Cerpen Alim Musthafa (Media Indonesia, 07 Januari 2018)
PEMUDA itu bernama Royhan. Hidupnya kaku bagai rumah yang diguyur hujan. Perasaannya gersang bagai ladang yang dilanda kemarau. Sejak merasakan kehilangan, ia mulai memahami bahwa kesendirian ialah teman paling pengertian, dan senja adalah penghibur yang membuatnya kerasan larut dalam kesedihan.
Setiap sore hari, Royhan selalu mendatangi Bukit Tinggi, duduk di atas hamparan batu besar sambil memandangi senja yang temaram. Dari sepasang matanya yang sayu, kadang bulir-bulir bening berguguran, lalu menyatu bersama tanah yang kerontang.
Di bukit yang terletak di Desa Daramista itu, Royhan seperti hanya larut dalam dirinya sendiri. Tidak pernah tersenyum, tertawa, atau berbuat apa pun untuk menyenangkan dirinya. Bahkan, ia tak pernah mengusik orang-orang yang memadu kasih di sekitarnya.
Saat bosan, Royhan hanya memutar wajah, memandang sepasang kekasih yang tak jauh di sampingnya. Sepasang kekasih itu kadang terlihat saling mencubit, menyandarkan tubuh, lalu kembali menatap senja dengan senyum bahagia.
Namun, kemesraan pasangan kekasih yang ia lihat kali itu justru menarik ingatannnya kembali tentang kebersamaannya dengan Ariza, gadis cantik yang selama lima tahun menjadi kekasihnya dan selalu setia menemaninya hingga akhirnya menghilang entah ke mana.
Sebagaimana pasangan kekasih lain, Royhan dan Ariza juga menggemari senja. Mereka kerap bepergian hanya untuk mencari tempat di mana senja bisa dilihat dengan sejelas-jelasnya. Telah mereka datangi Gunung Payudan, Pantai Sembilan, Dermaga Kangayan, dan tempat-tempat lain di mana senja bisa terlihat menyala dengan sempurna.
“Ini wisata senja yang mengagumkan, Sayang. Sungguh beruntung aku memilikimu, yang selalu memanjakan aku dengan kebahagiaan ini,” kata Ariza pada suatu hari, saat sedang asyik menyaksikan senja berdua.
“Apa pun yang membuatmu semakin jatuh cinta kepadaku, Sayang, akan kulakuan. Aku hanya ingin kau menjadi gadisku yang pertama dan terakhir.”
“Aku janji, Sayang, aku tak akan pernah mengecewakanmu, dan aku akan selalu berusaha menjadi gadis yang terbaik untukmu.”
Mereka tak pernah bosan berpindah dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk merasakan senja dengan nuansa yang berbeda dan istimewa. Hingga pada suatu hari, mereka saling berjanji akan mengahabiskan senja di Bukit Tinggi, sebuah bukit yang menawarkan pemandangan yang sangat indah, lebih-lebih di sore hari menjelang matahari terbenam.
Hari itu, tak seperti biasanya, Ariza datang sendirian lebih awal. Senja masih belum menyala dengan sempurna. Namun, pasangan-pasangan kekasih lain seakan telah menjejali hamparan bukit, memilih berduaan di sudut-sudut yang lebih sepi.
Di bukit romantis itu, hanya Ariza yang datang tanpa pasangan. Ia duduk dengan cemas di atas hamparan batu besar sambil menunggu Royhan yang tak kunjung datang, padahal sudah melewati waktu perjanjian. Sementara itu, pasangan-pasangan kekasih ain seolah hanya peduli dan sibuk dengan pasangannya sendiri tanpa perduli yang lain.
***
Sore itu, Royhan mengalami kebingungan dan kecemasan yang luar biasa ketika tidak mendapati Ariza di tempat seperti yang dijanjikan. Padahal, ia telah mencarinya hingga ke tempat-tempat yang paling sepi. Maka, keadaan itu kemudian menggiring pikirannya untuk percaya pada sebuah mitos yang beredar di sekitar.
“Di Bukit Tinggi, perempuan-perempaun akan hilang dibawa senja jika dibiarkan menunggu hingga melewati waktu perjanjian,” begitu kata orang-orang yang mendiami sekitar bukit itu ketika Royhan bertanya tentang kekasihnya yang tak kunjung ditemukan.
Dan Royhan merasa menyesal telah datang terlambat sore itu. Namun, ia masih belum percaya sepenuhnya bahwa Ariza benar-benar hilang dibawa senja. Maka, ia pun mencari keberadaan gadis itu di luar sana, di samping selalu mendatangi bukit itu setiap sore hari.
Keadaan itu terus berlangsung hingga bertahun-tahun. Hingga Royhan pun berubah, menjadi sosok yang tertutup dan acuh terhadap siapa pun, termasuk gadis-gadis yang mencoba mendekat.
“Royhan, kenapa kau selalu membiarkan gadis-gadis pergi dengan kesal?” tanya salah satu teman gadisnya suatu hari.
“Biarlah! Aku hanya tak ingin melihat mereka berharap dan terluka.”
“Tapi kau telah membuat mereka kecewa.”
“Itu lebih baik daripada membuat mereka merasa nyaman di sisikku, tapi kemudian aku mengabaikan mereka setelah menaruh harapan besar menjadi kekasihku.”
Mendengar jawaban Royhan, teman masa kecilnya itu langsung bungkam. Memahami bahwa kepedulian dan perhatian seseorang pada orang lain kadang tak bisa ditebak. Bisa saja dalam bentuk yang tak biasa, bahkan kadang tidak disukai.
