Cerpen Ongky Arista UA (Media Indonesia, 21 Januari 2018)
PEREMPUAN yang berjalan pelan, seperti malas, seperti manja, seperti bermain-main dengan pasir di sebuah pantai satu tahun lalu membawa ingatan tentang perempuan yang telah sempurna kulupakan satu tahun sebelumnya. Lupaku menjadi tak benar-benar sempurna selain sempurna menjadi ingatan lama yang datang kembali, lebih baharu lagi.
Ini tentang perempuan yang kukenal satu tahun sebelum kulihat perempuan yang membawa ingatan itu satu tahun lalu. Susah payah kulupakan. Sudah kuletakkan ingatan itu dalam peti lalu kubuang ke sungai mati. Berharap semua ingatan mati bersama arus yang kian jauh, kian mengering, lalu benar-benar mati di suatu muara paling jauh.
Ah, perempuan satu tahun lalu sungguh benar-benar tak tahu betapa dirinya membawa ingatan tentang perempuan satu tahun sebelum dirinya kuingat satu tahun lalu. Dan kau, kaulah yang paling bertanggung jawab. Kaulah kunci utama dari segala ingatan.
Jika satu minggu lalu kau tak muncul di pinggir pantai dan berjalan seperti perempuan yang mengingatkanku pada perempuan dua bulan lalu, yang membawa ingatan tentang perempuan empat bulan lalu, yang membawa ingatan tentang perempuan yang keenam, lalu membawa yang kedelapan, membawa ingatan yang kesepuluh, dan membawa ingatan tentang perempuan satu tahun sebelum satu tahun lalu, sudah pasti, aku akan benar-benar bahagia.
Kaulah sebenarnya yang membawa segala ingatan, segala ingatan. Jika bukan karena kau, sudah tak memungkinkan lagi ingatan tentang perempuan satu tahun sebelum perempuan satu tahun yang lalu, yang berjalan pelan di sebuah pantai, akan datang. Sudah tak mungkin lagi.
Kembalinya ingatan tentang perempuan sebelum perempuan satu tahun yang lalu, dari dirimu, harus kau tanggung. Kau harus mencari perempuan sebelummu dengan petunjukku. Atau, jika tidak, aku akan menganggapmu sebagai perempuan itu.
“Apakah kau mau kuanggap sebagai perempuan jalang itu?”
“Aku akan mencari mata rantai perempuanmu.”
“Bagus.”
“Jika aku tak berhasil, pantaslah diriku kau sebut perempuan jalang karena memang tiada perempuan lain untuk kau sebut jalang selainku.”
Menghela napas. Diam sejenak menuntaskan napas lelah. Menatap ke arahku. Melanjutkan, “Meski tak mungkin bagiku untuk jalang meski kau sebut sebagai jalang. Jikapun mungkin, itu sebab kau yang telah membuatku benar-benar jalang.”
***
Bekas luka ini, ya, bekas luka ini. Kau masih ingat? Siapa lagi jika bukan karena ulahmu yang berusaha membuat telinga suamimu lebar dan matanya seperti kelelawar.
Ini awalku mencarimu. Untuk menebus bekas luka ini dengan luka yang lain dan tentu bukan luka di tubuhku lagi, tapi di tubuh orang yang meninggalkan bekas luka ini. Suamimu. Suamimu akan kuberikan bekas luka yang sama seperti bekas luka yang ada padaku.
“Sudah kau dapatkan perempuan itu?”
“Sudah, tapi suaminya telah meninggal!”
“Apa?”
“Kalau begitu, harus dengan apa kubalas bekas luka ini?”
“Kau harus juga meninggal!”
“Buat aku meninggal!”
“Hanya perempuan itu yang dapat membuatmu meninggal lalu bertemu dengan suaminya yang kau incar itu.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Kau harus meninggal di tempat di mana lelaki itu meninggal!”
“Bawa aku pada perempuan itu!”
Kau. Kau tak tahu bahwa ada benci yang mengendap di bawah berlembar-lembar cinta di bumi ini. Endapan itu akan menuju ke permukaan saat cinta mulai habis dikhianati. Pengkhianatan selalu terjadi di mana pun. Bahkan di tempat dan kondisi yang paling tidak mungkin sekalipun.
Cintaku untuk kau adalah sama dengan cinta lelaki yang merebut kau dari cintaku. Percintaan kita di malam yang bisu itu sudah kutimbang-timbang sebagai pengesahan cinta kita berdua. Kau mencintaiku sebagaimana aku yang sebaliknya.
Cintamu kepadanya adalah pengkhianatan cinta bagiku. Pelanggaran berat bagi pengesahan itu. Seharusnya kau bisa mencintai siapa pun yang mencintaimu, mengapa kau hanya memilih dia yang ujung-ujungnya lebih dahulu meninggal daripadaku yang umurnya dan tentu cintanya jelas lebih pendek dari cintaku?
Cintaku takkan pernah kau tahu pula lebih besar daripada siapa pun yang apabila dikhianati, kebencian akan lebih besar daripada apa pun, bahkan dari besarnya cinta yang besar.
“Perempuan itu baru saja meninggal!”
“Apa kau tak suruh dia menungguku datang terlebih dahulu?”
“Kau harus segera mati!”
