Cerpen, Hilmi Faiq, Koran Tempo

Ular-ular Pak Sudar

4.9
(10)

Ular piton itu bergerak lambat dengan mata bersinar setelah Pak Sudar membuka ikatan tali penutup kantong putih tempat ular meringkuk sedari tadi. Ular sebesar lengan Pak Sudar itu mungkin sumpek juga terlalu lama berada di dalam kantong kain yang aku duga sudah berbulan-bulan tidak dicuci. Warnanya kuning kecokelatan, padahal kantong bekas tepung itu semestinya putih.

Ular itu terus keluar dengan sorot mata bersinar dan lidah menjulur. Pengunjung pasar yang sedari tadi berkerumun, kini mundur beberapa langkah memberikan ruang kepada ular. Sebenarnya mereka takut sekaligus penasaran pada ular itu. Warga sangat jarang bertemu dengan ular sebesar itu. Kami lebih sering mendengarnya sebagai binatang mitos atau jadi-jadian terkait dengan pesugihan atau alih rupa warga yang sedang merapal kesaktian. Makanya, ketika melihat ular, imajinasi kami liar ke mana-mana. Membayangkan hal-hal yang selama ini hanya kami tangkap lewat dongeng dari orang-orang sepuh.

Melihat gelagat dan ekspresi pengunjung yang antara kagum dan takut itu, Pak Sudar seperti menemukan kemenangan. Dengan senyum lebar dan mata berbinar, dia membuka satu kantong lagi. Lalu keluarlah ular dengan ukuran lebih besar. Ia menggeliat lamban seperti baru bangun dari tidur panjang. Sesaat kemudian, ia mendesis pelan dan menjulurkan lidahnya.

Ini menjadi pertunjukan pembuka dan puncak setiap kali Pak Sudar datang ke pasar setiap Wage, hari pasaran di kampung kami. Sebuah kampung di pesisir Laut Jawa. Pasar ini terletak persis di bibir pantai yang dilintasi jalur Daendels.

Ular-ular itu efektif mengundang calon pembeli. Kalaupun tidak tertarik pada obat, paling tidak mereka tertarik pada dua ular itu. Nah, pada saat itulah Pak Sudar membangunnya menjadi peluang untuk berjualan. Jualan utama Pak Sudar itu jamu dan minyak urut. Di atas kain hitam yang dia gelar di dekat pintu masuk pasar, terdapat beragam botol berisi tulang dan minyak.

“Ini tangkur buaya, bagus untuk sampean yang kelelahan di laut karena angin ribut atau lelah setelah seharian di sawah tandur tapi masih ingin jagoan di kamar tidur,” katanya sambil menunjukkan botol berisi minyak dan dua kerat tulang ekor.

“Kalau ini minyak ular, sangat bagus untuk luka bakar, kesenggol knalpot, tersayat pisau, terjatuh, juga menghilangkan gatal-gatal, seperti kudis, kurap, panu, dan segala macam borok. Beli sebotol, setengah masalah hidup sampean hilang,” Pak Sudar mencerocos sembari mengangkat botol seukuran jempolnya, berisi minyak kekuningan bercampur semacam duri yang dia sebut tulang ular.

Sebenarnya ular piton itu sekadar daya tarik untuk mengumpulkan orang. Nyatanya, cara itu efektif. Seratusan orang berkumpul tanpa dikomando. Pak Sudar, yang selalu berbaju dan bertopi koboi hitam, selalu membuka dagangannya dengan mengeluarkan dua ularnya. Ketika orang-orang ramai berkumpul, dia memasukkan kembali ularnya, lalu nyerocos tentang betapa sakti obat-obat yang dia jual. Nanti, di akhir promosi, ketika orang-orang mulai sepi, dia mengeluarkan lagi dua ularnya, dan pengunjung ramai lagi. Dia pun nyerocos lagi tentang obatnya yang ampuh.

Baca juga  Prosopagnosia

Setiap Wage, ada saja yang beli. Bukan hanya satu atau lima, tapi bisa puluhan orang. Meskipun tidak sesakti yang diomongkan, obat-obat itu tetap saja laris. Aku pernah mencoba minyak oles yang katanya dapat membunuh ulat-ulat yang menggerogoti gigiku. Cukup dengan mengoleskannya ke kapas, lalu memasukkan kapas itu ke gigi berlubang.

“Tunggu lima menit. Pasti ulat-ulat itu mati dan masalah hidupmu selesai,” kata Pak Sudar meyakinkan.

