Cerpen, Ilham Q Moehiddin

Seraphim

0
(0)

Cerpen Ilham Q. Moehiddin (Jawa Pos, 11 Maret 2018)

Seraphim ilustrasi Budiono - Jawa Pos

Seraphim ilustrasi Budiono/Jawa Pos

“MEREKA datang. Mereka sudah datang,” bisik Suralim seraya beringsut, memiringkan tubuhnya seperti orang jijik akan sesuatu. Liar matanya menelusuri kemungkinan jejak di dinding atau di keremangan yang bukan diciptakan oleh lampu redup di kamar ini.

Perempuan di sisinya tersentak bangun.

“Mereka siapa?” tanyanya cemas.

Suralim buru-buru menaikkan telunjuk dan menempelkan ke bibirnya. Ia mendesis, meminta perempuan di sisinya itu hening sejenak. Matanya tetap liar dan berputar-putar aneh, telinganya seperti berusaha menangkap suara.

Saripah bingung di sisi suaminya. “Mereka siapa?” ulangnya.

Wajah Suralim mengeras. “Bayangan-bayangan hitam dan kata-kata.”

Perempuan di sisi lelaki itu mendadak murung. Saripah sedih. Seperti malam-malam sebelumnya, tidur Suralim terus terteror oleh sesuatu yang tak bisa ia lihat.

#1

Saripah tak pernah mempersoalkan bagaimana cara Suralim mendapatkan semua tempe yang kini tersimpan di lemari. Suaminya itu terus saja meributkan tingginya harga kedelai. Saripah juga kadang tak peduli jika suaminya tak mandi berhari-hari dan aroma ketiaknya memenuhi rumah kecil ini. Tak pernah ada rahasia yang berhasil mereka simpan atau rahasia yang pergi diam-diam dari rumah petak 42 meter persegi berdinding semitembok ini.

Dinding yang selalu tak berhasil meredam lenguhan Neneng, tetangga rumah sebelah, saat didatangi Suryono. Dinding yang juga kerap mengirim tangis perempuan itu saat ditempeleng oleh lelaki yang sama. “Ia tak suka sarapan singkong rebus,” isak Neneng esok paginya, tentang alasan Suryono menamparnya.

Suryono memang bejat. Lelaki itu suka sekali memukuli perempuan. Padahal, Neneng hanya kekasihnya belaka. Ia kerap datang saat larut, lalu menginjak paha Neneng yang sedang terlelap. Belum lagi usai geriap mata perempuan itu, Neneng sudah ia paksa agar membuka kakinya. Tetapi pagi-pagi, Neneng sudah menangis.

“Mana si Suryono?” tanya Suralim.

“Sudah pergi,” tukas Neneng.

“Kau diapakan?”

“Ia menempelengku lagi.”

“Kenapa lagi dia itu?”

“Ia tak suka saat aku menolak membersihkan muntahan mabuknya.”

Suralim benci melihat Neneng diperlakukan begitu. Ia kemudian mengomel, mengomentari nasib perempuan tetangganya itu. Dua hal yang sering membuat Suralim mengomel: saat perempuan itu melenguhkan gairah dan saat ia menangisi tubuhnya yang dipukuli Suryono.

Baca juga  Surga dalam Pistol

“Aku akan senang sekali jika nasib Suryono berakhir dalam koper di tempat sampah dan aku membaca tentang itu di halaman koran.”

“Bukankah kau tak suka baca koran?” tanya Saripah.

Suralim mengangguk cepat. “Ya. Walau aku tak suka baca koran.”

Itu keinginan paling mengejutkan dari Suralim selama mereka berumah tangga.

#2

Saat Saripah pulang dari pabrik, tak ditemuinya Suralim. Entah ke mana suaminya itu. Baru menjelang magrib, Saripah melihat suaminya melenggang masuk rumah. Suralim mendengus saat istrinya bertanya ke mana ia seharian ini.

