Cerpen Risda Nur Widia (Kompas, 10 Januari 2021)
NAKAMURA sering gelisah ketika akan tidur. Ia dapat semalaman terjaga memikirkan bayang-bayang buruk bahwa saat tertidur nanti dirinya akan terbaring pucat dalam “reikyusha” [1] yang membawanya ke sebuah upacara “soushiki” [2].
Lalu di sana, orang-orang menatapnya dengan mata murung waktu tubuhnya masuk ke lorong kremasi, syahdan pelan-pelan seluruh daging serta tulangnya menjadi kosutsubun [3] yang siap dimasukkan ke guji kecil untuk dilabuh. Setiap memikirkan semua itu, tubuh Nakamura bergidik.
Sudah satu jam Nakamura terjaga di kamarnya yang tak begitu luas itu. Istrinya, Hinata, tertidur pulas di sampingnya. Nakamura bangkit dan duduk di bibir ranjang dengan tubuh belakang yang gerah. Ia lalu berdiri dan melangkah pelan-pelan ke arah meja rias istrinya. Di sana, Nakamura menatap wajahnya pada cermin. Pria setengah baya itu tercenung saat mengetahui dirinya yang sudah begitu tua. Ia melihat gurat-gurat kasar di wajahnya, serta rambutnya yang menampakkan hakuhatsu no [4]. Ia sekali lagi berpikir firasat itu mungkin akan terjadi dan seharusnya ia tidak takut mengalaminya.
Namun, yang Nakamura gelisahkan bukan soal dirinya segera mati atau tidak, tapi perihal ia yang mati di tanah orang. Padahal ia memiliki cita-cita untuk mengembuskan napasnya di kota kelahirannya Nagano. Ia ingin kematiannya dirayakan menggunakan tata cara Budha di Jepang dengan dua proses penting, yaitu tsuya [5] dan kokubetsu shiki [6]. Lalu, mayatnya dikeremasi di rumah duka Aishoden—tempat di mana ayah dan ibunya dikremasi dahulu—yang tidak jauh dari rumah masa kecilnya. Tapi dua puluh tahun lalu pekerjaan membawanya ke Leicester yang tidak terlalu ramai seperti Liverpool, dan tidak sesepi kota Portsmouth ujung selatan Inggris.
Sebenarnya tidak ada bedanya antara Leicester dan Nagano. Dua kota ini sama-sama menawarkan cara hidup sederhana yang tak berlebihan layaknya kota-kota kecil. Cuma Nakamura risau apakah nanti ketika mati dirinya akan dapat diperlakukan sama seperti yang dilakukan di kotanya? Ia tidak yakin saat prosesi soushiki nanti akan mendapatkan upacara matsugo no mizu [7] dan kamidana fuji [8].
Di kota Leicester ini ia mungkin hanya ditangisi untuk kemudian dikubur ke dalam tanah dan diurai para cacing—tanpa mendapatkan proses kremasi yang dianggap oleh penganut Budha sebagai cara mudah kembali ke nirwana. Setelah secara rumit memikirkan semua itu, Nakamura kembali ke tempat tidurnya.
Sekali lagi, ia berusaha tertidur. Hanya saja ketika Nakamura berhasil menyambangi rasa kantuknya, mimpi buruk malah mecengkeramnya. Di dalam mimpi itu Nakamura kembali melihat dirinya dengan potongan kemeja hitam yang dikelilingi oleh banyak orang. Ia kemudian dikuburkan secara Kristen.
“Malang benar orang itu. Ia mati di tanah orang dan dikuburkan dengan cara agama lain!” Sahut orang-orang. “Mungkin ia juga akan masuk neraka atau surga milik orang lain!”
Suara-suara yang terdengar nyinyir membangunkannya. Namun, ketika ia sudah terjaga, Hinata sudah tidak ada di sampingnya. Ia menjadi penasaran dengan ketiadaan istrinya tersebut. Tidak seperti biasanya, Hinata pergi seorang diri di waktu malam tanpa dirinya. Nakamura tahu sifat istrinya yang penakut. Wanita itu bahkan tidak berani pergi ke kamar kecil seorang diri tanpanya.
