Cerpen Aliurridha (Koran Tempo, 02-03 Januari 2021)
AKU berharap malam ini tidak akan ada pasien gawat darurat agar aku dapat beristirahat. Jam piketku belum lama berjalan, tapi mata ini sudah terasa berat. Menyesal aku maraton nonton drama Korea. Niatnya mau nonton satu atau dua episode, tapi malah keterusan. Belum sempat harapan itu kututup dengan doa, terdengar bunyi sirene ambulans. Sepertinya malam yang tenang adalah sesuatu yang terlalu mahal di kota ini.
“Gregory Andre, usia 30 tahun!” kudengar teriakan petugas begitu sirene ambulans berhenti bernyanyi. Kulihat dua petugas ambulans setengah berlari mendorong ranjang dengan seorang pria terbaring lemah di sana. Pria itu dalam keadaan antara sadar dan tidak. Seorang wanita cantik yang mengiringinya terlihat begitu panik. Aku segera berlari mendekat, menanyakan keadaannya kepada petugas ambulans.
“Tiba-tiba tangan dan kakinya kehilangan tenaga,” ujar petugas.
“Tubuh bagian kanan tak bisa digerakkan. Mungkin stroke,” kata petugas yang satunya.
“Gejalanya?” dr Sarah mengagetkanku. Ia tiba-tiba sudah ada di sebelahku, memintaku menjelaskan kondisi pasien. Aku lalu menjelaskan segala informasi yang kuketahui. Terdengar erangan pria itu. Tampaknya ia masih dalam kesadaran yang cukup untuk menjawab pertanyaan. Dr Sarah berjalan mendekatinya.
“Sejak kapan kamu merasakan gejalanya, Pak?”
“Andre, Dok,” kataku memotong.
“Sekitar 5-6 jam yang lalu dan rasanya semakin parah.” Pria itu menjawab dengan terbata-bata. “Apa yang terjadi denganku, Dok?”
Dr Sarah menjelaskan kalau pria itu mungkin mengalami stroke. Lalu dr Sarah mencari tahu riwayat penyakitnya, profil kehidupan pribadinya, serta apa saja yang ia konsumsi yang memungkinkan kondisinya menjadi seperti ini.
Setelah mendalami riwayat pasien, dibantu oleh wanita yang tadinya kusangka istrinya tapi ternyata adalah kakaknya, kami malah semakin bingung. Pria ini menjalani hidup yang sangat sehat. Dia rutin fitness, nyaris tidak makan makanan yang digoreng, tidak merokok, dan tidak minum alkohol. Melihat penampilan fisiknya, di luar wajahnya yang pucat, ia terlihat sehat. Tubuhnya terlihat atletis di balik kemeja biru langit. Rasanya sangat tidak mungkin orang seperti dia terserang stroke.
“Kamu menggunakan lupron?” tanya dr Sarah kaget.
Lupron, lupron…, rasanya aku pernah mendengarnya. Tapi kok aku tak ingat. Susah sekali mencari dalam kantong ingatanku yang tertumpuk oleh berbagai rutinitas.
“Apa kamu punya kanker prostat?”
Begitu mendengar dr Sarah bertanya, aku segera sadar bahwa Lupron—singkatan dari leuprorelin—adalah sejenis anti-androgen yang digunakan untuk melawan kanker prostat, kanker payudara, endometriosis, dengan mengeblok kerja hormon androgen yang dianggap bisa memicunya. Kerjanya sedikit mirip finestride yang mengeblok kerja hormon DHT (dihydrotestosteron)—turunan dari hormon testosterone—yang dianggap sebagai penyebab kebotakan dan pembengkakkan prostat. Yang pertama dikonsumsi dengan cara disuntik dan yang terakhir dengan cara diminum. Mungkinkah ia salah berpikir lupron sebagai finestride? Tapi pria ini rambutnya begitu lebat seperti hutan Kalimantan sebelum para konglomerat keparat membabatnya untuk memperkaya diri.
“Tidak…. Aku, eh, didiagnosis dengan semacam hyperplasia.” Ia menjawab dengan lebih terbata-bata dibanding sebelumnya.
“Itu mungkin menjadi penyebabnya,” ujar dr Sarah tegas.