“Mana ada sayur impor yang tak berpengawet. Tahan berminggu-minggu tak busuk dan orang-orang membeli karena harganya murah. Huh, itu tak sehat. Kita semua sedang diracuni,” Suralim mengomel lagi.

Ia seharian di pasar impres. Akibat kenaikan harga BBM, tomat lokal hilang dari lapak sayur, katanya. Kubis Vietnam Cuma 2.000 rupiah per ikat. “Gila itu! Petani di sini mana bisa memberi harga seperti itu. Rugi. Rugiii…!” omelnya.

Saat Saripah datang mengantarkan kopi, Suralim masih sibuk menjelaskan hitungannya. Harga kubis itu tak masuk akal, rutuknya. Tentu saja kubis dihargai murah begitu jika pemerintah membebaskan ongkos impornya. Suralim menduga, harga dasar kubis impor itu tak kurang dari 500 rupiah saja.

“Sebaiknya kau pergi mandi,” saran Saripah.

“Sebentar lagi.”

“Kau tadi memanggul kol busuk!”

“Kol lokal mudah busuk karena tak berpengawet,” sergah Suralim.

“Kau dibayar berapa memikulnya ke pembuangan di belakang pasar?”

“5.000 rupiah per karung.”

Saripah menutup hidungnya. “Mandilah. Baumu sudah persis kol-kol busuk itu.”

Suralim mengendus bau ketiaknya sendiri. Ia sambar handuk dan menuju kamar mandi.

#3

Selain mencemaskan si Neneng, kenaikan BBM dan harga-harga sayuran lokal di pasar impres, Suralim juga masih sering berteriak malam-malam. Mimpi yang sama selalu datang meneror tidurnya dan itu membuat istrinya ikut gusar.

Setiap kali Saripah membangunkannya, wajah Suralim seperti orang linglung. Tubuhnya mandi peluh. Jika dihitung-hitung, kamar kecil mereka di rumah petak ini sudah mengumpulkan banyak sekali cerita. Suralim mengoleksinya hampir tiap malam.

Berkali-kali Suralim harus minta maaf pada istrinya. Malam ini ia mimpi buruk lagi. Suralim duduk sambil menekuk kaki ke dada, gemetar ketakutan di ujung ranjang. Wajahnya pias seperti mayat. “Seraphim…!” desis Suralim.

Baca juga  Tidakkah Kau Ingin Pulang Tahun Ini, Nak?

Jika sudah begitu, Saripah kasihan sekali padanya. “Hah?”

“Mereka mengepung kota-kota dan membakar orang-orang…”

“Hah?”

Suralim mendekat dan bicara pelan di dekat wajah istrinya. “Tubuh para Seraphim itu menyala-nyala. Orang-orang belum pernah menemui makhluk cerdas sekaligus penipu seperti mereka. Orang-orang yang mengikuti, mereka bakar dengan kata-kata. Kau ingat ceritaku tentang Patmos?”

“Patmos?” Saripah makin bingung.

“Ya. Patmos. Berwujud kerbau, elang, singa, dan manusia. Masing-masing memiliki empat sayap. Empat makhluk jahat itu dari sebuah pulau kecil. Tapi mereka sudah di sini.”

Saripah tak tahu seserius apa mimpi-mimpi itu bagi suaminya. Suralim bukan seorang pengidap achluophobia. Sebagai istri, Saripah bisa memastikannya. “Sudahlah. Tidurlah lagi. Aku sudah berkali-kali bilang padamu agar tak mengudap ubi rambat sebelum tidur. Tadi kau menelan apa?”

“Cuma aspirin.”

“Dasar kepala batu! Kau benar-benar keras kepala.”

Pagi harinya, mimpi yang menakutkan semalam itu seperti menguap tanpa bekas dari benaknya. Tetapi Suralim tetap mengerutu. Ia tak menemukan berita tentang nasib Suryono di koran pagi ini.

#4

Pulang dari pasar hari ini, Suralim menggerutu dengan hebat.

“Kau ini kenapa lagi?” tanya istrinya.

