SUNGGUH dia merasa bahwa Acis masih di sini. Sejak sepuluh menit lalu aku wanti-wanti mengajaknya beranjak dari taman ini. langit gelap dan awan berarak akan menjatuhkan hujan, sepertinya sangat lebat nanti. Tapi anehnya dia masih berat meninggalkan bangku taman. Meski kesabaranku habis, aku tetap tidak sanggup untuk berteriak kepadanya. Malah, ia tersenyum. Sungguh ia tersenyum. Tentu ini sangat lucu. Aku tidak membalas senyumnya. Sekarang dadaku hirukpikuk karena hujan lebat kali tidak akan membiarkan siapapun luput. Sialnya kami hanya menggunakan sepeda motor satu. Seandainya tadi aku menyuruhnya pakai sepeda motor sendiri. Ah! Dia memang gila. Aku juga tidak sanggup meninggalkannya di taman ini sendiri.
“Pulanglah dulu! Acis masih di sini. Aku tidak bisa meninggalkannya,” katanya berharap.
Gumpalan awan hitam makin memekat. Rintiknya telah jatuh menimpa bumi. Lantai-lantai taman kini semakin basah. Aku menggeleng, lebih tepat heran.
“Sudahlah Jinggo. Aku mengerti perasaanmu, tapi kau tidak boleh begini terus!”
“Pulanglah dulu.”
Aku menggeleng panas. Hampir saja tanganku melayang ke pipinya. Tapi hal itu tidak mungkin aku lakukan, “Terserah padamu,” kataku dengan kesal meninggalkannya.
Jinggo kutinggalkan di bangku taman. Ia duduk dan tertunduk. Hujan telah deras. Aku berlari menuju sepeda motor dan tetap tidak dapat melaju. Percuma karena jalanan sangat licin dan hal buruk bisa saja terjadi. Aku hanya berteduh di emperan warung terdekat. Tapi masih kulihat Jinggo duduk tertunduk dari kejauhan. Orang-orang yang ikut berteduh juga turut memandangnya. Aku jadi tidak enak. Sebagian mengatakannya bodoh karena mau-maunya hujan lebat begini duduk sendiri di bangku taman. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Tubuh Jinggo telah diguyur hujan selebatlebatnya. Pasti dia sangat menggigil.
***
Aku menggeleng pelan. Perasaanku tidak enak melihatnya begitu. Aku tidak mengerti perasaannya; pikirannya, hatinya. Barangkali begitu kecamuk. Bagaimana tidak kecamuk kalau hujan selebat ini ia masih berpendirian begitu? Barangkali dia terlalu larut. Larut dalam jalinan yang tak sampai pada gadis itu.
Aku tahu pertama kali ia bertemu dengan Acis di taman itu. Orang-orang sangat antusias berdatangan ke taman karena baru pertama kali buka. Sebuah taman yang cukup menarik; bertaburan aneka bunga dan pepohonan yang sengaja baru di tanam. Di sebelah kiri ada tugu berbentuk pohon sagu yang melingkar air mancur mengelilinginya. Di belakang taman terdapat pagar tembok yang berlukiskan aneka lukisan persuasif yang menggugah. Di sebelah kanan taman aneka bunga berwarna-warni menyedapkan mata. Di tengahtengah taman itu berdiri kokoh rumah adat Melayu sebagai tempat bernaung Lembaga Adat.
Tiba-tiba saja seorang gadis manis duduk di bangku sebelahnya. Jonggo terperangah dan berdebar karena di sebelahnya ada gadis berjilbab anggun dengan wajah semulus rembulan, dan tubuh sewangi kembang melati. Acis pun melihatnya—mungkin juga tersenyum padanya, waktu itu—meski canggung dan dengan tingkah kaku karena serba salah. Jonggo bilang padaku, bahwa gadis itu pernah mengaku tolol, “mengapa aku harus duduk di sini?” waktu itu raut Jinggo sangat bahagia. Tapi cepat-cepat waktu itu aku bilang kepadanya sambil tertawa, “Barangkali dia sangat kepenatan. Tidak tahan lagi kakinya untuk berdiri.” Kami tertawa ngakak selama lebih kurang sepuluh menit. Tapi aku tahu kalau hatinya begitu berdebar.
Waktu begitu lesat berlalu. Jinggo menjalin hubungan akrab dengan Acis. Apalagi setelah ia tahu, bahwa gadis itu ternyata juga kuliah di Akedemi Manajemen Informatika dan Komputer. Jinggo selalu tampak Acis pergi ke kampus itu menaiki Beat. Ah, kau tahu sendiri, bukan Jinggo kalau dalam segala hal tidak menyatroni gadis itu. Segala kemampuanpun ia—entah mengapa selalu saja mampu—merayu gadis itu untuk membocengnya setiap kali akan pergi ke kampus, walaupun yang kutahu waktu itu Jinggo tidak ada jadwal kuliah, namun tetap saja ia menjemput dengan sepeda motornya ke kampus.
“Tidak peduli bensinku habis karena menjemputnya!” katanya tempo hari.
Aku menggeleng, lebih tepat takjub.
“Aku salut dengan perjuanganmu.”
Jinggo tertawa. Merasa jumawa. Di depan cermin ia mengepas-ngepaskan kemejanya. Lalu meraih parfum dan menyemprot ke seluruh tubuh. Aroma wangi pun seketika menyeruak.
“Apa kau tetap menunggunya sampai tamat?”
