Angin dingin/Meniup mencekam/Di bulan Desember/Air hujan turun deras dan kejam/Hati berdebar/Kuteringat bayang dan impian
Di malam itu/Malam yang kelabu/Kau ucapkan kata s’lamat tinggal sayang/Bulan madu yang engkau janjikan/Semakin melayang/Lenyap hilang ditelan air hujan/Engkau tak datang
Bulan ini Desember kedua/Aku menanti/Dua tahun sudah/Kusabar menanti/Ku dilanda sepi/Angin dingin/Menusuk dihati terasa oh nyeri/Bulan madu./Tinggalah impian tanpa kenyataan.
Sinar cinta seterang rembulan/Kini pudar sudah/Desember kelabu s’lalu menghantui/Setiap mimpiku/Bulan madu yang engkau janjikan/Semakin melayang/Lenyap…
SAYUP-SAYUP tembang sendu milik Yuni Shara mengalun, menyayat hati. Ah, Desemberku, Desember kelabu.
***
“Bang…,” rajukku.
“Hmmm…,” matanya masih fokus pada gawai di tangannya.
“Jangan ham hem ham hem!” nada bicaraku naik satu oktaf. ’
“Iya… Ada apa, Dek?” matanya masih fokus, belum teralihkan.
“Bang…!” aku mulai naik pitam.
“Sudah mau ngomong, nih? Setelah diam seminggu, nih?” suamiku mengalihkan pandangannya dari gawai dan memperhatikanku.
“Ini diapakan?” Aku menunjuk pada tumpukan baju-baju lucu, yang sudah kumasukkan ke dalam tas kresek bening. Sedih melihatnya.
“Diapakan enaknya?” tanyanya menggoda.
“Kamar juga sudah kadhung dicat pink. Bagaimana?” tanyaku memelas.
“Sini, tak pakai sendiri saja.”
Kucubit pinggangnya dan kami pun terbahak bersama-sama.
***
Ah, Desember ini, harusnya menjadi Desember yang ceria. Desember ini harusnya kami—Aku dan Abang—sudah menjadi seorang yang istimewa. Tapi keceriaan itu mendadak sirna sejak peristiwa minggu lalu.
Bang Ara—suamiku—yang cuek itu, berusaha mengembalikan keceriaanku dengan berbagai cara.
“Ayo ke rumah makan padang kesukaanmu, Dek!” ajaknya pada selumbari.
Aku tertegun. Aku sangat faham, dia tak suka makan makanan bersantan. Karena masih gondok dan tidak nafsu makan, aku menolak mentah-mentah ajakannya.
Tak patah arang, Bang Ara yang biasanya malas pergi ke toko baju, karena menganggapku ribet dan lama, tiba-tiba pada selumbari sore mengajakku pergi ke department store besar di kota kami. Ajakannya itu sebenarnya menggiurkan, jika saja aku tidak dirundung kesedihan. Tapi aku menggeleng, menolak lagi.
Tak putus asa, Bang Ara mengajakku pergi ke alun-alun kota pada malam harinya. Padahal dia sendiri enggan berada di keramaian dan kebisingan. Lagi-lagi ajakan itu mengalami penolakan yang sama. Akhirnya dia menyerah dan memberi ruang padaku untuk berdiam diri, uzlah, untuk banyak menafakuri takdir Tuhan. Takdir berupa kesedihan duniawi yang datang tanpa permisi.
***
[Assalamu’alaikum]
Sebuah pesan WhatsApp dari Mbak Dina, seorang pekerja sosial yang sudah lama kukenal, di awal Oktober lalu.
[Waalaikum salam]
Tumben sekali Mbak Dina menghubungiku.
[Bu Fitri apa kabar? Bisa saya telepon, Bu?]
Sepertinya ada sesuatu yang penting, yang ingin dia sampaikan.
[Alhamdulillah. Sehat wal afiat. Mangga Mbak. Saya sedang luang, ndak sibuk]
Jawaban pesan kukirim ke Mbak Dina.
Selang lima menit, dering nada di gawai berbunyi. Ada nama Mbak Dina. Segera kugeser logo warna hijau bergambar telepon. Dari seberang, dia mengucap salam. Kami saling bertanya kabar dan saling bercerita kesibukan yang kami lakukan selama pandemic Covid-19 ini.
“Sekolah anak-anak masih daring, Mbak. Gurunya saja ini yang masuk.” Jelasku.
“Sama, Bu. Saya juga masuk kantor. Awal-awal dulu Work from Home. Kalau kerja di rumah lebih aman dan asik ya, Bu. Bisa pakai daster. Hehe,” Mbak Dina terkekeh.
Ah, dia masih ramah, seperti biasanya.
“Oh ya, Bu Fitri masih punya niat mengadopsi anak?” pertanyaan yang sudah kuduga sebelumnya, tapi tetap mendebarkan. Jantungku berdegup kencang.
