Cerpen Julia Hartini (Republika, 14 Januari 2018)

Kalam Ilahi di Balik Jeruji Besi ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Aku masih bertelut di hadapannya. Mencium setiap sudut kulit kakinya yang renta sambil menyatakan permohonan maaf berkali-kali. Aku tak ingin beranjak. Namun, seseorang menarik tubuhku kuat-kuat hingga aku terpaksa bangkit. Satu pukulan menghantam tengukku dengan cukup keras. Disusul amarah yang mendengung seisi kepala.
Mataku berkunang-kunang. Aku masih menangis. Disusul dengan isakan ibu dan makian Mas Har. Aku tertunduk karena tak berani melihat kedalaman mata ibu. Ada muara yang tak bisa kuseberangi. Luka yang ibu rasakan bisa membuatku gila selama menempuh masa hukuman ini. Kedukaan ini adalah milik kami. Sampai waktu yang tak bisa ditentukan penyesalan ini akan berkelindan seumur hidup.
“Kau tak pantas mencium kaki ibu,” suara Mas Har menggema sehingga menciutkan nyaliku untuk memeluk ibu.
“Aku khilaf. Aku berdosa. Maafkan aku,” lirih aku berkata.
“Seharusnya, kau bersyukur masih hidup. Jika bapak masih ada, beliau tak segan mengulitimu hingga kau mampus,” Mas Har mencengkeram pundakku dengan segenap tenaganya.
“Ampun-ampun, Mas,” aku terus memohon. Namun, tak ada rasa iba bagi seorang penjahat. Sebab, sejatinya, pelaku tindak kriminal harus dibumihanguskan dari muka bumi ini.
Tak ada jawaban kecuali sebuah tendangan Mas Har yang melayang ke arah perut. Aku bisa menahannya, tetapi tak sanggup melihat kesedihan ibu yang begitu dalam. Tak ada kata yang ibu sampaikan meski sebuah amarah seperti yang Mas Har lakukan. Dalam diam itu, ada ketakutan bagi nasib masa depanku. Aku adalah pemuda umur 25 tahun yang tak memiliki apa-apa lagi. Tidak harapan, tidak pula harga diri.
Masa depan adalah labirin yang akan akan kujangkau dengan kegelapan. Tak ada sesiapa. Buktinya, Mas Har dan ibu tak memberi maafnya. Jika aku tak diterima di keluarga sendiri, bagaimana lingkungan yang lain bisa menganggap kehadiranku kelak? Mas Har menyatakan, jika masih ada, tentu bapak akan membunuhku sebelum waktu yang akan menggerus usiaku di sel.
Ibu tak pernah mengeluarkan suara sejak teriakan malam itu saat polisi memborgol dan menyeretku dari rumah ke mobil tahanan. Beliau masih shock karena tak percaya anaknya adalah seorang pemakai sabu-sabu. Malam itu, ibu masih berada di sebelahku hingga akhirnya jatuh di pelukan Mas Har.
Setelah pertemuan itu, aku berjalan malas ke sel tahanan. Ibu dan Mas Har pergi dan tak berjanji mengunjungiku kapan lagi. Mungkin bulan depan, mungkin juga tidak akan pernah. Kendati demikian, harapan kemunculan mereka selalu kupupuk. Mereka datang memang tak pernah membawa apa-apa. Mas Har menuturkan bahwa dirinya yang melarang ibu memasak untukku.
Melihat rekan senasib yang juga tak memiliki masa depan, yang kami bicarakan adalah penyesalan-penyesalan yang akut. Sesekali mereka curhat soal kerinduan akan anak dan istri. Termasuk aku yang selalu menunggu senyum dan maaf ibu. Kami bernostalgia dengan masa lalu. Tawa dan kemalangan menjadi bagian dari cerita nahas kami berada di balik jeruji besi.
“Tak pantas kita membicarakan masa depan,” tutur Mas Nar, seorang residivis narkoba. Dia dituntut hukuman berkali-kali lipat karena mengulangi kesalahannya.
“Masa depan biarkan menjadi rahasia. Bukankah masa depan seperti kematian yang gelap untuk kita?” Mas Fai menimpali.
“Janganlah begitu. Kita ini tetap manusia. Tak dosa kan jika memiliki harapan. Siapa yang tak mau hidup senang di luar sana,” Mas Dim berusaha tegar.
Aku menelan ludah yang terasa sangat pahit. Sambil membersihkan toilet dan mencabuti rumput pekarangan, aku tak kuasa menahan tangis yang sejak tadi ingin ambrol. Sejak penangkapan itu, aku memang lebih melankolis. Siapa yang tak termenung jika ingat kesalahan yang sulit dimaafkan ini.
Mungkin aku lebih beruntung daripada mereka, Mas Fai, Mas Dim, dan Mas Nar. Meskipun, sebenarnya, tak ada kata beruntung bagi penjahat seperti kami. Pertama, hukuman masa tahananku lebih pendek daripada mereka. Kedua, Aku tak harus digugat cerai oleh istri karena memang belum menikah. Ketiga, aku masih pernah dijenguk Mas Har dan ibu meski dengan siksaan berupa pukulan atau hinaan, sedangkan Mas Dim tak pernah dikunjungi sesiapa.
Mas Dim pernah bercerita bahwa dirinya adalah manusia bebas. Dia tak punya keluarga. Teman yang bisa dipercaya pun tak ada. Karena itu, selama ini, dia pindah dari kota satu ke lainnya sebagai pengedar narkoba.
