Cerpen, Ongki Arista UA

Kakek Tidak Akan Mati

0
(0)

Cerpen Ongky Arista UA (Republika, 11 Maret 2018)

Kakek Tidak Akan Mati ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg

Kakek Tidak Akan Mati ilustrasi Rendra Purnama/Republika

Kakekmu tidak akan mati, kata nenek.

***

Sejak kanak-kanak, aku sudah percaya bahwa semua manusia akan mati tanpa terkecuali. Mula-mula aku percaya karena ustaz di tempatku mengaji selalu berbicara soal kematian. Mati, akan mati, dan sungguh manusia akan mati.

Kemudian, kepercayaanku bertambah seratus kali lipat saat ibu meninggal di depanku–saat umurku belum genap tujuh tahun–karena penyakit yang tidak diketahui. Dua tahun sebelumnya, bapakku meninggal karena tenggelam di laut saat menangkap ikan, dan aku tak sempat melihat jasadnya sampai detik ini.

Jadi, aku merasa perlu protes pada nenek. Ya, kutahu, kakek memang belum mati, tapi dia akan mati. Pasti. Pasti akan mati.

“Mengapa nenek begitu percaya kalau kakek tidak akan mati?” Aku bertanya pada nenek di dapur, saat nenek sedang menumbuk kopi untuk lelakinya yang tidak akan mati.

“Tanya pada kakekmu. Dia yang bilang kalau dirinya tidak akan mati,” kata nenek.

“Apa nenek percaya?”

“Jelas percaya, cong (anak muda). Kakek mu tidak pernah berbohong pada nenek.”

“Tapi, mengapa ibu dan bapak meninggal?” Tanyaku lagi. Tanya untuk sekadar memulai protes.

“Tanya pada kakekmu.”

Sungguh pun nenek percaya, seharusnya nenek tidak perlu percaya segala hal pada kakek, apalagi soal kematian. Lagi pula, kematian itu bukan urusan manusia. Apa mungkin ada orang yang benar-benar paham atas sesuatu yang bukan urusannya sendiri?

“Sejak kapan kakek bilang dirinya tidak akan mati?” Aku kembali bertanya setelah beberapa detik kepala tercenung-cenung.

“Sejak pertama kali pacaran di sebuah taman kampus.”

“Bagaimana bisa nenek percaya?” Aku terus bertanya meski ingin bertanya hal lain. Apakah dulu nenek masih kacapok (termasuk di dalamnya) ke era pacaran di taman-taman kampus?

“Karena kakekmu mengucapkan itu bersamaan dengan ikrar setia cintanya pada nenek. Bagaimana nenek tidak percaya? Kakekmu setia, dan pasti nenek percaya dia tidak akan mati.”

Baca juga  Tumis Blenyik

Kepercayaan sepertinya bukan lagi soal apa yang benar. Nenek begitu percaya bukan karena manusia tidak akan mati, tapi karena cinta yang mungkin mendekam jiwanya, dan kemudian seperti mengharuskan dirinya untuk percaya begitu saja. Percaya pada hal yang semestinya tidak dipercaya.

Kakek sudah beberapa kali masuk rumah sakit. Nenek masih tenang-tenang saja. Bahkan, dirinya beberapa kali tidak ikut mengantar kakek berobat ke rumah sakit. Kata nenek masih sama, kakek tidak akan mati. Apakah kakek adalah manusia berbeda dengan ibuku dan bapakku yang mungkin tiada akan pernah mati? Tapi, ayah yang lebih dahulu meninggal adalah keturunan kakek. Apakah benar, atau apakah mungkin, kakek benar-benar tidak akan mati?

***

Di suatu pagi, kakek berada di depan surau, di sebuah lencak (ranjang tempat duduk) bambu persegi empat yang cukup untuk menampung tiga hingga empat orang tubuh manusia. Dia duduk bersila dengan kopi, tembakau racik, kertas rokok, dan sabuk jimat yang biasa dia kenakan. Konon, sabuk itu yang membuat kakek kebal kematian. Aku menghampirinya, mengulang masa seperti ketika masih kanak-kanak.

Pohon kedondong di depan kakek sesekali menyemburkan angin. Beberapa lipat daun gugur, sebagian hinggap di lencak kita duduk. Burung-burung pagi berkicau seolah senang dirinya masih hidup dan dapat menikmati matahari berbau pagi. Aku dan kakek duduk bersila dekat berse belahan. Sesekali kubenamkan mata dengan khusyuk ke tubuh kakek. Matanya sudah tidak normal melihat dan telinganya juga sama, tidak normal mendengar.

Wajah kakek sudah keriput seperti disepuh waktu. Apakah waktu bisa menyepuh tubuh manusia menjadi tua? Lipatan keriput itu terlihat jelas di tubuhnya. Daging-daging seperti hanya sebuah kain bagi tulangnya. Pipinya membentuk lesung yang bukan lesung pipi.

Jika kupandang kakek, aku seperti sedang memandang tengkorak di sebuah laboratorium, atau seperti tubuh manusia yang dironsen, tampak tulang-tulangnya. Dalam hati aku yakin, kakek akan mati. Walau tidak akan mati dua tahun lagi, kuyakin akan mati. Tak mungkin masih dua ratus tahun lagi. Tapi yang pasti, kakek akan pasti mati. Entah kapan.