Nyatanya, itu gombal belaka. Sakit gigiku seolah-olah abadi meski sudah aku ikuti anjurannya berulang kali. Sebagaimana aku, sepertinya orang-orang lebih tertarik pada omongan Pak Sudar daripada obat itu sendiri. Itu juga yang dialami Ibu, penjual daging sapi yang hanya berjarak 3 meter di belakang Pak Sudar mengobral kata, mempromosikan khasiat obatnya. Saat libur sekolah, aku beberapa kali menemani ibuku di pasar sambil menonton ular Pak Sudar.

***

Selama bertahun-tahun, Ibu cuek saja dengan ocehan Pak Sudar karena Ibu dalam kondisi baik-baik saja. Tidak pernah mengeluh sakit. Paling sesekali pegal di kaki atau pundak karena mungkin kelamaan duduk di pasar. Biasanya cukup dengan minum jahe panas lalu tidur, hilang semua sakitnya. Tapi belakangan Ibu mengeluh sakit di pinggang yang dia duga karena terlalu lama duduk menunggu dan meladeni pelanggan.

Ibu tergerak juga membeli sebotol minyak urut yang katanya ampuh menghilangkan pegal dan linu. Itu setelah Ibu mencoba beragam obat, tapi keluhan sakit pinggangnya tak segera pergi. Ketika Ibu menanyakan cara pakai obat itu, Pak Sudar dengan serta-merta meraih tangan kanan Ibu.

Diolesin saja tipis-tipis di pinggang seperti ini,” kata Pak Sudar mempraktikkan olesan itu di punggung tangan ibuku sambil melempar senyum.

Aku tidak menyukai cara Pak Sudar tersenyum karena sepertinya tidak tulus. Tapi aku tidak tahu persis ketidaktulusan itu di sebelah mana. Yang jelas, ibuku membalas senyumnya. Cantik sekali ibuku kalau tersenyum begitu. Sudah lama dia tak tersenyum semanis itu. Seingatku sejak Ayah pamit pergi menjadi tenaga kerja di Malaysia dua tahun, enam bulan, dua belas hari lalu. Aku menghitungnya dengan cermat karena masih berharap dia pulang. Tapi, bagi ibuku, ayahku bukan miliknya lagi. Itu yang membuat dia enggan tersenyum.

Baca juga  Mereka Menikah di Kolong Jembatan

***

Gara-gara sakit pinggang itu, Pak Sudar punya tiket untuk mampir ke rumah. Semula beralasan ingin memijat ibuku menghilangkan keluhan di pinggangnya. Benar saja, dua hari setelah dipijat Pak Sudar, ibuku bugar kembali setelah tiga hari hanya bisa mengerang kesakitan di ranjang.

Sejak saat itu, setiap hari pasaran Wage, Pak Sudar rajin mampir ke rumah. Entah sebelum atau sesudah jualan di pasar. Katanya mengantar ramuan penjaga kebugaran. Tapi seringnya mereka berlama-lama di kamar tidur dan membiarkan aku bermain-main dengan dua ular piton di ruang tamu.

“Dia orang baik. Pintar merawat Ibu,” kata Ibu ketika aku bertanya kenapa dia begitu baik kepada Pak Sudar, tapi tidak dengan pria-pria lain.

Meskipun masih kelas II SMP, aku cukup bisa merasakan tatapan-tatapan pria yang punya hasrat selain menyayangi. Dalam tatapan Pak Sudar, aku melihat hasrat lain itu. Tapi sulit menjelaskannya kepada Ibu.

***

Siang sedang terang-terangnya pada musim kemarau. Angin laut berembus pelan menguarkan aroma khas. Debu-debu dari nako jendela membuatku terbatuk di ruang tengah sendirian. Terdengar pintu diketuk. Siapakah yang siang-siang bertamu? Apalagi saat itu Ibu sedang di pasar begini. Dengan diliputi penasaran, aku memutar kunci pintu. Muncul wajah Pak Sudar.

“Halo, Laras. Ibu ada?” dia bertanya sembari tersenyum.

“Jam segini, Ibu sudah di pasar.”

“Oh, tidak apa-apa. Boleh saya masuk?”

Aku ragu untuk mempersilakan Pak Sudar masuk, tapi tidak punya alasan kuat untuk menolaknya. Pak Sudar masuk ketika melihatku hanya terdiam. Aku hanya menatapnya setengah tak rela. Entah mengapa, ada perasaan yang janggal di dadaku. Aku seperti takut melihat Pak Sudar.

