Puisi-puisi Aji Ramadhan dan Inggit Putria Marga (Kompas, 20 Januari 2018)
Melempar Matahari Merekah
Matahari merekah dan
bulan bergegas ke kantung waktu.
Embun-embun kehilangan
bayangan bulan.
Sebelum lenyap di ketinggian daun,
embun-embun
mulai terbuka meminang tanah.
Embun-embun cepat terjun
melengkungi sekuen kehidupan.
Di batas langit dan bumi, pagi
melempar matahari merekah
ke kembang-kembang.
Di tanah, para semut lega
selesai berpatroli memutari
kembang-kembang.
Punggung para semut yang pegal
habis berpatroli
perlu asupan vitamin K
milik matahari merekah.
Matahari merekah sempurna.
Sepasang mawar be rad u argumen
tentang cara terbaik
bersatu dengan matahari merekah.
Melati punya pandangan lain:
Bulan bergegas ke kantung waktu
karena jarak-berjarak, bukan
tersaingi oleh matahari merekah.
Surakarta, 2017
Rugi
Kita kembali berjalan setelah berkemah
di perut gunung. Kita harus menemu pagi sebelum
langit mengirimnya. Semoga halimun
tak pergi ketika kita datang. Kita butuh halimun
untuk merangkum keletihan diri ini.
Puncak gunung ternyata jauh dari dugaan, meski
terpandang dekat di mata kita. Api unggun
yang semalam kita buat belum mati
di hati. Jangan kita menyeka peluh. Kita membawa
peluh masing-masing sebagai kado untuk pagi.
Nyanyian perjalanan ke puncak gunung telah kita
nyaringkan. Sesekali kita melihat ke bawah: Aneka
warna lampu menjadi repetisi halus. Murni
direkam mata kita. Kadang kita mengalami sangsi
kenapa bisa sekecil ini.
Di sela-sela pohon sana, kita bertemu ular yang
sedang mengawas. Kita takut tapi tinggal berpuluh
langkah akan sampai ke puncak gunung. Tapi
kita mulai menangis ketika terompet langit telah
mengirim pagi. Kita mematung rugi.
Surakarta, 2017
Datang
Pagi datang menyelamatkan aku
setelah memasang
daur ulang ekor matahari
dan membuang selimut malam.
Hangat sahaja pagi datang:
Aku belqjar menggapai awan
hingga menepuki waktu
biar lambat memasuki gerakku.
Kamar mimpi kehilangan aku
setelah pagi datang. Tapi tersisa
goresan kamar mimpi
di dalam benak lunakku:
Bantal membudak kepalaku dan
hantu kolong ranjang menakut
mataku.
Pagi datang memberi aspirasi
kepadaku lewat moncongnya:
“Kubur masamu yang redup itu,
lalu tinggikan tiang lagu.”
Pagi datang membuka
petualangan baru denganku. Dan
aku berlagu:
Seorang anak enggan lagi tidur
karena pagi datang
menghiasi dinding hari barunya.
Surakarta, 2017
Aji Ramadhan lahir di Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Mahasiswa Desain Interior di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Buku puisinya adalah Sang Perajut Sayap (2011) dan Sepatu Kundang (2012).
Festival Purnama
november, entah hari keberapa
setelah kelopak matahari mengatup
dari balik bukit berpohon sedikit
kepala purnama menyembul
matanya menabur cahaya
serupa cakra mata ketiga yang mekar sempurna
seperti tangan petani menebar benih
di tanah yang matang oleh doa
ke yang halus dan yang kasar, cahaya menyebar:
ke tangan istri yang sedang mencengkram leher kekasih suami
ke tangan ibu yang gemetar menghapus keringat dingin di dahi bayi
ke kucing pincang yang tak henti mengeong
usai dilempari batu oleh penghuni rumah yang disinggahi, ke anjing
yang berbaring di rumput menunggu kedatangan tuannya, ke balita
yang lari ke sana ke mari, tanpa berpikir untuk apa ia lahir
dan ke mana kelak pergi setelah detak jantung berakhir, ke lelaki tua
yang sibuk merayu malaikat maut agar tak datang buru-buru
sebab dosa-dosa masa lalu belum sempat tersapu.
selama kelopak matahari terkatup
purnama menebar cahaya
tak seperti petani
tak berharap menuai yang ditabur di bumi.
2017
Tawa Maitreya
beberapa detik setelah dinyalakan, asap dupa meninggalkan dupa
sebagian mengambang di bawah lampu gantung kristal berbentuk padma,
sebagian mencari celali menuju sumber cahaya, menuju langit nila.
memisahkan diri dari keriuhan pengunjung kuil, menjauh dari gelak tawa
para tamu yang berfoto bersama rupang-rupang dewa genta raksasa, barisan lotus
yang sebagian telah tiba masa mekarnya, seorang perempuan berdiri sambil bersandar
di pilar altar, ia pandangi dupa-dupa mengabu, yang meski gerak asapnya menjalar
di dalam dan di luar ruangan, tak sebatang pun ada yang diajak foto bersama,
tak seorang pun peduli makhluk halus itu berpencar ke mana, di hadapan mereka
perempuan menangkupkan tangan, menundukkan kepala, menyembunyikan air mata.
dari atas altar, menyaksikan yang tertawa herbinar dan yang menangis samar,
yang riuh berkelompok dan yang sendiri mematung setegak batang rokok,
garis tawa di bibir maitreya semakin lebar.
2017
Pengasih Kedasih
telah hamba patahkan sepasang sayap kedasih, sebab telur-telur kesedihan
yang bertahun dieram ulu hati hamba, menetas usai teringat takdir sayap
adalah membuat kedasih melayang menuju hutannya sendiri,
memilih ranting tempatnya hinggap sesekali, menembus udara berdebu
yang bisa saja membuat burung itu mati di suatu pagi.
kemelekatan hamba pada burung itu, bahkan pada tiap bulu
yang tumbuh di pori-pori kulit kedasih itu, lebih erat dibandingkan
pada helai-helai uban yang tiap hari, dari kepala hamba, berjatuhan.
maka, hamba lakukan yang dapat membuat hamba dan kedasih tak terpisahkan
terlebih lepas menyaksikan televisi, di penghujung sebuah pagi, hamparkan
pemandangan ini: langit warna melon mengatapi bongkahan awan.
seekor burung besi membara di situ usai melepas ratusan telur
yang jatuh menghantam bumi, menghajar perkampungan, melantakkan hutan,
menumbangkan pepohonan, dari salah satu cabang pohon yang tumbang
helai-helai jerami terbang, seekor kedasih gagal membuat sarang.
beberapa menit sebelum patahkan sayap burung
hamba pandangi pigura-pigura yang berderet di dinding dekat televisi.
benda yang membingkai foto-foto kerabat lama, mereka mati
bersama rumah masa kecil hamba yang hancur tertimpa telur burung besi
saat hamba menggoreskan krayon warna melon
di kertas bergambar ibu bapak
yang tergeletak di meja kelas taman kanak-kanak.
2017
Inggit Putria Marga bermukim di Bandar Lampung. Kumpulan puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).
Leave a Reply