Jinggo menolehku, memandangku sinis. Lebih tepat dia merasa kalau pertanyaanku tadi begitu bodoh untuk dilontarkan. Lalu tampak ia tersnyum kecut; seolah antara yakin atau tidak. Kali ini ia menyisir rambut. Menata rambutnya yang telah teroles Gatsby. Ia melihat jam di tangannya.
“Aku harus segera.”
“Selalu berhati-hati kawan.”
Jinggo tersenyum. Baru yang ini senyumnya lepas.
***
Karena selalu ia mengulang-ulang kisah itu, akhirnya aku jadi hafal. Bahwa di bangku itulah ia bermula menjalin kasih dan di bangku itu pula ia menutup kisah. Mereka selalu berjanji di taman itu. Persis selalu duduk di bangku itu, seolah seperti ingin mengulang lagi lanskap pertama kali jumpa. Bangku itu seperti saksi bisu yang membuatnya betah berjam-jam. Angin tiba-tiba kencang. Menerpa dedaunan pepohonan taman. Bunga-bunga tampak bergoyang. Para pengunjung cemas. Sibuk ingin beranjak pulang atau mencari tempat berteduh di sekitar taman. Sedang Jinggo dan Acis masih tenang duduk bersama.
Hujan deras menimpa keduanya. Anehnya mereka berdua tertawa riang. Sangat riang meski sama-sama menggigil. Di mata Jinggo, Acis semakin cantik dengan baju gamisnya yang basah kuyup itu. Sedangkan Jinggo—menurutnya, ketika ia menuturkan padaku—berpikir bahwa Acis pun merasa riang melihat dirinya yang kuyup mengigil. Hujan semakin gila dan mereka pun bertambah riang di bawah guyurannya.
“Apa kau tidak malu dilihat orang-orang yang berteduh itu?” suara Jinggo keras melawan guyuran hujan.
Acis berusaha melengkingkan suaranya, “Aku tidak memikirkan mereka, biar saja!”
Mereka pun saling tertawa lepas dan riang.
Setelah hujan agak mereda, keduanya baru mulai beranjak dari bangku taman. Menuju tempat parkiran dengan tangan bersilang ke dada menahan gigil. Jinggo cekikikan melihat gigi Acis yang gemeretak, sedang Acis pun membalas tawa melihat gigi Jinggo yang tak kalah gemeretak. Mereka menyalakan sepeda motor, melaju dari taman.
Angin bersiut kencang, gemuruh berdebam. Kilat menyalib sekilas, gamang bergetar dada. Namun keduanya masih bersarang senang, riang, dan gembira. Gigil sejuk menyusup sekujur tubuh tak terasa, sebab balutan kasih bergulung di cinta, larut seperti gula di manis air. Jinggo mengigil sambil memegang stang sepeda motornya, sedang Acis duduk menyamping memeluknya.
Hujan kembali jatuh. Lebat tercurah dari langit. Keduanya makin gegas. Merasa tanggung singgah menunggu teduh. “Kita terlanjur basah!” teriak Jinggo. Acis semakin erat memeluk Jinggo. Namun, siapakah yang dapat mengelak takdir? Di kepung hujan sederas itu, dan Jinggo yang mengendara begitu laju tidak lagi mempedulikan jalanan yang licin itu. Seketika ia hilang keseimbangan ketika akan menghindar seorang bocah SD yang tiba-tiba melintas ke tengah jalan ingin mengambil topinya yang melayang di terjang angin.
Sepeda motor oleng, kedua sepasang kekasih itupun terpental ke aspal. Jinggo terlepas dan jatuh tergelincir pelan. Nasib masih memihaknya oleh lindungan helm di kepala. Ia hanya memekik karena tangan kanannya yang terkilir. Sedang Acis terpental jauh, berguling-guling dengan kepalanya membentur keras tiang listrik di sisi parit semen. Gadis itu langsung diam tak bergerak seperti langsung tertidur nyenyak. Orang-orang yang berteduh di sekitar emperan toko berteriak, memekik, mengucap-ngucap istighfar. Suasana yang gigil itupun gempar.
***
Itu enam tahun yang lalu. Tapi masih seperti baru terjadi. Ya, aku tahu dia masih terbayang Acis. Hujan memang menjadi kenangan yang tak dapat dilupakannya untuk mengingat gadis itu. Hujanlah yang menjadikannya akrab dengan gadis itu. Hujan pula yang menjadikannya kini seperti itu. Tapi sebagai sahabat, aku tidak ingin ia larut pada hati yang remuk. Orang-orang telah kembali meraih kendaraan, kini hanya tinggal gerimis. Akupun beranjak dari emperan ruko, meraih sepeda motor. Kembali ke taman.
Jinggo perlahan-lahan melihatku, seperti menatap orang asing. Tangannya bersilang dada menahan gigil yang teramat sangat. Aku trenyuh. Orang-orang di taman telah bubar. Aku mengulurkan tangan tanpa bicara. Ia hanya tersenyum tipis.
“Ayo kita pulang,” kataku pilu.
“Acis masih di sini, Rudi.”
“Aku khawatir kau demam Jinggo. Sudahlah…,” kataku menahan tangis.
Jinggo menggeleng, “Aku yakin dia masih di sini.”
“Kau tidak boleh larut seperti ini, Sobat.”
Jinggo melihatku menangis sambil menahan gigil. Aku mengusap air mata dengan tangan. Aku juga tidak tahu mengapa harus menangis. Sungguh aku tidak tahu. ***
Anonymous
aku mungkin sedikit suka dengan cerita ini ini sedikit menambah inspirasi ku karna aku sedang perjalanan membuat buku