Nakamura pun turun dari ranjangnya. Ia melangkah gontai pada lorong rumahnya yang gelap. Tiba-tiba, semua lampu di ruang itu tidak dapat dihidupkan. Padahal, sebelumnya listrik baik-baik saja. Ia akhirnya terpaksa berjalan dalam suasana gelap menyisir tangga menuju ruang tamu. Nakamura sempat berbelok ke dapur untuk memastikan istrinya di sana. Cuma Hinata tidak ada di ruangan itu. Di kamar kecil pun Hinata tidak tampak.
Nakamura mulai gelisah. Ia melirik ke luar apartemen. Malam terasa sangat sunyi saat Nakamura melihat keadaan luar. Tidak ada kendaraan yang lewat di jalan. Hanya ada kabut tipis dan hawa dingin yang mulai menusuk tulangnya. Bulan pun samar-samar tertutup awan. Nakamura kembali menutup jendela kamarnya. Ia masuk ke ruang tamu. Di sana ia mencoba sekali lagi menyalakan lampu. Tapi karena lampu tidak juga mau hidup, ia terpaksa duduk di ruang gelap.
***
Sudah satu jam berlalu saat Nakamura memutuskan untuk tidak tidur dan menunggu istrinya. Ia merasa sangat gelisah. Ia sering bertanya-tanya seorang diri: ke mana wanita itu pergi? Apakah wanita itu pergi untuk belanja ke Church Gate? Tapi sangat mustahil berbelanja sesuatu pada tengah malam seperti ini. Toko-toko di Chruch Gate pasti tutup pada jam tengah malam. Tiba-tiba, Nakamura merasa sedikit jengkel dengan istrinya. Dan untuk sedikit mengobati hatinya yang meradang, Nakamura membaringkan tubuhnya di sofa.
Pada suasana sepi itu secara lamat-lamat ia mendengar gemuruh suara ombak. Padahal apartemen Nakamura berada begitu jauh dari laut. Tapi malam itu Nakamura tidak hanya mendengar suara laut, ia juga mendengarkan peluit kapal. Suara peluit kapal itu bahkan terasa sangat dekat. Akhirnya, karena suara-suara itu, Nakamura memutuskan untuk keluar menuju lantai dasar. Ia ingin memastikan apa yang didengarnya.
“Apakah aku sedang bermimpi?” gumam Nakamura. “Aku tadi seperti mendengar suara ombak dan kapal.”
Setelah meneliti keadaan di luar apartemen, ia tidak menemukan apapun. Semuanya terlihat lenggang. Namun kesunyian yang ia rasakan malam itu sangat berbeda. Ia mengerling ke jam tangan yang ada dalam sakunya. Jam itu menunjukkan pukul satu malam. Angin terasa dingin mengigit kulit. Nakamura sempat ingin masuk lagi ke ruangannya di lantai dua. Hanya saja saat melangkah masuk, ia sekali lagi mendengar lengking peluit kapal. Karena penasaran, ia mengikuti suara tersebut.
Ia melangkah mencari sumber suara, hingga tidak sadar sudah berjalan jauh meninggalkan apartemen. Tetapi, semakin dekat suara itu, semakin jauh pula sepasang kakinya berjalan. Gedung-gedung di sepanjang Mansfield St seakan ditinggalkan oleh penghuninya. Di tengah keadaan sunyi itu secara mendadak kepalanya pusing. Semua keganjilan yang terjadi dini hari itu terasa tak wajar bagi Nakamura. Akhirnya, karena benar-benar tidak dapat membendung rasa gelisahnya, Nakamura nekat masuk ke apartemen lain.
