Cerpen, Danang Cahya Firmansah

Anjing dan Sebuah Nama

4.2
(13)

Cerpen Danang Cahya Firmansah (Suara Merdeka, 18 Februari 2018)

Anjing dan Sebuah Nama ilustrasi Hery Purnomo - Suara Merdeka.jpg

Anjing dan Sebuah Nama ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka

MESKI pengemis, aku cukup punya belas kasihan. Setahun lalu, aku melihat seekor anak anjing kurus, ceking, tertidur lemas di pinggir jalan. Segera kubawa anak anjing itu ke gubukku di bawah kolong jembatan. Dia kuberi nama Koruptor.

Hari demi hari kurawat Koruptor sepenuh hati. Pagi hari, sebelum bekerja, kumandikan Koruptor dan kuberi makan seadanya. Kami makan berdua. Baru setelah itu aku berangkat kerja. Acap kali Koruptor mengikuti aku.

Namun belum genap sebulan, Koruptor sakit-sakitan. Ia korengan. Sungguh, aku tak habis pikir. Bukankah dia sering kumandikan serta kurawat sepenuh hati dan cinta?

Koruptor juga sering apes. Orang-orang yang membenci pernah melempar dia dengan batu dan kayu.

Suatu sore sepulang kerja, aku tak mendapati Koruptor di gubuk. Kupangil-panggil, tetapi dia tak membalsa dengan gonggongan.

Aku mencari ke luar gubuk. Nahas, Koruptor tergolek lemah. Kepalanya berlumuran darah. Aku sedih. Kenapa dia begitu apes? Apa salah Koruptor?

Di gubuk, hanya Koruptor yang menemaniku. Aku tak berkeluarga. Karena itulah, Koruptor kuanggap anak. Ya, dialah anakku.

Aku tak tega ketika dia sakit parah. Padahal, aku tak mungkin membawa dia ke dokter hewan. Duit dari mana? Aku merenung-renung, memikirkan cara mengobati Koruptor.

Akhirnya terbersit jalan keluar. Keesokan hari, aku bergegas menuju gubuk Mbah Ponidi, tak jauh dari gubukku. Kuceritakan keluh-kesahku soal Koruptor. Mbah Ponidi mendengar sambil menganggukangguk, lalu terdiam seraya menghela napas panjang.

Beberapa saat kemudian dia berkata, “Itu karena namanya.”

“Maksud Mbah?”

“Asma iku kinarya japa,” sahut Mbah Ponidi.

“Artinya?”

“Nama adalah doa. Anjingmu terlalu suci. Tak cocok kaunamakan Koruptor. Karena itulah, dia sakit-sakitan dan selalu sial.”

Baca juga  Peniup Harmonika

Mendengar jawaban Mbah Ponidi, aku mengangguk mantap. Aku segera pulang dan mengganti namanya dengan nama baru: Blaky.

Perkataan Mbah Ponidi ternyata benar. Berbulan-bulan kemudian, Blaky sehat. Dia tak sakit-sakitan dan tak apes lagi. Aku tersenyum senang. “Terima kasih, Mbah Ponidi,” gumamku sembari mengusap-usap kepala Blaky.

Menanggung Malu

Anjing betina itu paling setia menemani si lelaki tua. Sungguh, lelaki tua itu tak mengerti mengapa istrinya tak mampu setia? Padahal, anjingnya tetap rela menemani hingga si lelaki memasuki usia senja. Kini, dia hanya serumah dengan anjing peliharaan. Kadang lelaki tua itu berkhayal, “Andai anjingku berubah jadi manusia, pasti kunikahi!”

Sepulang kerja, lelaki tua itu mengajak anjingnya jalan-jalan menyusuri jalanan kota. Melihat gedung-gedung tinggi menjulang bagai pohon-pohon berebut sinar. Berlomba-lomba lebih tinggi dari yang lain.

Seminggu sekali, dia mengajak anjingnya lari pagi. Setiap Minggu si anjing menggonggong tak hentihenti sambil menggoyang-goyangkan ekor. Hewan itu seperti antusias menyambut hari Minggu. Hari untuk membugarkan badan.

Namun suatu hari anjing putih itu lesu tak berdaya. Gonggongannya pun lemah. Tak keras seperti hari-hari biasa. Lelaki tua itu makin bingung, karena si anjing tak bernafsu makan. Lelaki tua mencoba mengganti berbagai pakan anjing, tetapi anjingnya tak mau makan sedikit pun.

Tubuh anjing itu mengurus. Hidupnya tampak tak bergairah. Lelaki tua segera membawa ke dokter hewan. Namun kata dokter, tak ada penyakit di tubuh hewan itu. Lelaki tua berpikir-pikir, “Apa perlakuanku salah pada anjingku?” Padahal, dia telah merawat anjing itu sepenuh kasih. Dia sudah menganggap anjing itu anaknya.

