Cerpen Badrul Munir Chair (Tribun Jabar, 25 Februari 2018)
KECUALI namanya, hampir tidak ada yang kami ketahui tentang Bakdi. Di antara teman-teman Kos Rajawah, Bakdi adalah anak yang paling pendiam. Ia hanya sesekali menyupa kami ketika berpapasan di depan kos—yang itu jarang sekali terjadi karena ia sangat jarang keluar kamar. Interaksi yang ia lakukan dengan kami dapat dikatakan hanya sekadar basa-basi, sapaan singkat yang dijawab dengan singkat pula, pertanyaan basa-basi yang dijawab ala kadarnya. Nyaris seharian ia berada di dalam kamar. Entah apa yang dilakukannya di dalam sana. Ia hanya keluar kamar untuk makan dan ke kamar mandi. Dan anehnya, walau Pak Kos mengatakan bahwa Bakdi adalah mahasiswa di kampus yang sama dengan kami, kami hampir tidak pemah melihatnya pergi ke kampus setiap pagi.
Ada sepuluh kamar di Kos Rajawali, yang semuanya sudah terisi. Bangunan kos yang kami tempati merupakan bangunan tingkat, yang berdiri tepat di samping rumah pemiliknya. Masing-masing kamar diberi nomor. Kamar nomor satu sampai lima ada di lantai dasar, sementara lima kamar yang lain ada di atas. Aku menempati salah satu kamar di lantai dasar, di kamar nomor 05.
Setiap awal bulan, kami akan mengetuk pintu rumah induk semang, membayar uang listrik bulanan di luar biaya sewa kamar yang dibayar satu tahun di awal. Dan setahu kami, di antara teman-teman kos yang lain, Bakdi adalah anak kos yang cukup sering membuat Pak Kos jengkel. Jika setiap bulan kebanyakan dari kami datang ke rumah Pak Kos untuk membayar uang listrik, khusus untuk Bakdi, Pak Kos-lah yang mendatangi kamarnya, menagih uang listrik, karena Bakdi sering telat membayar. Dan setiap keluar dari kamar Bakdi, wajah Pak Kos tidak menunjukkan raut yang menyenangkan, yang kemungkinan besar karena beliau gagal menagih uang dari Bakdi.
Sebagai anak kos yang tinggal tepat di sebelah kamar Bakdi, secara tidak sengaja aku sering mendengar percakapan antara Pak Kos dengan Bakdi ketika Pak Kos datang menagih. Selalu saja ada alasan yang diutarakan Bakdi. Sementara Pak Kos, dengan sedikit pemakluman atau mungkin juga disertai dengan rasa terpaksa, memberikan jangka waktu selama beberapa hari bagi Bakdi untuk melunasi uang listrik yang bagi kami jumlahnya sebenarnya tidak seberapa.
Aku cukup sering berusaha menjalin hubungan akrab dengan Bakdi, berusaha mengajaknya berbicara yang bukan sekadar obrolan basa-basi. Tapi lebih sering usahaku berujung dengan kegagalan. Sikap dingin Bakdi membuatku tidak bisa memaksa untuk lebih akrab lagi dengannya. Sebenarnya, aku sangat berharap bisa akrab dengan Bakdi, sebab di antara anak yang lain, hanya kamilah yang merupakan teman satu angkatan. Namun kekakuan dan sifat tertutup Bakdi membuatku menyerah untuk lebih akrab dengannya.
***
SUATU hari, aku mendengar suara batuk dari kamar sebelah, dari kamar nomor 04 yang ditempati Bakdi. Suara batuknya terdengar sepanjang malam. Karena batuknya kurasa sudah cukup parah, aku mengetuk pintu kamar Bakdi, menawarinya untuk mencarikan obat atau memberinya tumpangan jika besok ia perlu ke klinik untuk berobat. Kutawarkan tumpangan kepadanya sebab aku tahu di antara anak-anak kos sini, Bakdilah satu-satunya anak kos yang tidak membawa motor. Mendengar tawaranku, Bakdi tersenyum menggeleng, dan mengucapkan terima kasih, mengatakan bahwa ia terserang batuk karena cuaca yang dingin. Aku berlalu dari depan kamar Bakdi—bahkan ia tidak mempersilakanku masuk—untuk kembali ke kamarku.