***
Begitu sang surya muncul dari peraduannya di ufuk timur, sinar kuning keemasan menyelusup lewat sela dua gedung tinggi di depan rumah sakit sebelum akhirnya tiba di kaca jendela ruanganku beristirahat. Pagi yang jernih telah datang. Udara terasa begitu segar setelah hujan menyapu polusi di kota ini. Sebentar lagi jam piketku akan berakhir. Sebelum pulang, aku ingin mengeceknya, pasien yang datang semalam.
Dia masih tertidur pulas. Dalam lelap tidurnya, aku memandangi struktur wajahnya yang membuat kata kagum tak cukup untuk mendeskripsikan perasaanku. Bentuk kepalanya proporsional, matanya—yang meski kini tertutup—mengingatkanku pada tatapan Nicholas Saputra yang tajam tapi teduh. Hidungnya mancung dan rahangnya kokoh seperti karang. Lalu jambang dan kumis yang tercukur rapi membuat kata tampan bertekuk lutut di hadapannya. Tidakkah kehidupan begitu mudah untuknya? Lantas apa yang membuatnya sampai ingin bertransformasi?
“Anti-androgen tidak digunakan untuk merawat hyperplasia,” ucap dr Sarah kepadaku semalam.
“Jadi dokter pikir dia bohong?”
“Aku tidak tahu pasti. Mungkin saja dia sedang bertransformasi, mengubah jenis kelaminnya?”
Aku terkesiap mendengar penjelasan dr Sarah. Buat apa dia mengubah jenis kelaminnya? Tidakkah dia begitu tampan? Aku sampai terpesona olehnya. Bahkan, dengan kondisinya yang tak berdaya, ia masih tampak gagah. “Padahal dia begitu tampan,” kata-kata itu terlepas begitu saja dari mulutku.
“Apa pun itu, jika ia terus mengkonsumsinya, ia akan terus mengalami gejala seperti ini,” ujar dr Sarah datar. Dr Sarah benar-benar dingin dalam menangani pasien. Tidak ada basa-basi keluar dari mulutnya. Ia bekerja seperti mesin, efektif dan efisien. Apa menjadi dokter yang hebat harus seperti itu?
***
Dua hari aku off setelah lepas piket terakhir. Begitu aku kembali ke rumah sakit, yang pertama kucari adalah Andre. “Ia keluar kemarin,” temanku memberi tahu. Betapa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa ia sudah tak lagi di sana. Kondisi tubuhnya begitu lemah hingga tiada mungkin baginya untuk bisa meninggalkan rumah sakit. Aku heran, kok dr Sarah mengizinkannya keluar. Aku tak mengerti dengan apa yang dipikirkannya. Apa ia sebegitu butanya sampai tidak menyadari bahwa lelaki tak akan mungkin bertahan di luar, di dunia yang begitu keras dan kota yang kejam.
Kemudian, dari temanku itu juga, aku tahu sebuah kenyataan yang mengerikan. Setelah agak dipaksa oleh dr Sarah, akhirnya Andre mengakui bahwa ia tidak mengidap hyperplasia. Ia juga tidak sedang bertransformasi, tapi ia adalah monster. Ada penekanan pada kata “monster” ketika temanku menyebutnya. Monster?
“Iya. Monster. Dia seorang pedofil.”
Aku tidak percaya ketika mendengarnya. Ia terlihat begitu baik dan begitu beradab. Tak mungkin ia sebiadab itu.
“Memang dia tidak pernah melakukannya. Hanya, ia selalu bernafsu ketika melihat anak kecil,” ucap temanku menjelaskan. “Kamu tahu, ia bahkan bernafsu melihat anak kakaknya, keponakannya sendiri yang belum juga 6 tahun. Betapa menjijikkan.” Kulihat wajah temanku memperlihatkan ekspresi seperti akan muntah.
Tapi bukankah Andre tidak pernah melakukannya? Dengan berbagai kesempatan yang mungkin banyak dan mudah, dia memilih tidak melakukannya. Dia bahkan merusak tubuhnya sendiri dengan mengkonsumsi lupron untuk menekan gairah seksualnya. Orang seperti itu bukan monster.
“Kamu tahu, dr Sarah sepertinya akan melaporkannya kepada polisi untuk mencegah kejahatan yang mungkin akan dilakukannya.”