Apakah keinginan untuk mengadopsi anak masih ada? Aku bertanya pada diriku sendiri.
“Iya, Mbak. Masih.” Aku ragu, tapi kuiyakan tawarannya. Sedikit ragu, sebab beberapa kali rencana kami untuk mengadopsi mengalami kegagalan. Tapi mencoba meyakinkan diri, siapa tahu kali ini aku dan bayi itu berjodoh.
“Kalau begitu, Bu Fitri besok datang ke kantor Dinas Sosial. Saya tunggu jam 1 siang ya, Bu. Assalamualikum.” Mbak Dina menutup percakapan kami.
“Siap Mbak, waalikum salam.” pungkasku juga.
Niat untuk mengadopsi, bukan muncul begitu saja. Niat itu ada, setelah diskusi panjang tentang berbagai visi misi rumah tangga bersama suami. Usia sebelas tahun pernikahan, bukanlah usia yang muda, cukup matang untuk sebuah pernikahan. Kami masih berdua saja, padahal kami semakin menua. Uban sudah mengakrabi kepala kami berdua, persendian kami juga sudah sering nyeri dan linu. Sebelas tahun ini, belum ada permata hati yang dititipkan Allah pada kami.
Keluarga yang bernasib seperti kami pasti tahu rasanya. Ikhtiar lahir sudah kami jalani. Ikhtiar medis hingga non medis. Minum berbagai obat penyubur. Minum jamu dan obat herbal. Pijit tradisional ke orang pintar, bahkan melakukan operasi pengangkatan myoma dan endometriosis pun sudah.
Telinga kanan dan kiri yang awalnya mudah panas, kini sudah mulai kebal menghadapi puluhan pertanyaan.
“Kok belum punya anak?”
“Sudah ke dokter?”
“Kok awet banget masih berdua?”
“Siapa yang sakit?”
“Siapa nih yang mandul?”
“Apa Mbaknya ini kena karma?”
Ah, bukan puluhan, mungkin sudah ratusan pertanyaan seperti itu menyapa kami.
***
Aku memenuhi janjiku pada Mbk Dina. Keesokan harinya, sepulang kerja aku datang ke kantor Dinas Sosial. Motorku melaju pelan di teriknya siang kota kami. Sepanjang perjalanan, kurapal doa-doa penetap iman dan penguat hati yang pernah kupelajari di pesantren. Bismillaah. Laa haula wa laa quwwata illa billaah.
Aku sampai di kantor tempat kerja Mbak Dina. Dalam ruangan seluas empat kali empat meter, Mbak Dina mempertemukanku dengan seorang wanita. Wajahnya kuyu, wanita bergamis itu menunduk saja. Perawakannya kurus, perutnya buncit. Sepertinya usianya lebih muda dariku, sekitar dua puluhan.
Kami duduk bersebalahan. Wanita itu memperkenalkan namanya, lalu dari mulutnya keluar cerita tentang kehamilannya. Kehamilan ini bencana baginya, tidak direncanakan dan tanpa melalui proses pernikahan. Astagfirullah. Kehamilan itu akibat hubungan terlarang, yang katanya dilakukan atas dasar rasa suka sama suka dengan tetangganya, seorang duda bermulut buaya. Si duda itu berjanji menikahinya. Tapi nyatanya tidak ada tanggung jawab hingga usia kehamilan mencapai tujuh bulan.
Wanita itu tidak punya pilihan, selain menyerahkan calon jabang bayinya kepada orang yang rela mengasuhnya. Nampak benar ada amarah dan kesedihan pada raut wajahnya. Mbak Dina memperkenalkanku pada wanita itu, sebagai calon orang tua asuh untuk anaknya kelak.
Aku iri padanya, betapa mudahnya wanita itu bisa hamil. Ah, Tuhan memang Maha Asyik. Jika dia berkehendak, yang seharusnya terjadi akan terjadi, tak bisa ditawar.
“Kalau begitu, apa yang bisa saya bantu, Mbak?” tanyaku setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari wanita itu.
“Bu Fitri nanti bantu-bantu kebutuhan calon bayi nggih? Kebutuhan vitamin, biaya periksa USG dan periksa ke dokter. Bu Fitri juga bisa bantu lainnya,” Mbak Dina membantu menjelaskan.
Aku mengangguk-angguk paham, sambil menimbang-nimbang langkah yang bisa diambil.
“Insya Allah, Mbak. Oya, tolong tinggalkan nomor HP jenengan. Biar kita bisa terhubung langsung, tanpa melalui Mbak Dina,” pungkasku.
Keputusan untuk menjadi orang tua asuh, bukan keputusan yang mudah. Ini bukan hanya tentang kemampuan kami secara finansial. Tapi juga mental dan spiritual. Sempat muncul rasa khawatir, bagaimanakah kami akan mendidik anak itu kelak? Dia manusia murni yang hasil hubungan di luar pernikahan. Akhlaknya kelak akan seperti apa? Tapi suamiku meyakinkan, bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, orang tua (pengasuhnya) yang akan memberinya warna. Hadis Nabi pun menceritakan demikian. Maka, selepas sembahyang, kami selalu menyelipkan harapan keselamatan, kesehatan dan kebaikan bagi sang jabang bayi dan ibunya.
