Cerpen Danang Cahya Firmansah (Pikiran Rakyat, 18 Maret 2018)
DYASS nama gadis itu. Gadis bertahi lalat di pipi kiri sebesar biji kacang tanah, wajah oval, rambut hitam mengilat itu selalu membuyarkan hari-hariku sejak kali pertama melihat dia dan kemudian berkenalan. Awalnya dalam beberapa diskusi buku di kampus, ia selalu hadir. Ia datang bersama kawan-kawan perempuan, dan aku datang bersama kawan-kawan laki-laki. Dia selalu memandangku, berkali-ulang dalam setiap acara diskusi buku.
Bermula dari gesekan mata kami, kemudian aku memberanikan diri berkenalan. Lalu kami tukar kontak nomor hape. Saat bertemu, kami tak banyak ngobrol, namun mata kami lebih banyak berkata.
Setelah mendapat nomor dia, aku langsung menyapa lewat SMS. Dia pun membalas, dan obrolan pun berlanjut. Obrolan yang membuat hari-hariku terisi lambungan harapan-harapan bahwa dia segera menjadi milikku.
Dyass pun membalas setiap pesan yang kukirim dengan hangat, seperti seseorang yang lama kenal. Kami berdua dengan mengandalkan sinyal, bercakap-cakap banyak hal, tentang perkuliahan, keluarga hingga menjurus soal cinta. Ya, soal cinta.
Obrolan lewat dunia maya terasa kurang mantap. Aku meminta bertemu Dyass keesokan hari. Dyass dengan antusias mengiyakan. Oh betapa indah dunia, aku merasa tak rugi telah membeli pulsa dan paketan internet. Usahaku di dunia maya kuubah ke dunia nyata. Aku ingin bertemu langsung sambil menatap mata, tahi lalat, dan rambut hitamnya.
Kami sepakat bertemu.
Saat bersama di sebuah kedai, aku memendam rasa gugup. Keringat dingin membasahi tubuh. Sesekali aku mencium aroma tubuhku, apakah minyak wangi yang kusemprot ke tubuhku kalah oleh bau keringatku? Aku salah tingkah.
Namun Dyass seperti tak merasa gugup. Dia bicara dengan mengalir diiringi tawa. Saat ia tertawa, aku pun tertawa. Meski tawaku bukan lantaran lucu. Aku tak enak hati pada orang yang tertawa di depanku. Sekaligus agar dia tak tahu kegugupanku.
Setelah berjam-jam di kedai, kami pun pulang ke kos masing-masing. Dan malam- malam berikutnya kami sering bertemu. Intensitas pertemuan itu membuat kegugupanku lenyap. Kini cinta bangkit di jiwaku.
***
PADA hari-hari berikutnya hubungan kami makin akrab, kian dekat mengikat erat. Aku tumbuh kangen jika tak bertemu, tumbuh gelisah jika tak ada kabar dari dia. Dyass menjadi candu yang kian hari membuatku tak bisa lepas. Seperti ada tali mengikat, bagai lem yang merekatkan.
Sebagai lelaki, aku sadar dalam membangun hubungan cinta, lelakilah yang sepantasnya memulai, mengutarakan, bukan malah memendam menimbun rasa yang kian menumpuk. Tergerak atas kesadaran itu, aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku, menyatakan cinta, sekaligus memintanya menerima menjadi pasanganku.
Malam itu juga aku memintanya bertemu. Seperti hari-hari biasa, ia pun mengiyakan. Ya, pada malam itu saat di perjalanan, keringatku keluar membasahi badan. Keringat yang keluar dari rasa gugup seperti kali pertama bertemu. Aku memikirkan rangkaian kata yang pas dari mulutku untuk membungkus ungkapan perasaan. Perasaan yang menggumpal, bermula dari sorot matanya yang tertuju padaku setiap acara diskusi buku.
Sesampai di kedai, dia justru telah datang lebih awal, menungguku. Dyass duduk dengan berpakaian serba merah, bibir berwarna merah darah. Lampu kedai yang remang membuat dia bagai meteor terbakar di langit malam. Bagiku dialah pusat perhatian.
Setelah memesan minum, kami ngobrol. Kegugupanku makin merunyak bangkit seperti kali pertama aku mengajaknya bertemu di kedai ini. Saat aku hendak mengutarakan isi hatiku, tiba-tiba lidahku kelu dan kaku. Kata-kata macet di tenggorokan. Dada sesak.
Dyass malah memegang tanganku yang bergerak-gerak karena salah tingkah. Ya. ketika tanganku di atas meja, dia segera meremas lembut sambil berkata. “Maukah kau jadi pasanganku?” Aku tercekat kaget. Hatiku berdebar-debar hebat, antara bahagia, malu, dan benci menyeruak di rongga dada.