Keesokan harinya, pagi-pagi ketika aku sedang bersiap untuk berangkat ke kampus, kudengar batuk Bakdi semakin parah, dan kali ini disertai dengan suara mual seperti mau muntah. Benar saja, tidak lama setelahnya kudengar pintu kamar Bakdi dibuka dengan sedikit keras yang disusul dengan suara tubuh terjerembap ke lantai. Aku bergegas ke luar kamar, dan kulihat Bakdi sudah ambruk di depan kamarnya.
Beberapa anak kos yang kebetulan belum berangkat ke kampus pagi itu mengusulkan untuk segera membawa Bakdi ke klinik. Aku menuruti usulan mereka, memapah Bakdi dan mendudukkannya di jok belakang motorku untuk kubawa ke klinik, sementara anak kos yang lain terkesan lepas tangan, mungkin karena merasa tidak akrab dengan Bakdi, atau mungkin karena alasan yang lain.
***
“ANDA temannya?” tanya perawat klinik kampus yang menangani Bakdi. Aku mengangguk. “Asam lambungnya sudah parah,” kata perawat itu menjelaskan sakit yang diderita Bakdi. Selanjutnya, perawat itu mengatakan bahwa Bakdi harus dirawat setidaknya sampai sore, sampai satu botol infus yang diberikan padanya telah habis.
Aku memutuskan tidak masuk kuliah hari itu, menemani Bakdi di klinik. Kulihat tubuhnya sangat lemas, bahkan untuk merespons perawat yang menyuapinya makanan berupa bubur halus pun seakan-akan bibirnya sulit untuk digerakkan. Berkali-kali kulihat Bakdi merasa mual seperti mau muntah.
Sore harinya, Bakdi diperbolehkan pulang. Karena melihat Bakdi masih sangat lemah dan sepertinya sulit untuk diajak berbicara—bahkan dalam kondisi sehat sekalipun, aku tahu sangat sulit untuk mengajaknya berbicara—akulah yang membayar seluruh biaya perawatan Bakdi. Kuitansinya kusimpan untuk diberikan padanya ketika ia sudah sehat nanti. Sebelum pulang, perawat berpesan padaku untuk memberikan makanan bubur saja kepada Bakdi sampai mualnya benar-benar hilang, tidak boleh makan makanan yang lain.
Ketika tiba di kos, aku kembali memapah Bakdi, kali ini membawanya masuk ke kamarnya. Ketika pintu kamar Bakdi terbuka, aku cukup terkejut dan takjub melihat dinding kamar Bakdi dipenuhi dengan rak-rak yang terisi penuh dengan buku-buku. Hampir seluruh satu sisi dinding dipenuhi dengan buku, sementara di lantai dan dekat tempat tidurnya menumpuk puluhan buku lainnya.
“Terima kasih,” ucap Bakdi ketika tubuhnya sudah kubaringkan di atas tempat tidur.
“Istirahatlah, kau terlihat sangat lemas dan perlu banyak istirahat. Nanti malam kucarikan bubur,” ucapku.
“Sekali lagi terima kasih. Sudah tiga hari aku tidak makan, baru kemasukan makanan ketika disuapi bubur di klinik tadi,” ucap Bakdi dengan lirih, kalimat terpanjang yang diucapkannya sejak aku mengenalnya, sebuah pengakuan yang membuatku benar-benar terkejut. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan tiga hari tanpa makan dan hanya mengurung diri di dalam kamar?
Semenjak hari itu, hubungan pertemanan kami benar-benar berubah.
