Cerpen Maulidan Rahman Siregar (Haluan, 14 Januari 2018)
Hesti akan menikah, dan lelaki itu memilih jadi atheis. Tapi, dia salat juga. Mengaji juga. Berdoa juga. Dia tidak tahu kenapa berdoa, tapi dia selalu berdoa. Doanya baik, Hesti dan siapa pun yang ada di dekatnya harus baik, selalu baik, dan tetap baik. Kadang kalau hujan, dia tidak mau berteduh, begitu yang dia lakukan sebagai bentuk mensyukuri nikmat Tuhan. Tuhan yang mana?
Hesti menikah pada hari baik, bulan baik, dan dengan lelaki yang baik, namanya Ridwan. Sebagai penjaga surga, pasti Hesti suka, pasti orangtuanya mau. Ilmu keagamaan Hesti akan makin mumpuni. Ini penting, sebab, agama sudah muncul di mana-mana. Di tiang listrik, di balik selimut, di kamar mandi, dan di tivi-tivi. Menikahi dan dinikahi Ridwan, adalah cara bernegosiasi dengan Tuhan. Tuhan yang mana?
Tuhan yang ketika kau lari, dia tidak sembunyi. Tuhan yang ketika kau mati, dia tetap ada. Tuhan yang…
“Abang datang, ya. Hesti sudah menyiapkan undangan.”
“Tapi Abang maunya Hesti. Inginnya Hesti. Cintanya Hesti.”
“Bilang sama Tuhan, Abang.”
“Tuhan yang mana?”
“Pokoknya Abang harus datang. Jangan bilang tidak. Hesti tidak mau pacaran kita yang 3 jam itu, termasuk ke dalam golongan pacaran yang sia-sia.”
“Bagaimana kalau, calon imammu, tidak paham ilmu seksologi.”
“Dokter Boy, sudah ada akun youtube-nya, Abang.”
Lelaki yang ingin menikah dengan Hesti banyak. Sebab, di ranah fiksi, Hesti juga banyak. Ada Hesti biduan. Hesti penyair. Hesti presenter. Hesti penyayang hewan. Hesti feminis. Hesti psikolog, dan Hesti apoteker. Agar cerpen ini keren, riset telah dilakukan untuk itu, selama 3 tahun, 9 bulan, 22 hari. Akan tetapi, dan sungguh disayangkan, Hesti yang banyak itu harus kita kesampingkan.
Mari kita menuju pada Hesti yang satu. Hesti yang ketika kau melihat matanya, yang tampak hanya cahaya. Hesti yang ketika kau ingin tahu apa yang ada di balik baju yang dipakainya, matamu mendadak buta. Hesti yang ketika kau ingin menggali kedalaman hatinya, kau harus menggali 7 lautan, 7 sungai, dan mencari 7 mata air di kaki gunung.
Ke mana kau akan lari? Kalau memang benar Tuhan tak ada. Ke mana kau akan sembunyi, kalau Tuhan sudah mati?
***
Lelaki itu sudah tidak lagi jadi atheis, dia mulai rajin ibadah, dan menabung ke tanah suci. Tanah impian. Memang sudah menjadi fakta umum pula, kalau kadang Tuhan tidak ada di tengah-tengah kita. Lalu, Tuhan datang lagi. Bisa lewat ilham, bisa lewat orang. Orang lewat tentu ada di mana-mana.
Lelaki itu sudah tidak mencintai Hesti sekaligus mencintai Hesti, tepat setelah Hesti menikah. Dan Hesti menikah pun sebetulnya tidak jadi masalah. Lelaki itu sudah melupakan Hesti yang satu, Hesti yang ketika melihat matanya, yang terlihat hanya cahaya itu, dan lelaki itu bertemu secara tidak sengaja dengan Hesti baru pada konser band indie yang sesungguhnya tidak tepat dijadikan tempat konser. Mereka bertemu di Gedung Olahraga.
Mengapa setiap perempuan yang ditemuinya selalu bernama Hesti, lelaki itu tidak tahu. Tapi, di situlah lelaki itu mulai merasa, Tuhan tidak tidur. Tuhan memang ada. Tuhan tidak tidur ketika hamba-Nya begadang.
Kadang, ketika tidak bisa begadang, lelaki itu salat malam. Dan di sana dia bertemu dengan Tuhan untuk pertama kalinya.
***
“Abang, masih ingat Hesti?”
“Maaf, ini siapa? Anda salah sambung.”
“Ridwan sedang tidak di rumah, Abang.”
“Setengah jam lagi aku datang.”
Pintu tidak dikunci. Tidak bisa tidak, lelaki itu masuk, dan mendapati Hesti dan meja makan yang sudah ramai dengan makanan. Lengkap. Dendeng, randang, ayam bakar, ikan bakar, kerupuk mama. Hesti menutup buku Sapardi yang dibacanya, dan agak sedikit sebal. Ada orang masuk, tapi tidak ada salam.
“Ridwan sedang di luar kota, Abang. Lihat perutku, Abang. Agak gembung. Mungkin masuk angin”
“Kau mengandung?”
“Badanku pegal semua. Sudah lama tidak diurut. Piring-piring belum kucuci semua. Tapi aku masih bisa masak. Aku tentu harus makan, kan? Kalau tidak, nanti meninggal.”
“Tenang, Hesti. Aku lama di asrama, dan pengalaman mengajariku menjadi pencuci piring profesional. Silakan masuk ke kamar. Tidurlah. Jangan sibuk kali sama puisi. Tidak baik.”
Ketika ingin menggosok pinggir kuali yang penuh arang, terdengar bunyi katak yang merdu dari handphone pintar lelaki itu. Yang menunggu di ujung suara adalah Hesti juga. Setelah 3 menit berselang, dan bunyi katak saling bersahutan, lelaki itu menjawab panggilan itu.
“Cepatlah pulang. Lekaslah. Abang sekarang di mana? Perutku dari tadi serasa ada yang menendang. Ngilu”
“Kau mengandung? Kita kan belum menikah.”
“Orang lain, Abang. Ada seseorang yang mampu mengisi apa yang tak sanggup kau isi. Kau sih terlalu takut dengan dosa. Padahal, Tuhan sangatlah baik. Nanti tinggal taubat.”
“Tuhanku masih Tuhanmu?”
Sama. Pintu tidak dikunci. Lelaki itu langsung menuju kamar, tempat di mana biasanya mereka bercakap-cakap, sambil mendengarkan lagu-lagu indie. Lelaki itu memahami, kalau setiap manusia pasti memiliki kesalahan, dan Hesti wajar mendapatkan itu. Terlebih ketika di dalam perut, ada yang sedang ditahannya. Ilmu pengetahuan mengajarkan, kalau kemanusiaan adalah sisi yang mulia.
Mungkin karena iseng, petugas keamanan setempat mendapati sepasang muda-mudi sedang di dalam kost mahasiswi. Ilmu komunikasi tidak berlaku lagi kali ini.
***
“Keluar kalian! Ke tengah jalan! Kalau tidak mau telanjang, akan kami bakar. Kalau tidak mau…”
Padang, 02 Januari 2018
MAULIDAN RAHMAN SIREGAR, lahir di Padang, 03 Februari 1991. Banyak membaca dan sesekali menulis. Cerpennya dimuat beberapa media seperti: Haluan, Padang Ekspres, dan Wartalambar.
Leave a Reply