Kenyataannya, Royhan memang tidak selalu bersikap begitu. Kadang ia menampakkan kepedulian yang nyata ketika melihat orang lain menderita. Seperti yang terjadi pada suatu ketika di siang hari, ia melihat seorang gadis yang sedang menangis, duduk sendirian di atas bangku taman di bawah rindang pohon damar.
Melihat gadis menangis, Royhan jadi teringat Ariza yang hilang. Ia pertama kali kenal dengan Ariza saat ia juga sedang menangis di pinggir jalan. Dan setiap begitu, ia akan selalu teringat kata-kata guru agamanya, “Jika kamu mencintai perempuan dengan benar, maka kamu tidak akan pernah membuatnya menangis selamanya.”
Maka, setelah mendekat dan mengamati wajah gadis itu yang terus menangis, Royhan lalu berpikir bahwa gadis itu layak dicintai. Adakah gadis yang kurang layak dicintai? Hmm, tentu saja ada, yaitu gadis yang suka menyiakannyiakan cinta yang diberikan para lelaki kepada dirinya.
“Tak baik seorang gadis menangis,” tegur Royhan begitu berdiri tak jauh di sisinya.
Gadis itu menoleh.
“Apa pedulimu?”
“Aku hanya tak tahan melihat gadis menangis. Pasti seorang lelaki yang telah tega membuatmu begini, bukan?”
“Bukan urusanmu!”
“Memang. Tapi aku kenal siapa kekasihmu. Aku pernah melihatmu berdua di Bukit Tinggi tempo hari.”
“Terus?”
“Tidak ada apa-apa. Hanya saja sebaiknya kaulupakan saja dia. Ada banyak lelaki yang lebih baik darinya.”
Seketika gadis itu menatap wajah Royhan lekat-lekat, seperti mencari sebuah kebenaran di sana.
Beberapa saat suasana menjadi kaku. Tapi, Royhan kemudian mengajak gadis itu berkenalan. Dan gadis itu pun mulai tersenyum saat Royhan menghiburnya dengan guyonan-guyonan humor. Selama beberapa hari, Royhan terus menemani dan menghibur gadis itu hingga wajahnya kembali ceria dan menampakkan kecantikannya yang purba.
“Kau sebenarnya beruntung bisa bersamaku, Izara!” kata Royhan suatu ketika.
“Kenapa, Royhan?”
“Apa yang tampak di matamu tentang aku, tidak seperti apa yang tampak di mata gadis-gadis lain.”
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Tak perlu mengerti sekarang. Bila sampai waktunya, kau akan mengerti sendiri suatu hari nanti.”
***
Para pengunjung bukit selalu merasa heran, kenapa pemuda itu selalu duduk sendirian sambil memandangi senja seperti sedang mengurai kesedihannya yang seolah tak pernah berkurang.
“Apakah pemuda itu sedang menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang?” Begitulah tanya para pengunjung pada pengunjung lain. Namun tetap saja, tak pernah ada yang mempu menjawabnya dengan pasti.
Para pengunjung juga tidak pernah tahu tentang asal muasal dan riwayat pemuda itu. Sebelum senja menyala, ia tiba-tiba sudah duduk di sana seperti biasa. Mereka juga tidak pernah melihatnya di tempat lain kecuali di sana menjelang senja.
“Sudah, kita tak perlu mengusiknya. Dia mungkin datang dari jauh dan tidak waras.” Begitulah akhirnya mereka berkesimpulan.
Dan memang tidak ada siapa pun yang berani mengusik keberadaanya. Orang-orang hanya bisa berbisik-bisik setiap kali merasa heran dan penasaran dengan sikapnya. Namun, di sore itu ada seorang gadis yang nekat mendekat.
“Aku baru tahu, ternyata kita menyimpan kesedihan yang sama, Royhan,” tegur gadis itu.
Dan pemuda itu seolah tak merasa terusik. Ia tetap menampakkan keacuhan yang tajam.
“Tidak juga. Sedihku tidak sama dengan sedihmu,” tanggapnya kemudian, seperti telah tahu siapa gadis di sisinya.
“Maksudmu?”
“Sedihmu karena cinta. Tapi sedihku karena senja.”
“Kau aneh. Bukankah senja dipilih orang untuk merasakan bahagia?”
“Memang, yang lumrah begitu. Tapi setiap orang harusnya tahu bahwa senja bukanlah momen yang tepat untuk berbahagia.”
“Kenapa begitu?”
“Karena senja adalah isyarat akan datangnya kepergian dan kehilangan.”
“Tapi kenapa kau suka menunggui senja.”
“Aku hanya ingin setia menunggui seseorang yang telah pergi bersama senja, meski aku tak tahu apakah ia akan kembali kepadaku untuk terakhir kalinya.”
“Sampai kapan kamu akan begini?”
“Sampai senja menghilang dan aku dibawa pergi bersamanya.”
***
Setelah habis mengobrol, Royhan lalu mengajak Izara pulang. Senja memang sudah tampak semakin menyurut dan bukit itu sudah sepi dari pengunjung.
Dengan saling menggamit tangan, mereka lalu melangkah menyisir jalan ke timur. Dengan hati-hati, mereka mencoba menuruni lahan bukit yang miring. Namun sebelum mereka jauh, tiba-tiba sebuah suara memanggil dari belakang.
“Royhan, kembalilah!”
Royhan buru-buru membalik tubuh. Di sana tiada siapa pun yang terlihat. Namun kemudian ia kaget begitu melihat senja kembali menyala dan semakin menyala di ufuk barat.
Karduluk, 2017
Alim Musthafa asal Sumenep suka menerjemahkan dan menulis puisi dan cerpen.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com
Leave a Reply