Baca juga  Orang-Orang Jatuh

Tanpa kutunggu waktu lebih lama, aku bertanya pada kakek soal kematian dirinya yang katanya tiada akan pernah datang. Dia hendak menyulut rokoknya, kubantu menyalakan koreknya.

“Kakek, apakah kakek tidak akan menemui ajal?”

Aku hanya berpikir, semoga pertanyaan ini tidak terkesan seperti sedang menyuruh kakek segera mati dan menemui janji umurnya. Kuulangi pertanyaan itu beberapa kali setelah kupikir kakek tidak mendengar tanyaku. Nenek-nenek tiba-tiba datang, ikut duduk di lencak.

“Ya, aku tidak akan mati.”

“Bagaimana bisa kakek tidak akan mati jika waktu semakin menyepuh tubuh kakek?”

Tanpa berbicara panjang apakah manusia akan mati atau tidak, melihat tubuh kakek saja yang kian hari kian sepuh, aku sudah sangat yakin bahwa akan datang kematian bagi dirinya. Mungkin tak akan la ma lagi. Lalu, bagaimana jadinya jika tidak ada kematian pada tubuh yang semakin disepuh waktu seperti kakek? Atau, bagaimana kakek akan bertahan hidup dengan kondisi tubuh sangat sepuh?

“Dengan begini,” kata kakek.

Aku melempar pandangan ke arahnya, ke seluruh lekuk tubuhnya. Aku tak paham. Kakek tidak memulai gerak apa-apa atau menjelaskan kata-katanya lebih lanjut.

“Maksud kakek?”

“Selama aku masih bisa berkata aku tidak mati, maka aku tidak akan mati.”

Aku merasa dipermainkan oleh kata-kata kakek. Kutahu, itu jawaban yang tak lebih dari sekadar permainan kata. Bukan itu yang kumaksud. Nenek yang berada di sampingku tak menyambung sepatah kata pun, hanya menuangkan kopi dari cerek ke cangkir milik kakek yang sudah hampir habis.

“Apakah kakek sungguh yakin tidak akan mati?”

“Tidak! Tidak akan. Aku sudah lama menunggu kematian dan nyatanya tidak pernah datang. Aku yakin, kematian tidak akan pernah datang untukku.”

Dunia tiba-tiba terkesiap. Lamunan-lamunan seperti sedang dijeda oleh sesuatu yang tak tergambar jelas. Daun kedondong berlipat-lipat gugur memenuhi lencak. Pagi dan kicauan burung seperti hilang. Angin yang bertiup seolah-oleh lenyap seperti dihalang sebuah tembok besar. Kakek tiba-tiba kehilangan napasnya, tubuhnya lemas seperti tiada lagi tulang di dalamnya.

Baca juga  Dari Laut

Kakek meninggal. Nenek menjerit-jerit seperti jeritan anak kecil saat kakinya terjepit roda sepeda yang dikendarianya, tersentak-sentak jeritnya. Sepertinya, malaikat maut sudah dari tadi ikut bersama kita di lencak bambu ini atau di atas dahan pohon kedondong sambil menahan angin dengan kaki terjuntai tepat di atas ubun-ubun kakek.

Dan kematian bukan lagi tentang manusia yang dapat bertahan hidup atau tidak, tentang keyakinan atau tidak, umur tua atau tidak dan bukan pula soal menunggu waktu atau tidak, tetapi kematian adalah soal kepastian yang tak begitu tepat dipastikan–oleh siapa pun–kapan akan benar-benar datang atau kapan akan benar-benar tidak datang.

Aku tak dapat melanjutkan protesku pada nenek. Kakek telah menemui ajalnya. Kupikir akan ada sesak dalam dada nenek yang mungkin tiada pernah terhingga sebab dirinya merasa telah dibohongi oleh kakek. Kakekmu tidak akan mati, kata nenek. Dan kini, nenek benar-benar dibohongi.

Apa yang mungkin terlimpah jatuh ke dalam dada nenek, apakah kesedihan karena dibohongi atau kesedihan karena kema tian? Dan aku, apa yang paling membanggakan dari protes yang telah menemui kepastian, apakah kepastian kematian kakek atau kepastian tentang nenek yang telah dibohongi kakek? Apa yang pasti dari protes dan kepercayaan yang diprotes?

“Hanya satu kepastian, semua akan kembali pada yang Satu.”

 

Lahir 23 tahun yang lalu, di Desa Banbaru, Giliraje-Sumenep bernama lengkap Ongki Arista Ujang Arisandi, tepatnya pada 24 Juli 1994. Bernama pena; Ongky Arista UA Domisili di Desa Somalang-Pakong, Dusun Barat RT 001/RW 001 Kab. Pamekasan. Beberapa cerpennya tersiar di Media Indonesia, Radar Surabaya, Riau Pos, Banjarmasin Pos, Nusantaranews.co, dan Haluan. Aktif sebagai mentor di Komunitas Menulis Cerpen di Ponpes Nurul Islam Karangcempaka-Sumenep.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

4 Comments

  1. Kerren. Sungguh membuat aku kebingungan. Pertanyaannya mampu menggelidikku.

  2. Noor Jihan

    Suka dengan gaya bahasa n cara mengurai ceritanya.. sukses selalu ya

  3. Noor Jihan

    Suka dengan gaya bahasa n cara mendeskripsikan ceritanya..
    Sukses selalu ya..

Leave a Reply

error: Content is protected !!