Kota ini telah habis, tinggal menyisakan kampung-kampung di wilayah pinggiran tanpa cap warna merah. Jika melihat peta, kota ini bahkan telah ditandai dengan warna hitam. Sepertiga penduduknya meringkuk di sal-sal rumah sakit. Sisanya terkurung di gedung-gedung karantina. Beruntung Tuhan masih memberiku kesempatan berada satu nasib dengan manusia-manusia penerima kemujuran.
TIDAK. Sebenarnya aku tidak sepenuhnya mujur. Nyatanya aku yang berencana membawa ibu pulang kampung, mengeluarkannya diam-diam dari kota hitam, justru sekarang duduk di sini: sebuah bangku kosong di lorong rumah sakit. Tak kusangka, di saat lolos dari ancaman hantu pagebluk yang terus bergentayangan di segala penjuru kota, sakit menahun ibuku justru kambuh. Kali ini paling parah jika dibandingkan dengan kambuh yang sebelum-sebelumnya.
Aku ikut terjebak di sebuah rumah sakit beraroma aneh. Petugas-petugasnya berpakaian aneh, seperti awak pesawat yang hendak terbang menembus lapisan cakrawala, menyingkap tabir semesta. Pasiennya diperlakukan aneh. Keluarga pasien juga diperlakukan aneh, hanya boleh menunggu dari luar ruangan yang dibatasi pagar besi. Iya, hampir semua yang ada di rumah sakit ini serba-aneh bagiku.
Keanehan itu yang membuatku selama di rumah sakit ini hanya mengisi waktu dengan duduk di bangku kosong sebuah lorong, tak jauh dari ruang ibuku dirawat.
“Bolehkah aku ikut duduk di sini?”
Suara laki-laki itu mengejutkan aku. Entah datang dari mana, tiba-tiba ia sudah berdiri begitu saja di depanku.
“Silakan,” jawabku. “Apakah kau petugas di rumah sakit ini?”
“Bukan. Aku sedang mencari seseorang,” sahutnya.
“Apakah orang yang sedang kau cari itu juga pasien di rumah sakit ini?”
“Iya. Aku mencari sekaligus menjemputnya pulang,” terang laki-laki itu. “Oh ya, kalau boleh tahu, kau sedang menunggu siapa?” Laki-laki itu balik bertanya.
“Ibuku. Sudah dua hari ia tak sadarkan diri,” jawabku sembari menunjuk ke sebuah ruangan di ujung lorong.
“Bapakmu di mana?”
“Bapak sudah lebih dulu dipanggil Tuhan ketika aku masih duduk di bangku SD.”
“Kau sungguh beruntung, Nak.”
“Beruntung bagaimana?”
“Tidak banyak manusia yang menerima kemujuran nasib sepertimu. Bisa menjaga seorang malaikat berwujud perempuan, yang menyerahkan segala sisa hidupnya untuk membesarkanmu seorang diri dalam kurun waktu bertahun-tahun, adalah sebuah keberuntungan. Apalagi tanpa sosok pelindung dan pemberinya nafkah. Kau telah menemukan jalan menuju surga.”
Aku tak lagi menyahut ucapan laki-laki itu. Kata-katanya sulit dicerna dengan ilmu tafsirku yang dangkal. Tapi aku tahu, ucapannya mengandung banyak kebaikan.
Begitulah, semenjak pertemuan itu, setiap malam laki-laki itu selalu menemaniku di lorong rumah sakit. Mengagetkan aku dengan kedatangannya yang tiba-tiba, ikut duduk di bangku kosong, lalu dengan sabar mendengar segala keluh kesah yang kuceritakan.
Namun, sudah seminggu ini laki-laki itu tak pernah lagi menemuiku. Sakit ibu yang tak kunjung ada harapan kesembuhan, tiba-tiba membuatku merindukannya. Mungkin ia sudah menemukan seseorang yang dicarinya tempo hari.
Hingga menjelang suatu subuh, sebuah tepukan di pundak membuatku kembali terkejut.
“Hei, kapan kau datang?”
Laki-laki itu tak menjawab. Justru ia balik bertanya, “Bagaimana kondisi ibumu?”
Aku hanya menggeleng. Kembali ia menepuk-nepuk pundakku.
“Ikutlah denganku.”
Tiba-tiba laki-laki itu berdiri. Serta-merta aku mengikutinya. Kembali kulihat keanehan; ia membuka pagar besi pemisah lorong rumah sakit dengan ruang pasien, tanpa merasa takut kepergok petugas. Dengan langkah tenang, ia terus berjalan memasuki ruang demi ruang. Lalu berhenti di depan sosok perempuan yang sedang tertidur pulas. Perempuan yang sangat kukenal.
“Apa yang sedang kaulakukan?” tanyaku, ketika kulihat ia memegangi kening ibu.
Laki-laki itu hanya tersenyum.
“Mendekatlah. Akan kuceritakan kepadamu, bagaimana Izroil bertamu ke rumah Nabi pada suatu tengah malam.”
Seketika gemetar sekujur tubuhku. Tak kalah bergetar pula hatiku manakala laki-laki itu kembali berucap, “Ciumlah kaki ibumu, sebelum aku menyembuhkan sakitnya.”
Dengan air mata membanjir, aku mencium tiada henti kaki yang beraroma wangi seperti dibasuh kembang tujuh rupa.
“Apakah aku mencium wangi surga?”
Dalam tangis itu, aku terus mencium kaki ibu. Kaki yang perlahan berubah dingin dan kaku. Aku mulai bisa menemukan kesadaran, apa yang sedang terjadi. Aku tahu siapa laki-laki yang menemaniku di lorong rumah sakit itu. (*)
HERU SANG AMURWABUMI. Pendiri Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk dan Sekolah Menulis Nganjuk
Pipit Ayu Dewi Anggarini
Sangat menginpirasi, alur ceritanya.