Suka karena dia ternyata menyimpan perasaan sepertiku. Malu, sebagai lelaki sepantasnya aku mengutarakan lebih dulu. Benci karena kejantananku ternyata lebih kecil dari tahi lalat gadis di depanku. Sialan!
“Kenapa melamun? Keberatan ya atas permintaanku?”
Lamunanku buyar. Aku segera mengangguk keras. Dan, ganti meremas tangan Dyass. Dyass pun tersenyum, matanya berbinar-binar bagai bintang berkelipan di langit malam. Oh, betapa bahagia hatiku saat itu, meski masih memendam benci pada diri sendiri.
***
HARI-HARIKU kini tak menggigil lagi. Dyass mewarnai kain kanvas kosong di hatiku dengan lukisan-lukisan indah. Namun segera, lukisan itu tercoret oleh tinta hitam yang membuyarkan keindahan. Aku sebenarnya telah curiga, namun perasaan itu selalu kusingkirkan. Kecurigaanku itu tanpa sengaja menemui titik jelas. Curiga berubah menjadi percaya. Dyass ternyata memiliki pacar selain aku.
Aku sangat cemburu mengetahui perkara itu. Kejelasan itu berawal saat kubuka hape dia dan tanpa sengaja membuka pesan dari seseorang cowok di kontaknya. Kontak itu ia namai Honey. Kuperiksa nomornya dan ternyata bukan nomorku. Hampir saja hape itu kulemparkan ke muka Dyass. Sekuat hati aku mengendalikan amarah. Namun perlahan kubaca pesan itu kembali. Pesan berisi amarah seorang cowok. “Aku sangat cemburu mengetahui kau bersama cowok lain. Sudah lima tahun kita bersama, tapi kau….”
Aku tak melanjutkan membaca pesan itu. Aku justru membayangkan betapa lebih sakit hati si cowok itu ketimbang aku. Aku baru seminggu menjalin cinta dengan Dyass pun merasakan sakit seperti ini! Apalagi jika telah lima tahun? Amarahku pun surut. Meski belum lenyap tuntas.
Aku bertanya pelan dengan nada berat perihal statusnya. Dia pun mengakui. Cowok itu bernama Made, mahasiswa asal Pulau Dewata. Namun dia tak kuasa memilih aku atau Made. Dia tak kuasa. Dyass menangis sesenggukan. Tangisan itu meluluhkan perasaanku. Amarahku bertumpuk oleh belas kasihan.
Sejak kejadian itu aku pun bingung antara memilih melepaskan Dyass atau tetap menjaganya dengan status memiliki pacar selain aku. Setelah berhari-hari, aku menegaskan untuk menjaga Dyass, dengan alasan suatu saat Made tak betah dan menyingkir.
Aku selalu berbuat baik pada Dyass. Sering pula aku menanyakan kabar mengenai Made. Meski penuh kemarahan, namun aku tutupi sekuat hati.
Suatu ketika Dyass bercerita kalau Made sedang sakit. Ya, aku segera mencarikan obat dan memberikan pada Dyass. Dengan langkah semacam itu aku berharap Dyass lebih memilihku karena kebaikanku. Namun hingga berbulan-bulan, Made masih bertahan bersama Dyass.
Di kontak nomor hape Dyass, nama Honey ada dua. Honey 1 dan Honey 2. Honey 1 adalah Made dan Honey 2 itu aku. Hal ini, kata Dyass juga diketahui Made.
***
SAAT bulan memasuki musim pancaroba tepatnya pada Oktober, aku mengalami flu berat. Kukabarkan keadaanku pada Dyass. Ia pun segera datang ke kosku membawakan banyak buah dan beberapa tablet obat. Aku tersipu. Betapa perhatian dia padaku.
“Kaubeli di mana buah ini?”
“Aku nggak beli, Sayang.”
Aku kaget dan bangkit dari rebahan.
“Lantas?”
“Ini dibelikan Made. Dia bilang, ini buat kamu, Sayang.”
Oh betapa mulia hati dia. Lalu sampai kapan ini berakhir? Kataku dalam hati.
Dyass memegang dahiku. “Oh panas sekali suhu tubuhmu, Sayang.”
Tubuhku tetap panas, namun setelah dia mengusap dahiku, amarahku pun reda.
“Bagaimana kabar Made?” tanyaku kemudian sambil merebah lagi.
“Baik kok, Sayang,” katanya sambil mengupas jeruk untukku. ***
Leave a Reply