“Menteri blusukan ke pasar. Ia bertanya macam-macam pada pedagang, bicara yang tak jelas soal mekanisme pasar global pada pedagang sayur dan ikan.”

“Baguslah itu,” sergah Saripah.

Langsung bengkok mulut Suralim, “Bagus apanya!? Sebelum ia datang dan setelah ia pergi pun harga-harga sayur masih tak berubah. Tetap tinggi. Apanya yang bagus itu?”

“Pasti menteri beli sesuatu dari pedagang, kan?”

Suralim menggeleng. “Mana ada menteri yang belanja sayur dan ikan.”

“Berarti yang belanja ibu menteri, kan?”

Raut muka Suralim langsung kusam. “Jangan mimpi! Orang-orang di pasar nyaris mengiranya wartawan. Ia ke sana-kemari sibuk memotret dengan kamera besar. Kalau saja tak dikelilingi polisi, ia tak beda dengan juru foto amatiran yang ikut berkerumun di sana.”

Orang-orang memang sudah meragukan si menteri. Banyak sekali kasus besar dikabarkan dari kantornya. Menteri yang suka mengeluh pada wartawan tentang setiap lekukan, sudut ruangan, bunga-bunga yang ia curigai telah dipasangai penyadap oleh petugas dari komisi anti korupsi.

Menteri itu pernah murka, saat seorang petani tua tak sengaja lewat di dekat panggung kehormatan di acara yang ia hadiri. Saripah mendengarkan kejengkelan Suralim, seraya bilang itu wajar, lalu mengutip sejarah Anwar Sadat yang tewas ditembak dalam sebuah parade militer. Ia sambung dengan kisah tentang Mahatma Gandhi yang dibunuh seorang lelaki karena dianggap terlalu memihak golongan tertentu. Saripah juga mengingatkan suaminya pada nasib John Lennon yang terkapar mati di luar apartemennya karena kegilaan seorang penggemar fanatik.

Baca juga  Penjaga Buku dan Tokoh Fiksi yang Tidak Bahagia

Tetapi, sebanyak itupun Saripah memberi contoh, tetap saja Suralim mengasihani petani tua yang pasti ketakutan setengah mati dan mengencingi celananya saat ditanyai para polisi. Wajah Suralim mendadak serius. “Ripah, ingatkah kau tentang Seraphim yang datang di mimpimimpiku?”

Istrinya mengangguk.

“Aku benar. Sudah kubilang mereka di sini sekarang. Tadi mereka kulihat ada di pasar. Mereka mengelilingi menteri, tertawa bersama menteri dan sibuk menjelaskan apa saja pada menteri.”

#5

Seperti pagi sebelumnya, Suralim masih menyukai harapan buruknya terhadap nasib Suryono. Tetapi di koran pagi tak ia temukan berita tragis tentang lelaki itu di koran hari ini. Suralim lalu gegas mandi sebelum pergi setelah sarapan pisang goreng dan segelas kopi.

Saat Saripah ke teras hendak menggantung jemuran, didapatinya Neneng yang sedang menyapu. “Mana Suryono?” tanya Saripah.

“Sudah berhari-hari ia tak ke sini,” jawab perempuan itu tenang. Saripah senang melihat wajah Neneng yang berseri-seri.

Hampir malam, saat Suralim tergesa memasuki rumah dengan koran di tangannya. Pada Saripah, ia tunjukkan berita yang sukar ia percayai. Di koran sore, di halaman kota, bersandingan kolom dengan berita menteri-menteri yang blusukan, ada berita-foto tentang mayat lelaki yang ditemukan dalam koper di tempat pembuangan sampah. Menurut saksi, koper itu dibuang seseorang dua hari lalu dan polisi sudah menangkap pelaku di tempatnya bekerja.

Suralim membanting koran ke meja. “Seharusnya lelaki bejat itu mati di koran pagi,” gerutunya, “Bukan di koran sore!” ***

 

Molenvliet, Januari 2018

Ilham Q. Moehiddin. Satiris, menggemari Ambrose Bierce Gwinnett. Menulis banyak cerpen.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!