Gila!
“Hei, kamu mau ke mana?”
“Aku akan menemui dr Sarah.”
“Sebaiknya jangan. Kamu boleh berempati kepada siapa pun, tapi tidak kepada predator. Kepada monster? Kamu gila, apa?”
Aku tak menjawab. Menjelaskan kepada mereka yang tidak adil sejak dalam pikiran adalah tindakan sia-sia. Tapi dr Sarah, sedingin apa pun, bukan orang seperti itu. Ia mungkin bukan orang yang bijak, tapi ia penuh pertimbangan. Meski bekerja seperti mesin, ia terikat kode etik. Seharusnya ia tidak melepas seseorang hanya karena justifikasi moral yang belum tentu benar. Apalagi melaporkannya hanya karena orang itu memiliki dorongan nafsu yang mungkin berujung pada tindak kejahatan. Bukankah ada jarak dari kata mungkin yang harus diseberangi untuk terjadinya tindakan. Dan Andre tidak pernah menyeberanginya.
Siapa pun boleh punya hasrat terhadap apa pun. Itu urusan biologis, pemberian yang tak bisa dipilih. Dia lahir seperti itu. Namun, jika ia tidak mengimplementasikannya untuk merusak orang lain, bukannya kita harus mengapresiasinya, membantunya dengan segala daya upaya untuk mengontrol dorongan itu? Setidaknya kita bisa memberikan rujukan ke ahli saraf.
“Hei, dengar dulu!” Temanku memegang tanganku, mencoba menghalangi aku pergi. “Anak dr Sarah pernah menjadi korban predator. Ia dan suaminya selalu bertengkar sejak kejadian itu hingga akhirnya berpisah. Anaknya stres dan kemudian bunuh diri.”
Aku tak menyangka hal seperti itu pernah menimpa dr Sarah. Mungkin itu juga yang membuatnya menjadi seperti sekarang, dingin seperti mesin. Kuurungkan niatku, tapi pikiranku tak bisa lepas dari Andre.
***
Bunyi ambulans membangunkanku dari lamunan. “Gregory Andre, ia kembali,” ujar temanku. Mendengar nama itu, aku segera berlari ke arah ambulans. Begitu tubuh pingsannya diturunkan dari ambulans, aku memperhatikan dengan saksama. Dari atas, kulihat rambutnya dan wajahnya yang begitu pucat seperti tak ada darah mengalir. Turun ke bawah, kulihat tubuhnya yang atletis. Turun ke bawah lagi, kulihat darah begitu banyak di selangkangannya yang tertutup selimut putih yang telah menjadi merah. “Ia mengebiri dirinya,” ujar petugas. Dadaku seperti dipukul palu. Padahal Andre bukan siapa-siapaku, aku bahkan tak mengenalnya, tapi mengapa aku terluka.
Kudengar isak tangis yang begitu menyesakkan telinga dari wanita yang mengantarnya. Kakak Andre. Ia menangis sedemikian rupa. Hatiku teriris mendengar tangisannya. Aku membayangkan sedekat apa hubungan keduanya. Lalu pikiran itu datang. Seandainya wanita ini tahu penderitaan Andre, seandainya ia tahu Andre melakukan ini untuk apa dan untuk siapa, mungkinkah ia juga akan menangis seperti ini?
“Apa yang terjadi?” Lagi-lagi dr Sarah mengagetkanku. Ia telah berdiri di sampingku tanpa kutahu kapan datang. Petugas ambulans kemudian menjelaskan apa yang terjadi. Dan percaya atau tidak, aku melihat senyum tipis di wajah dr Sarah, senyum penuh kemenangan. Mungkin tak ada orang yang melihatnya, tapi aku yakin melihatnya tersenyum. Senyuman itu begitu dingin dan tak berperasaan seperti dunia tempat kita hidup. ***
.
.
Gunungsari, 22-25 Desember
Aliurridha, penulis dan penerjemah lepas. Menulis esai, opini, cerpen, dan cerita horor. Karyanya tersebar di beberapa media. Aktif berkegiatan di komunitas Akarpohon. Tinggal di Gunungsari, Lombok Barat.
.
Monster.
Leave a Reply