***
AKU merawat Bakdi hingga benar-benar pulih, membelikan bubur untuknya sehari tiga kali. Bakdi menanyakan berapa biaya perawatan di klinik yang sudah kubayar kemarin, menanyakan harga bubur yang kubelikan untuknya. Mungkin dalam hatinya ia sedang menjumlahkan utang yang harus dibayarkannya kepadaku. Dan ketika aku hendak berpamitan setelah mengantarkan bubur untuknya, Bakdi mencegahku, “Tolong catat utangku, aku janji akan kubayar nanti, kalau honorku turun,” ujarnya, kali ini dengan suara lirih namun penuh dengan keyakinan.
Aku mengurungkan niatku untuk kembali ke kamar, menanggapi obrolan Bakdi. Dari Bakdi, dengan suara lirih karena belum benar-benar pulih dari sakitnya, sedikit banyak aku tahu tentang kisah hidupnya. Ia lahir dari keluarga sederhana. Ketika Bakdi meminta izin pada keluarganya untuk kuliah, bapaknva menyerahkan sebagian besar uang tabungan yang dimilikinya kepada Bakdi— yang ternyata hanya cukup untuk membayar uang pendaftaran kuliah dan uang kos selama setahun. Untuk biaya hidup bulanan, Bakdi segan untuk meminta pada orang tuanya, sebab ia tahu orang tuanya harus banting tulang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka di kampung halaman.
Suatu hari, ketika putus asa karena kehabisan uang, seorang seniornya di kampus menyarankan agar sebaiknya Bakdi menulis saja agar bisa menghasilkan uang. Dari seniornya itu pulalah Bakdi mendapat informasi mengenai jenis tulisan apa saja yang bisa menghasilkan uang jika dimuat di koran. Sejak saat itu, Bakdi menulis bermacam-macam tulisan dan mengirimkannya ke berbagai koran. Mula-mula ia menulis opini, kemudian cerita pendek dan puisi. Suatu hari ia membeli buku baru dari uang honornya, dan memutuskan menulis resensi buku itu untuk dikirimkan ke koran.
Ketika resensi yang ditulisnya dimuat di sebuah koran, penerbit buku itu mengirimkan hadiah berupa beberapa judul buku baru kepadanya, buku-buku yang kemudian diresensi lagi oleh Bakdi. Resensi satu buku menghasilkan lima buku. Resensi lima buku menghasilkan puluhan buku lainnya. Buku-buku yang diperolehnya dari kiriman penerbit terus berlipat ganda. Tidak heran jika hanya dalam waktu kurang dari setahun, koleksi bukunya sudah memenuhi hampir seluruh bagian kamar. Menyadari bahwa dari menulis ia bisa bertahan hidup—walau honornya sering terlambat datang sehingga tidak jarang ia kelaparan—akhirnya Bakdi memutuskan untuk menjadi penulis. Sepanjang hari ia lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, membaca buku atau menulis dengan menggunakan laptop yang berhasil dibelinya dari uang honor.
Kini aku bisa memahami alasan Bakdi lebih banyak nienghabiskan waktunya di dalam kamar. Semenjak kenal lebih dekat dengan Bakdi dan mengetahui tentang kisah hidupnya, entah kenapa aku sering cemas ketika Bakdi tidak terlihat selama beberapa hari. Setiap mendengar suara batuk dari kamar sebelah, aku benar-benar khawatir asam lambung Bakdi kembali kambuh. Sementara ketika seharian tidak kudengar suara apa pun dari dalam kamarnya, aku benar-benar khawatir sesuatu yang buruk sedang terjadi pada Bakdi. Membayangkan dia sedang pingsan, atau jangan-jangan sudah mati.
Badrul Munir Chair lahir di Ambunten, Sumenep, 1 Oktober 1990. Karya-karyanya berupa cerpen dan puisi dimuat di sejumlah media massa. Bukunya yang sudah terbit antara lain kumpulan cerpen Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (2009); novel Kalompang (2014), dan kumpulan puisi Dunia yang Kita Kenal (2016). Saat ini tinggal di Semarang.
Leave a Reply