Nakamura tidak peduli akan kemarahan penjaga keamanan karena berkunjung pada tengah malam. Tetapi setelah memasuki apartemen itu, ia tidak menemukan tanda-tanda penjagaan. Ia bahkan bisa leluasa mengunjungi beberapa penghuni lantai satu apartemen itu. Hanya saja Nakamura tidak menemukan seseorang di apartemen itu. Semakin merasa janggal, Nakamura memutuskan masuk tanpa izin si pemilik ruangan. Sayangnya dari setiap ruangan yang dimasukinya, tidak ada penghuni yang tinggal. Nakamura malah seperti tersesat pada pegunungan Hayachine di wilayah Iwate yang terkenal sebagai sarang hantu. [9]
***
Malam itu Nakamura merasa kehilangan arah. Setiap tikungan yang ia lalui seperti selalu berulang-ulang. Padahal ia ingat benar setiap pesimpangan jalan di area tempat tinggalnya. Di tengah kelelahannya mencari jalan pulang, ia mendadak melihat sekelebat bayang-bayang manusia. Ia segera mengejar sosok itu. Bayang-bayang itu kembali membawanya hingga ke Short St. Di sana suara ombak serta peluit kapal terdengar sangat dekat. Kemudian di sana pula, Nakamura melihat seorang bocah kecil termenung di anak tangga apartemen tua.
“Siapa kau?” Panggil Nakamura kepada bocah itu. Tetapi bocah itu tidak menjawab. “Apa yang dilakukan anak kecil pada jam satu dini hari seperti ini?”
Bocah itu tidak juga menjawab. Ia hanya menatap ke arah langit pagi hari. Nakamura yang penasaran ikut menatap ke atas. Nakamura segera terkejut ketika di atas kepalanya ada kapal kayu besar yang diiringi begitu banyak lampion. Kapal yang ada di atas kepala Nakamura itu mengingatkan pada kapal-kapal roh yang dahulu pernah dilihatnya pada festival Jizabon [10] di wilayah Kansai.
“Aku pasti terjebak di dunia mimpi!” Desis Nakamura
“Kau sama sekali tidak terjebak,” kata bocah itu. “Ini adalah dunia Antara. Tempat di mana para roh menunggu untuk dijemput oleh leluhur.”
“Tidak!” Potong Nakamura. “Aku sekarang sedang tertidur di samping istriku!”
“Kapal itu adalah kapal penjemput roh,” jelas si bocah. “Kau sudah mati.”
Nakamura berulang-ulang menampar wajahnya. Nakamura juga mencabut bulu hidungnya beberapa kali untuk memastikan dirinya belum menjadi sosok ikiryo [11].
“Tidak! Aku hanya akan mati di kota kelahiranku Nagano!”
“Tak ada bedanya mati di mana pun! Kau tetap akan mati dan pergi ke negeri nenek moyangmu!”
Punggung bocah itu tiba-tiba mengeluarkan sayap. Bocah itu lantas terbang mengitari Nakamura. Nakamura sempat ingin lari ketika menyadari sosok yang ada di depannya adalah Shinigami [12]. Sialnya, kakinya tak dapat digerakkan. Shinigami mendekat dan menyerahkan sebuah telepon tua kepada Nakamura.
“Telepon ini terhubung dengan istrimu,” jelas Shinigami. “Kau boleh menghubunginya untuk berpamitan.”
Nakamura meraih telepon tua itu. Ia segera mendengar suara wanita yang terisak di sana.
“Hallo! siapa?” Terdengar suara Hinata.
“Aku Nakamura.” Jawab Nakamura cepat.
“Nakamura?”
“Iya!”
“Kau gila! Kau jangan mempermainkanku. Sumiku baru saja mati terkena serangan jantung saat tertidur semalam! Bahkan ia baru saja kami kubur dengan cara yang berlainan dengan keinginannya! Kau jangan permainkan kesedihan kami!”
Telepon itu ditutup cepat. Nakamura tercengang tak percaya. Ia menatap penuh tanya ke arah perahu kayu besar di atas kepalanya. Ia juga melirik ke arah Shinigami.
“Akan pergi ke mana perahu ini?” Tanya Nakamura.
“Nagano,” jelas Shinigami. “Aku datang ke sini untuk menjemputmu. Kau akan pulang ke rumah leluhurmu di sana.”