“Boleh minta air minum?”

Dengan langkah malas, aku ke dapur mengambil gelas dan menuang air putih dingin dari kulkas. Ketika membalik badan, Pak Sudar sudah di depanku dengan telunjuk menempel di jari. Sesaat kemudian, dia mendekapku keras sampai sulit bernapas. Aku meronta hingga gelas terjatuh. Tangan kanan Pak Sudar membekapku dengan kain hitam beraroma lengur dan amis seperti baju yang lama tak dicuci. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa.

Saat bangun, dua ular piton melingkar di sisi kananku, sementara Pak Sudar duduk di sisi kiri ranjang dengan senyumnya yang memuakkan. Aku bingung dengan segala yang terjadi pada diriku, pada badanku. Tidak ada luka, tidak ada nyeri. Tapi ada yang sakit di dada ini. Rasa seperti saat mendengar kabar bahwa ayahku menikah lagi. Rasa dikhianati.

***

Berbulan-bulan aku terpuruk dalam diam. Hendak bercerita kepada ibuku, takut dia malah memarahiku seperti ketika kubilang tak suka kepada Pak Sudar. Bercerita kepada teman, aku yakin mereka juga tak paham atas pengalaman ini. Hanya kepada langit aku berkisah, meskipun tak tahu apakah langit memahami beban ini.

Baca juga  Maut di Ladang Jagung

Tidurku tak pernah nyenyak. Sering ibuku mendapati aku berteriak menyebut ular, lalu terbangun dengan keringat dingin. Dalam mimpi-mimpi itu, aku sering melihat Pak Sudar berbaju dan bertopi koboi hitam berjalan mendekati dengan senyum ganjilnya. Lalu sekonyong-konyong berubah menjadi ular piton besar yang membelitku hingga sesak napas. Tak jarang setelah itu aku demam hingga berhari-hari.

Ibuku malah sering mendatangkan Pak Sudar untuk mengetahui sakit yang kuderita. Melihat Pak Sudar, badanku menggigil.

“Dia hanya demam. Kasih saja ini,” kata Pak Sudar menyerahkan sebotol kecil berisi pil-pil hitam, lalu mencium kening ibuku yang akan dia nikahi bulan depan.

Aku makin tersiksa. Aku butuh teman, siapa saja. Dalam kondisi seperti itu, aku sering mengingat kakekku, yang berpulang dua tahun lalu. Dia paling pandai menenangkan hatiku. Ketika nilai-nilai raporku tak sesuai dengan harapan, dia berujar, jangan sampai kebahagiaanku direnggut oleh angka-angka yang dibuat manusia.

“Kita ini orang merdeka. Orang merdeka selalu mempunyai pilihan untuk hidup dalam kesedihan atau kebahagiaan,” katanya sembari memelukku hangat dan menenangkan.

Aku rindu Kakek. Aku rindu pelukan itu.

***

Dua ular piton meliuk pelan. Sisik kulitnya yang hijau-hitam mengilat terpapar sinar matahari siang. Sambil terus mendesis, ular-ular itu maju menuju penonton. Pak Sudar terus mengoceh tentang jenis dan khasiat obatnya sembari sesekali mengarahkan ular-ularnya agar tidak mengganggu penonton yang juga calon pembeli itu.

Mik dia taruh di saku baju hitamnya. Tangan kanannya menenteng botol obat, sementara tangan kirinya memegang sebatang tongkat besi dengan liukan di ujungnya untuk mengarahkan ular-ular. Dia mengoceh tanpa henti hingga bibirnya berbuih. Aku dapat mencium aroma busuk buih itu.

Tiba-tiba penonton menjerit, lalu membubarkan diri. Tak ada yang berani mendekat. Ular-ular itu masih asyik menggeliat, mendesis, dan menjulurkan lidahnya ketika Pak Sudar tersungkur bersimbah darah di antara botol-botol obatnya. Sebilah pisau daging menancap di punggungnya. Aku lega.

Cibubur, 21 Juli 2020

Hilmi Faiq, penulis kelahiran Lamongan, Jawa Timur. Buku kumpulan cerpennya, Pesan dari Tanah, baru saja terbit.

Loading

Average rating 4.9 / 5. Vote count: 10

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. Fela

    Duh, ikut lega baca endingnya. Seru ceritanya

  2. fela

    Cerpen yang membuat sedih sekaligus senang…

  3. Wah… Serius keren inj..

Leave a Reply

error: Content is protected !!