Puisi-puisi Nermi Silaban (Koran Tempo, 03-04 Maret 2018)

Dari Tambo Buah Anggir, Pengantar Terakhir Burung Layang-layang ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Dari Tambo Buah Anggir
Sebab moyang mewarisi kami
tata cara menyembelih
maka dengan pisau sepipih
kami sibak petaka
di balik kasat mata ini
menoreh gurat nasib
di urat leher ayam jantan merah.
Hati kami adalah api di tungku batu
dari sedu kayu kemarau, dan
setakar sayur tuaian dengan rempah
menguarkan aroma utang adat kami.
Sementara doa bukan embik domba
yang dielus-elus ayat, bikin lutut kami
terantuk di antara kaki meja ibadat.
Meski kami dicela mungkar
sebab moyang bertungkai empat
bulu bergurat belang dan mata
yang selalu berkilau itu-tentu kami
mengerti hari depan persis datu
menerawang biji-biji anggir
pada latar air di cawan putih.
Maka kami tiada goyah
menoleh dari halus jubah
dan jasad kayu itu yang
semata belas kasih
untuk tiang dosa kami.
2015-2018
*Anggir dalam masyarakat batak adalah Jeruk purut
Pengantar Terakhir Burung Layang-layang
-untuk Reda dan Jubing
Dari lintang kabel-
garis paranada itu,
seayunan sayap burung layang-layang
telah digenggam angin.
Pesawat kertas lepas
dari tangan masa kecil,
derit papan ayun di taman bermain
tinggal sepoi napas irama.
Dari jendela masa tuamu
memori menerbangkan
sekawan burung layang-layang
pada biola tengah dibelai
tangan-busur yang lirih
mengiring rinai senar gitar
dipetik bagai kereta pengantar terakhir
dari pelantun yang getir
mengalunkan rindu
bagimu tak lain hanya
bayang-bayang sayap di lantai cahaya
panggung ingatan itu.
Sejenak tersadar
kedua telapak tangan
tersingkap di wajah-kau telah abadi
disembunyikan waktu.
2017
Nermi Silaban dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 17 Juli 1987. Buku puisinya bertajuk Bekal Kunjungan (2017).
Leave a Reply