Sudah cukup lama, Mas Dim kucing-kucingan dengan petugas kepolisian. Saat ada penggerebekan kontrakan yang ditinggalinya, Mas Dim sudah pindah tempat. Tak ada jejak yang ditinggalkan. Sebab, Mas Dim memang tak memiliki apa-apa kecuali baju yang melekat di tubuhnya. Setelah satu baju yang dipunya dirasa bosan, dia akan memberikannya kepada pengemis, lalu membeli lagi yang baru.
Mas Dim adalah pengedar kawakan. Mainannya tak hanya satuan gram, tetapi kilogram. Karena itu, dia divonis hukuman seumur hidup. Namun, sebebas-bebasnya manusia, tetap akan terjerat aturan. Mas Dim akhirnya ditangkap saat akan mengirim paket 1 kilogram sabu-sabu di tempat tak bertuan. Satu anak peluru menepi di betis kirinya. Mas Dim dilumpuhkan. Dia memang sudah masuk daftar pencarian orang (DPO). Sebagian besar pemakai pernah menyatakan namanya dalam BAP.
“Gih, jangan kau menangis lagi. Kalau kau sudah menjalani masa hukuman 6 bulan, kau akan mendapat remisi 15 hari. Asal kau berkelakuan baik,” teriak Mas Dim.
“Sabarlah, lima tahun akan segera berlalu. Kalau kau sudah bebas, jenguklah aku sesekali. Aku ingin merasakan bagaimana senangnya didatangi seseorang,” katanya meminta.
Aku memberikan anggukan kecil. Mas Dim adalah lelaki bertubuh gempal, berkulit sawo matang. Sudah sepuluh tahun dia mendekam di balik jeruji besi. Ada puluhan tahun lagi yang siap dihadapinya di tempat ini. Aku pernah bertanya kepadanya, apakah ada rasa bosan yang menghinggapi. Dia menyatakan tidak.
***
“Fa-ammaa-insaanu idzaa mabtalaahu rabbuhu fa-akramahu wana’aamahu fayaquulu rabbii akraman,” lantunan itu masuk ke gendang telingaku yang sedang tertidur pulas.
Setelah sebulan berada di hotel prodeo ini, ada seseorang yang mengaji saat subuh. Aku mengintip setelah mengendap-endap berjalan. Lantunan itu memberhentikan segala kesah yang terus membayangi. Suara itu mengingatkanku pada almarhum bapak. Sebelum beliau meninggal, aku sering mendengar lantunan ayat suci tersebut. Kini, aku sungguh menyesal karena selalu menolak saat bapak akan membawaku ke masjid atau mengajariku cara membaca ayat-ayat suci Sang Khalik.
“Gih, mari masuk,” suara itu yang kukenal sebelumnya memberhentikan ingatanku tentang bapak.
“Ngapain ngintip-ngintip. Sini ikut,” Mas Dim meraih tanganku dan memberikan sarung serta peci. Aku berjalan bingung. Bagaimana bisa di tempat lapas ini ada perkumpulan orang-orang yang belajar agama. Aku seperti tersentil dengan kejadian ini. Saat menginjak lantai ruangan ini, udara sejuk masuk dan mengahampiri aorta tubuh.
Wajah-wajah yang kukenali selama di penjara tersenyum. Mereka menyambutku. Selalu ada pintu pertobatan untuk manusia berdosa seperti kami, perkataan itu pernah dilontarkan ketua majelis hakim setelah membacakan hukuman vonis di persidanganku beberapa waktu lalu.
“Kau bisa membaca Alquran?” tanya Mas Dim.
“Belum,” malu-malu aku menjawab.
“Iqra?”
“Sedikit,” kataku ragu.
“Kukira kau fasih membaca Alquran. Pesantren di lapas ini didirikan dan sudah mendapat restu kementerian agama,” Mas Dim menjelaskan secara garis besar, lalu mengajakku untuk bergabung.
“Kami di sini akan sama-sama belajar. Tapi, ingat, dalam satu bulan kau harus sudah bisa menghafal satu ayat di luar kepala dan salat lima waktu jangan sampai ketinggalan. Jangan main-main dengan aturan di pesantren ini,” ucapnya panjang lebar. Aku mengangguk tanda mengerti.
Aku belum percaya bahwa Mas Dim adalah salah seorang guru mengaji di lapas tersebut. Mas Dim menceritakan, dulu saat hendak bunuh diri di penjara, dirinya melihat teman lainnya sembahyang pukul 02.00. Sejak itu, dia kembali mengenal agama setelah berbelas tahun tak percaya tentang kehidupan selain dunia yang ditempatinya.
Mas Dim berusaha menata hidup di penjara. Memperbaiki segala hal yang kedengarannya seperti sudah telat dilaksanakan.
“Aku melakukan aktivitas sambil terus bergumam satu demi satu ayat sepanjang hari selama masa penahananku,” ungkapnya.
“Ada yang meragukan Mas Dim bisa berubah?”
“Seisi dunia mungkin berkata begitu, tapi Tuhanku tak pernah meragukan kesungguhanku.”
Ruang semesta, Januari 2018
JULIA HARTINI lahir di Bandung, 19 Juli 1992. Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Pernah berkegiatan di Arena Studi Apresiasi Sastra UPI dan Unit Pers Mahasiswa ISOLAPOS UPI. Tulisannya mendarat di media cetak maupun online. Selain itu, tulisan-tulisannya tergabung dalam beberapa antologi bersama, baik yang diterbitkan dewan kesenian kota/kabupaten maupun komunitas. Saat ini mengelola blog pribadinya di www.akujulia.tumblr.com agar karya yang lahir bisa diapresiasi pembaca.
Leave a Reply