Suatu malam, lelaki tua itu tertidur dan bermimpi. Dalam mimpi, anjing kesayangannya berbicara.

“Tuan, aku sangat tersinggung! Aku malu dan sakit hati!” ujarnya.

Baca juga  Wajah yang Berbeda

Lelaki tua kaget dan bertanya, “Kenapa?”

“Tuan, akhir-akhir ini banyak orang menyebut anjing negara. Sebutan itu tertuju pada orang-orang yang meraup, merampas, merampok harta rakyat. Kenapa bandit-bandit berdasi itu mereka sebut anjing negara?”

“Itu kan cuma istilah.”

“Saya tidak terima, Tuan. Saya rela dikatakan hewan najis. Saya iklas! Namun saya sangat-sangat tersinggung, malu, dan sakit hati oleh perkataan banyak orang yang menyebut bandit berdasi sebagai anjing negara! Senajis-najis saya, saya tak pernah korupsi, Tuan. Tak pernah memakan harta rakyat jelata. Lalu mengapa orang-orang menyebut perampas harta rakyat dengan sebutan anjing negara? Apa salah saya?” sergah anjing itu.

Lelaki tua terbangun. Keringat membasahi badan. Dia beranjak menuju kandang anjing di sebelah rumah. Sambil mengucek-ngucek mata, lelaki tua itu berjalan tergesa.

Tiba di depan kandang anjing, lelaki tua tak bertenaga. Badannya lemas. Otot-otot di tubuh seperti tercerabut. Dia lihat anjing kesayangan terbujur kaku. Mati menanggung malu.

Bersuci

Ada tiga anjing bersaudara di rumah mewah itu. Anjing berkulit hitam, putih, dan cokelat. Mereka gemuk-gemuk. Kulit mereka bersih karena sangat terawat. Pemilik ketiga anjing itu seorang pejabat negeri.

Pembantu di rumah acap kali menyuguhkan sate, gule, brongkos pada ketiga anjing kesayangan sang majikan. Si pembantu, sambil menelan ludah, menghaturkan makanan setiap pagi, siang, dan sore.

Sungguh, anjing yang penuh kebahagiaan. Namun, sayang, tak lama kemudian mereka mendengar berita mengejutkan. Anjing-anjing bahagia itu terusik. Mereka baru tahu sang tuan korupsi.

Mereka segera memuntahkan seluruh makanan dari dalam perut. Namun tak bisa. Mereka bingung, karena makanan yang selama ini mereka santap berasal dari merampas uang rakyat. Para anjing itu sekali lagi hendak memuntahkan seluruh isi perut. Namun tetap gagal.

Baca juga  Tanah Tumpah Hayat

“Percuma kita keluarkan isi perut. Toh kita makan uang rakyat sejak dalam kandungan ibu kita. Makanan telah mewujud menjadi kulit, daging, tulang, mata, hidung, hati, telinga, dan bulu kita,” ucap anjing putih sambil menggigil.

“Lebih jauh dari itu, bahkan sperma Ayah, asal mula kita, terbentuk dari sari makanan hasil rampasan terhadap rakyat,” ucap anjing hitam sambil mundur-mundur ketakutan.

Mereka tak hanya jijik kepada sang tuan. Bahkan kini mereka pun jijik pada diri sendiri. Mereka hendak melepaskan diri dari tubuh najis masing-masing. Anjing-anjing itu segera melarikan diri. Saat hendak meloncati pagar rumah, sang tuan pulang mengendarai Lamborgini.

Sang tuan segera turun dari mobil. Dia heran melihat anjing-anjingnya seperti ketakutan. Lalu dia segera mendekati hewan-hewan itu. Mengusap-usap kepala mereka satu per satu.

Anjing-anjing itu sangat jijik atas usapan tangan sang tuan. Setelah sang tuan masuk rumah, mereka segera melompat. Mereka menggonggong tak jelas, sambil mencari kubangan lumpur.

“He! Kau tahu niat doa menyucikan diri karena najis?”

“Sudahlah, yang penting kita berniat bersuci untuk menghilangkan najis. Tubuh kita selama ini tersentuh tangan bandit itu. Niat kita menyucikan dari dari kenajisan tubuhnya yang menyentuh kita,” ujar anjing cokelat.

Anjing-anjing itu segera menyucikan diri dengan berwudu lumpur. Namun setelah selesai, anjing-anjing itu tetap merasa kotor dan jijik pada tubuh masing-masing. Anjing-anjing itu ingin lepas dari raga yang terbentuk dari makanan hasil rampasan rakyat.

Mereka depresi. Menggonggong tak jelas, menyusuri jalanan kota. Manusia menyebut mereka anjing gila. (44)

 

Semarang, 3 & 11 Februari 2018

Danang Cahya Firmansah, pegiat Lingkaran Studi Kebudayaan Indonesia.

Loading

Average rating 4.2 / 5. Vote count: 13

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!