Beberapa detik setelah itu, aku menyusul kematian perempuan itu. Kuingat, beberapa detik sebelum itu, perempuan yang menjadi kunci segala perempuan sebelumnya menusukku memakai benda tajam dan tipis.
“Harus mati!”
Perempuan itu memasukkan pisau tajam dan mengilap ke bagian atas perutku. Aku pun mati dan tak sempat bercerita panjang. Mengapa mati tak menungguku bercerita terlebih dahulu. Cerita ini pun beralih ke tangan perempuan yang masih hidup.
***
Laki-laki itu kuantar menemui suami seorang perempuan. Dan, mungkin juga di sana, tempat kuantar dia, akan bertemu dengan perempuan yang suaminya dia incar. Hanya dengan begitu, lelaki yang akan menyebutku jalang akan bertemu dengan orang yang dicarinya, laki-laki sebagai suami perempuan atau perempuan satu tahun sebelum perempuan yang satu tahun lalu berjalan manja di sebuah pantai.
Ingin kuikut denganmu. Sayangnya, aku tak benar-benar ingin. Tapi aku ingin tahu, apakah kau sudah menemukan lelaki atau perempuan yang kau cari. Jika tidak, akankah kau masih memanggilku jalang? Jika sudah bertemu dengan apa yang kau cari, apakah akan selesai sampai di sini cerita kau yang berpindah ke tanganku?
Aku terlalu percaya bahwa kematian mempertemukan segala makhluk yang samasama mati andai saja betul ingin bertemu dengan salah satunya. Tapi bagaimana caranya? Sebetulnya aku tak begitu yakin. Mengantarmu pada kematian tak kumungkiri sebetulnya lahir bukan dari sepenuhnya keyakinanku. Itu hanya percobaanku. Seharusnya kau tak perlu membenci siapa pun yang telah mati hingga kau menyusulnya ke sana dan tentu, aku tak perlu benar-benar percaya dan ikut mengantarmu ke sana.
Ini ternyata soal cintamu yang tiada satu pun dapat menghalangi. Tapi, mengapa cinta?
Mengapa kau cinta pada perempuan satu tahun sebelum perempuan satu tahun yang lalu? Sedangkan kau tengah bersamaku. Apa yang kurang dariku? Bukankah aku sudah memberimu kebebasan? Tak harus menikahiku agar kau benar-benar menikmatiku melebihi menikahiku. Bukankah itu kenikmatan bagi setiap lelaki?
Kau boleh datang kapan saja dan pergi kapan saja. Kau boleh mencintai siapa saja dan membenci siapa saja. Tapi, apakah kau tak sadari betapa aku sebenarnya mencintaimu? Haruskah aku membencimu sebagaimana kau membenci perempuan itu? Haruskah pula endapan kebencian ini membentuk gunung ke permukaan sebagai cerita lain daripada cinta yang dikhianati?
Kau masih mencintai perempuan itu dan mendendam suaminya yang telah memukulmu sebab pergumulanmu dengan perempuan satu tahun itu. Kau menjerit-jerit. Luka dan luka di tubuhmu memaksa kau berbuat sesuatu selain menjerit. Entah, apa? Sampai pun pada detik ini, aku tak tahu selain kau hanya ingin membalas bekas luka di tubuhmu dengan bekas luka yang akan kau buat di tubuh yang bukan tubuhmu. Lagi pula, apa hakmu bercinta dengan perempuan orang selain hak untuk dipukul bahkan jika perlu dibunuh?
Dan kau benar-benar harus mati demi mengejar balas. Kau minta aku membunuhmu. Jelas aku mau. Apa boleh buat jika kenikmatan tubuhku yang telah puluhan tahun tak kuberikan pada siapa pun yang menawarnya justru jatuh pada lelaki yang tak sungguh-sungguh akan menemaniku sepanjang hidup. Kau harus mati sebagaimana keperawananku yang telah mati diisap olehmu.
Dan aku, harus juga mati untuk mengejarmu. Membalas sesuatu yang tak kau pernah ketahui. Pisau ini telah membunuhmu dan akan pula membunuhku. Kita bertemu di sana. Kita akan berdebat soal siapa yang salah. Di sana, konon, ada pengadilan yang paling adil tanpa kita ikut campur suapmenyuap di dalamnya.
Aku harus mati. Sebentar lagi.
Setelah aku tusukkan tembaga mengilap dan tajam ke perutku, nyawaku akan perlahan menjauh dari jasadku, dibawa malaikat, semakin jauh, semakin mengecil, lalu benar-benar hilang ditelan gedung-gedung gaib, lalu gelap, sungguh gelap.
Nyawaku sudah hampir habis, tinggal beberapa detik lagi, akan ikut alunan detik jam, lalu benarbenar berlayar jauh bersama darah yang terus terkuras menuju muara ajal. Beberapa detik sebelum mati, tanganku tak akan lagi dapat menulis apa-apa dan jika tak selesai cerita ini, anggaplah sudah selesai bersama aj…(al).
Ongky asal Sumenep ini pernah meraih juara II di ajang menulis cerpen nasional bertema bebas oleh Forum Aktif Menulis Indonesia pada 2017 dengan cerpen berjudul Sumur Darah.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected]
Leave a Reply