Nakamura pun naik ke atas kapal itu. Ia dengan sangat berat hati merelakan kematiannya yang tak ada sama sekali perayaan soushiki di kota Licester. ***
.
.
Keterangan
[1] Reikyusha, mobil jenazah
[2] Saoushiki, upacara kematian
[3] Kosutsubun, sisa abu jenazah
[4] Hakuhatsu no, rambut beruban
[5] Tsuya, upacara pertama yang dilakukan sebelum jenazah dikremasi. Biasanya upacara ini dilakukan pada hari pertama. Anggota keluarga pun diwajibkan untuk berkumpul semua karena upacara tsuya juga merupakan momen simbolik hari terakhir bertemu si jenazah.
[6] Kokubetsu shiki, upacara kedua sebelum jenazah dikremasi. Biasanya upacara ini dilakukan pada hari kedua. Anggota keluarga pun diberikan kain hitam dan putih untuk diikatkan di lengan.
[7] Matsugo no mizu, praktik mengoleskan air di bibir jenazah sebelum memulai upacara kematian.
[8] Kamidana fuji, praktik menutupi sekeliling tubuh jenazah agar kesucian sang arwah tetap terjaga.
[9] Pegunungan Hayachine di Iwate sangat terkenal dengan kekayaan dongeng mistik lokal. Wilayah tersebut termasuk daerah yang disucikan oleh penduduk Jepang.
[10] Festival Jizabon adalah sebuah perayaan menyambut kedatang roh leluhur dari alam roh. Para roh tersebut juga dipercaya datang ke bumi untuk menjemput roh-roh manusia lain yang masih terjebak di dunia manusia.
[11] Ikiryo adalah roh manusia yang terlepas dari tubuhnya setelah mengalami kematian di dunia. Ia biasanya menunggu di alam antara/alam roh.
[12] Shinigami, beberapa penduduk Jepang dipercayai sebagai malaikat kematian. Tetapi beberapa masyarakat juga meyakini Shinigami bukan sebagai malaikat, melainkan roh jahat yang menghasut manusia untuk bunuh diri.
.
.
Risda Nur Widia. Alumnus Pascasarjana UNY (2020). Buku cerpen tunggal terbarunya, Berburu Buaya di Hindia Timur (2020). Cerpennya terbit di beberapa media.
Moelyono, Lahir pada 1957 di Tulungagung, Jawa Tengah. Tamat dari Jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta pada 1985. Pameran tunggalnya antara lain Amok Tanah Jawa di Flinders Museum, Adelaide, Australia, pada 2018.
.
Perahu Penjemput Arwah. Perahu Penjemput Arwah. Perahu Penjemput Arwah. Perahu Penjemput Arwah. Perahu Penjemput Arwah.
David John Rawson
Cerpen ini memuat suatu potret aspek kepercayaan spiritual dan tradisi yang sangat mengesankan. Dalam naratif cerpen ini, pembaca masuk sistem kepercayaan spiritual tokoh Jepang, Nakamura yang memegang ketat ajaran agamanya tentang tata cara kematiannya sekaligus kepercayaan tradisional. Pelaksanaan ajaran ini adalah hal yang sangat penting bagi Nakamura. Tempat kematiannya juga tak kalah pentingnya bagi tokoh ini yang lagi tinggal di negeri orang sehingga dia merasa harus pulang agar dikremasi di tempat yang sama dengan leluhurnya. Dia merasa sangat risau juga tata cara agama lain akan dilakukan karena dia di negeri orang sehingga arwahnya bisa dikirim ke tempat agama lain. Di sini memang ada ironi dalam naratifnya. Ternyata, sesuai dengan kekhawatirannya, dia memang dikubur sesuai dengan tradisi agama lain namun leluhurnya masih bisa menemukannya dan membawanya ke akhirat dengan aman. Dalam naratif ini, setelah Nakamura meninggal, arwahnya mengikuti proses yang sudah ditetapkan. Malaikat mati dan arwah leluhurnya sudah menunggunya, suatu proses yang terlepas dari pelaksanaan ritual duniawi ini yang dulu membuat tokoh ini merasa sangat cemas.