***
November, satu bulan menjelang kelahiran si jabang bayi. Kami bersiap. Beberapa perlengkapan bayi kami beli. Kususun perencanaan keuanganku. Ibuku yang ada di luar kota pun kuhubungi, agar sudi kiranya membantu merawat anak asuh kami nanti, selama 40 hari pertama setelah kelahirannya. Tetanggaku yang terampil memandikan bayi, juga kumintai tolong. Aku sama sekali tak punya keahlian untuk itu.
Dokumen pengasuhan anak yang berpuluh-puluh lembar kupelajari pelan-pelan. Puluhan form kuisi saat senggang. Ada surat pernyataan calon orang tua asuh (COTA) di kertas bermaterai, yang menyatakan bahwa pengangkatan anak demi kepentingan terbaik bagi anak. Ada surat pernyataan COTA akan memperlakukan anak angkat dan anak kandung tanpa diskriminasi, di atas kertas bermaterai. Ada surat pernyataan bahwa COTA akan memberitahukan kepada anak angkatnya, mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya saat si anak dirasa sudah siap. Ada surat pernyataan, bahwa COTA tidak berhak menjadi wali nikah bagi anak angkat perempuan dan memberi kuasa kepada wali hakim. Ada pula surat pernyataan bahwa COTA akan memberikan hibah sebagian hartanya bagi anak angkatnya. Serta puluhan surat lain.
Suami membantuku menyiapkan berkas. Sesekali kami membahas, nama apakah yang akan kami sematkan pada jabang bayi nanti.
“Aku ingin ada nama Farhana untuk anak asuh kita nanti, Bang. Farhana, artinya kebahagiaan. Aku ingin kehadirannya menjadi kebahagiaan bagi kita semua. Bagi ibu kandungnya, ataupun kita,” jelasku pada suamiku.
“Hmm, boleh,” jawabnya singkat.
“Kalau Abang, ingin nama apa untuk anak kita nanti?” Aku penasaran.
“Terserah Adek saja.” Dia memang pelit bicara.
***
69 hari rongga dada kami dipenuhi kebahagiaan, menyandang status sebagai calon orang tua asuh. Kami bahagia memikirkan rencana kami dalam pengasuhannya. Kami bahagia membayangkan hari-hari kami yang sepi akan diwarnai dengan tangisan bayi. Kami bahagia membayangkan menggendong Farhana kecil kami. Memikirkannya, sudah membuat kami bahagia. Aku dan suamiku, kami bahagia.
Namun kebahagiaan selama 69 hari itu seketika menguap, lenyap, sirna entah ke mana. Tiba-tiba ayah biologis si jabang bayi muncul tepat satu hari sebelum kelahirannya. Dia menolak menyerahkan calon bayinya pada kami, yang dianggapnya orang lain. Ibarat untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, segala hal yang kami sudah kami siapkan menjadi sia-sia.
Kakak dari Ayah si jabang bayi menghubungiku melalui sambungan telepon. Dia meminta maaf, mewakili keluarga besarnya. Dia juga mengucap terima kasih karena sudah membiayai beberapa kebutuhan calon keponakannya selama dalam kandungan. Hatiku mencelos. Oksigen di dada terasa menipis, sesak. Aku mematung, diam dan tak bisa berkata apa-apa. Kuseka air mata yang tak tahu diri ini. Kerudungku basah.
“Kita bisa tetap berhubungan baik kok, Bu. Seperti keluarga. Harap maklum. Adek saya masih muda. Akalnya pendek. Belum bisa bernalar. Tadi sebenarnya saya minta dia yang telepon, tapi dia menolak. Malu katanya. Sekali lagi, saya mewakili keluarga mohon maaf yang sebesar-besarnya dan matur nuwun sanget, nggih.” pungkas pemilik suara dari sambungan telepon.
“Iya, sama-sama,” hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku.
Aku tersedu di pundak suamiku, meratapi kemalangan kami berdua. Ingin marah, tapi kepada siapa? Untuk ke sekian kalinya, aku dan seorang calon bayi tidak berjodoh, tidak ditakdirkan bersama. Suamiku mengelus pundakku pelan.
“Tidak apa-apa,” katanya menenangkan.
“Segala sesuatu sejak awal terciptanya Qalam sampai tiba hari Qiyamat telah tertulis di Lauhul Mahfudz. Tidak apa-apa,” katanya lagi. (*)
MIFTAKHUL FITRIYAH. Guru SDN Balongbesuk, Kecamatan Diwek. Kabupaten Jombang. Pegiat Literasi di Perpustakaan Mastrip Jombang
Leave a Reply