Puisi-puisi Kurliyadi (Media Indonesia, 14 Januari 2018)
Belenggu
bisakah air mata ini pulang ke matamu
sedang hari berlari ingin bertamu
menemuiku sehabis hujan mengguyur deras
membalas musim sebelum berkemas
tidak usah kau belenggu aku di matamu
bicaralah walau sekata kau mampu
aku ingin kita bersepeda menemukan puisi
sebelum kau pergi dengan kalung belati
aku ingin kita kembali pulang
ke timur adalah tujuan perang
dengan hidup yang mulai gersang
oleh bara puisi yang terus terbuang
jangan katakan ini adalah rayuan
sebab aku bukan penyair yang cemburuan
jika salah aku ingin dimaafkan
mari pulang ke pangkuan doa impian
2015
Gadis Pantai
: parangtritis
rambut merah kehitaman seperti kopi bercahaya
bagai rembulan di malam sunyi, diurai angin, wangi
rempah dan amis gelombang
panjang mendepai waktu yang kesulitan pulang
keningnya bening tanpa rindu, aku melihat peta
juga sarang doa ditanamnya sampai bergetah
matanya manja memanggil syahwat para lelaki di
tanduk kesepian
tajam menusuk siapa saja yang ingin datang
membayar upah setelah persetujuan lalu terpuaskan
hidung mangirnya mengeja senja menjadi rumus
musim
tindikan seperti artis india
tangannya melambai aduhai
telinga mungil giwangnya bercahaya sampai ke dalam
samudra
ia tersenyum menginapkan apa saja di dalam hati
meski bukan halal tapi inilah hidup dalam
perlawanan mati
bibirnya wangi anggur dan bir mahal
hanya saja aku tak boleh berfi kir
bahwa manisnya sudah terbuang dan anyir rasanya
sisa dari nama-nama yang hanya menitipkan syahwat
dari buah kehinaan perjalanan sang musafi r
2015
Bunga Desa
mariyem
wajahmu mentari dari timur bercahaya
keranjang kecil di pinggang, berlari menuju ampuan
jua
bayanganmu beribadah di hulu perihal alam
sampir dan kudung meliliti tubuhmu warna geligir
pagi
menahan terpaan angin dan serpihan ombak ke batubatu
bertahanlah di kampung ini dengan segala yang bau
dapur dan ladang tanah
emak adalah kapur sirih di titipkan tuhan untuk
dijaga
walau renta, uban telah sempurna tumbuh bersandar
sebab tanda
bahwa wanita sepertimu tetap akan menunduk :
mengekalkan sabar di qiblat ketabahan
suhana
perkenalkan dirimu kepada dunia
darah dan anakmu sebagai pulangnya usia
suamimu pergi melaut terus pergi tak ingin pulang
sebab katanya dia lelaki sudah ingin disebut pejuang
harga mati bagi warisan nenek moyang berkalung
karang
suatu saat, di mana doa dan usaha ujung air mata
paling tajam
untuk sebuah niat menjadi seorang perempuan
yang terus ingin terbang walau kulit dan wajah sudah
kehitaman
bekas ciuman matahari dan debu yang menderi di
sepanjang perjalanan
2016
Doa Hamba Sahaya
jika bukan karena cinta dan hidup
aku sudah redup tak degup
dalam kebisingan qunut umur
yang terus berlanjut ke bilik uzur
mengatakan pada pintu doa
lebih i’tizal dari bisa air mata
menanam nama-Mu sambil terpejam
hanya bayang harapan beradu karam
lihat tubuhku, hanya rindu berkarat
menunggu tahiyat cinta bermunajat
menghitung cara untuk lebih dekat
pada-Mu yang mahazat
perancang warna nasib sebagai pengingat
padaku padamu yang terus bermukim di maksiat
karena aku adalah tanah belum gembur
ditanami godaan yang menjamur
khilaf waktu ibadah sering terkubur
sibuk berhias di cermin dunia yang kufur
maka jalan tempat kembali
hanya bersujud pada ilahi
merancang harapan doa kembali
kepada hidup telah tersesali
tidak lagi mengulang yang lalu, lali
padahal maut berdiri di dada sebelah kiri
tak terbaca kapan tiba menghampiri
sebagai akhir kembali ditimbangi
berat amal baik buruk terkecuali
di pintu mana aku masuk surga neraka air api
sebab aku hanya bisa menangisi
bagaimana anak cucu nasibnya kemudian hari
lahir kembali pecah abadi, 2016
Photograph
bertanya pada siapa angin akan menemukan kita
gambar mata jaman terlihat di sudut ruang tubuhku
semakin dekat dan tajam
aku melupa akan cinta dan hakikat pada muasal siapa
ia akan kembali sebagai kisah dari bara doa
cinta pernah mengajarkan aku jalan pulang
ke taman hati
di mana taman itu penuh bunga juga sesuap
keabadian janji
kita adalah penunggu dari tetes rindu yang bercahaya
menyandarkan ruang pasti
sejak perjumpaan itu aku kembali meneruskan mimpi
di lubang pandanganmu, jiwa dan napas semakin
dingin
membaca cuaca dan mencari selimut sebagai
kepulangan tiada henti
2016
Urang Kenekes
hanya di gunung kendeng suara hari bau musim
di lebak dekat akar sungai cibaduy
pertemuan aliran Barat ke Timur
tarekat batin dijemur atas warna semesta
sebab kepercayaan telah ada sejak matahari ada
abad 15 hanya pada lelembut, roh halus dan segalagalanya
bermula
di dekat mata air sungai ciujung cisemet keramatmu
nama arca domas
setahun di bulan kelima ada pemberangkatan
ada batu lumping sebab petunjuk panen gagal atau
meruah
mendaki bukit entah atas pilihan siapa
hanya permulaan, pandangan jauh menulis umpama
kepada giring pu’un segala hal terima kasih
entah di bagian urang kejereoan dan penamping
kesepakatan tanah keramat jika sudah melebihi batas
di sini tidak ada mesin otak dan sorot lampu, gemulai
malam hari
dan ramai para penukar janji dan pastinya
kemerderkaan
tak ada suara klakson kemacetan atau banjir kematian
hidup
hujan merupakan ruwah untuk hewan dan tumbuhan
“gunung ulah dilebur, lebak ulah dirusak”
betapa indahnya alam ini, wangi hingga aceh dan
tembuni sejarah
hanya buyut sebagai batas kita melangkah
taat Tuhan, tanah dan yang ada tetap terjaga usianya
hingga sabda itu datang memulai matahari dari timur
ke senja :
gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang diruksa
lojor teu meunang dipotong
pendek teu meunang disambung
hanya di gunung kendeng suara hari bau musim
anak masa depan akan datang sebagai tuan di rumah
tuhanmu sendiri
2016
* suatu kalimat kokolot Baduy, Jaro Dainah
* dalam bahasa Indonesia berarti tabu atau larangan
Kurliyadi lahir di kepulauan Giligenting Sumenep Madura, salah satu alumnus Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar Pangarangan Sumenep. Antologi bersamanya, antara lain Nyanyian Langit (Ababil 2006), Indonesia Dalam Titik 13 ( Lintas Penyair Indonesia, 2013), Jejak Sajak di Mahakam (art. lanjong foundation, 2013), Goresan-Goresan Indah Makna Kasih Ayah Bunda (2014), Dalam Remang Kumengejar Mimpi (KOMCIBA, Pena House 2015), Sajak Puncak (Forum Sastra Bekasi 2015), Dri NegriPoci 6 (Radja Ketjil 2015).
Leave a Reply