lantas menutup bukunya.

“Cobalah cari kerja, Sayang. Berjualan koran saja tidak cukup,” katamu lirih, takut menyinggung perasaannya.

“Aku tahu apa yang kau khawatirkan, Sayang. Aku sudah berusaha. Tunggu saja waktunya.” Tangannya menyentuh perutmu yang semakin membuncit. Dia mengusap penuh kasih sayang, bibirnya bergerak-gerak membacakan doa. Kau tersenyum, terharu. Kepala dengan rambut panjang yang tergerai, kau letakkan di pundaknya. Kau dekap mesra tangannya.

Malam menjelang. Dapur berasap, gemercik suara radio suamimu menemani jemari-jemarimu memasak. Kautuangkan air pada panci alumanium yang kaubeli dari pasar loakan. Hidup sederhana, kau hanya membeli barang-barang bekas untuk menyambung hidupmu.

Masakan sudah matang. Kau membawakan mangkok berisi sayuran dan tempe goreng pada piring kecil ke ruang tengah. Suamimu sibuk dengan pena dan buku yang tidak kau tahu apa isi buku itu.

“Berhentilah. Ayo makan dulu.” Senyumnya mengiyakan ajakanmu. Dia berhenti, lalu mengambil nasi, sayur dan tempe.

Kau makan berdua dengan suamimu. Cerita tentang penjualan koran tadi, menemani kesepian kalian di rumah yang terbuat hanya dari kayu bekas rumah-rumah yang dirobohkan kemarin gara-gara tanahnya tidak bersertifikat.

Kehamilanmu sudah menginjak sembilan bulan. Beberapa hari ke depan, mungkin kau sudah melahirkan. Sudah tiga hari, suamimu tidak pulang. Kau sangat gelisah, kepalamu pusing tapi usahamu untuk tetap kuat menyangga anakmu sungguh perlu diapresiasi.

Baca juga  Tuhan, Maaf Ramadhan Ini Aku Sibuk

Benar, tiga hari kemudian, kau dibawa ke rumah sakit oleh tetangga. Tanpa ada halangan apa pun, bayimu lahir sempurna. Kau terkejut, ketika suamimu berjalan di belakang suster yang menggendong bayimu.

Suamimu datang dan hanya memberi uang seratus ribu rupiah. “Kau pergi ke mana saja dan lalu pulang hanya membawa uang segini?” katamu kesal. Kali ini, amarahmu begitu meledak, akal sehat dan nuranimu sudah terbakar hangus oleh api amarahmu.

“Pergi saja kamu. Aku tak sudi melihatmu. Aku sudah muak hidup miskin bersamamu. Biarkan aku di sini, biar aku yang menanggung biaya semua rumah sakit ini. Pergilah.” Baru kali ini kau membentak suamimu dengan sangat keras. Suamimu berdiri, menuruti keinginanmu. Dia sempat melihat bayimu, yang dulu kaujanjikan akan memberikan nama Alan. Alan menangis seiring langkah ayahnya keluar dari kamar.

***

Keberuntungan berpihak padamu. Ada yang rela membayar semua biaya persalinanmu. Bayimu juga tumbuh sehat. Banyak kerabat, saudara dan teman-temanmu yang datang menjengukmu. Sejenak, kenangan tentang suamimu kaulupakan. Kau belum benar-benar bercerai dengannya, tetapi kau memilih menganggapnya tiada.

Tiga hari berlalu, tiba-tiba ada kerinduan yang memercik di hatimu. Kau rindu saat hangat-hangatnya bercengkerama dengan suami, kau rindu saat kau bercanda ria dengan suamimu. Kau rindu semuanya tentang suamimu.

Berulang kali kautanyakan pada teman-temanmu dan teman suamimu, namun tak ada yang tahu keberadaan suamimu. Kau menangis terpekur di beranda. Alan kecil kaupeluk erat.

Suatu malam, saat hujan deras dan angin kencang menerpa rumahmu. Datang seorang lelaki yang seumuran suamimu. Kau tak mengenalnya, dan sangat asing.

Dia datang dengan raut wajah yang menyedihkan. Tak ada kebahagiaan yang memancar dari setiap sudut wajahnya. Dia duduk, mengatupkan payung. Senyum ramah dan salam yang penuh kelembutan, menyapamu yang terbengong di bingkai pintu.

Baca juga  Hikayat Pencopet

“Maaf Anda siapa ya?” tanya ragu penuh ketakutan.

“Tenanglah. Aku tidak akan menjahatimu. Aku hanya ingin menyampaikan wasiat untukmu.”

“Suamimu meninggal dua hari setelah kelahiran anakmu. Dia meninggalkan banyak harta yang selama ini dia sembunyikan darimu. Dia sebenarnya adalah penulis. Pekerjaan terangnya adalah penjual koran, sedangkan pekerjaan gelapnya adalah penulis. Puluhan buku best seller yang ada di rak utama toko buku itu semua miliknya. Dia memakai nama Alan. Supaya orang tidak mengenalinya, terlebih kamu.” Orang itu menghela napas. Matamu mulai berkaca-kaca.

“Tapi mengapa dia sejahat itu, mengapa dia tidak memberitahuku tentang semua ini?”

“Bukan dia yang salah, tetapi kau sendirilah yang memintanya. Ingatkah waktu sebelum menikah. Kau katakan padanya kalau kau ingin hidup sederhana dengannya hingga nyawa tak lagi ada di raga. Ingatkah kau bilang ingin mengajarkan anak-anakmu kesederhanaan agar anakmu tidak seenaknya dengan orang lain. Dan ingatkah kau, janji yang kauucap akan menerima suamimu apa adanya, kenapa kau melupakan semuanya? Suamimu takut, bila ia menunjukkan kekayaanya maka kau akan marah, karena tidak mewujudkan harapanmu. Kau juga tidak mau tahu, dia mempunyai penyakit paru-paru akut yang selama ini dia pendam sendiri. Tiga hari sebelum kelahiranmu anakmu, dia melakukan cuci darah untuk bisa menyambung hidup dan melihat anaknya. Tetapi setelah bertemu, kau usir dia. Untuk kau dia bertahan hidup selama ini. Mengapa kau tidak mau tahu?”

Tangismu pecah. Teriakanmu mengalahkan gemuruh awan dan gemercik hujan. Kau menangis sejadi-jadinya, menyesali semuanya. Tapi sudah terlambat. (*)

 

KHAIRUL ANAM. Suka menulis cerpen, novel dan puisi. Karya-karyanya dimuat di koran daerahnya. Novel tunggalnya berjudul “Cahaya-Nya” (2016).

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!