Cerpen, Kurnia Effendi

Kisah Gasal Perempuan Sundal

0
(0)

Cerpen Kurnia Effendi (Koran Tempo, 31 Maret – 01 April 2018)

Kisah Gasal Perempuan Sundal ilustrasi Munzir Fadly - Koran Tempo.jpg

Kisah Gasal Perempuan Sundal ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo

Kali ini aku memperpanjang waktu makan siang di kantin. Kubiarkan teman-teman meninggalkan meja dengan piring-piring berantakan. Sesekali boleh mengundur waktu zuhur, pikirku. Kadang-kadang Firman dan Lukman, dua teman divisiku, malah mulai menyulut rokok kedua sesudah sendawa terakhir.

Saat itulah seorang perempuan wangi datang ke mejaku dengan dua piala es podeng di tangan. Wajah oval berambut sebahu itu duduk di depanku hampir tanpa meminta izin kecuali dengan senyumnya.

“Ini kesukaanmu, bukan?” Ia mengulurkan tangan kanannya kepadaku.

Antara terkesima dan bimbang, kuterima es podeng dengan lelehan susu cokelat yang masih kentara.

“Mbak…” Mulutku terbuka.

“Harum.” Mulut perempuan itu mengatup saat menyebut nama.

Ya, memang harum. “Aku Ardian.”

“Ayo dinikmati,” Harum dengan mata berbinar mempersilakan.

“Terima kasih,” jawabku. “Kok tahu…”

“Dalam beberapa hari kulihat selalu memesan es podeng. Kuperhatikan dari sana.” Harum menunjuk ke arah meja di sudut dengan dagunya. Mataku mengikuti. Tak jauh dari penjual es podeng dan gerai ayam goreng krispi.

Aku lekas mengingat-ingat. Apakah pernah kulihat Harum sebelum hari ini? Terpanggil sederet bayangan dengan warna baju yang berbeda, rasanya perempuan itu memang duduk di sana. Sendiri atau bersama orang lain? Aku tak ingat pasti. Beberapa hari ini, hatiku gelisah dan geram. Campuran perasaan itu melahirkan kesedihan. Aku kehilangan semangat bekerja.

“Apa yang jadi masalahmu? Kudengar selintas dari pembicaraan kalian. Tentu tidak sepenuhnya aku tahu,” kata Harum lembut seperti seorang ibu.

Aku memperkirakan usia Harum tak terpaut jauh denganku. Tepatnya tidak lebih tua ketimbang istriku. Namun jujur kuakui, dia lebih mempesona daripada perempuan yang berada di rumahku. Ada upaya menonjolkan bentuk payudara dengan ukuran blus yang dikurangi masing-masing satu senti di tiap sisi. Jemarinya, yang terletak di antara dua piring kotor, terlihat begitu indah. Terus terang menimbulkan debar.

“Maaf, itu bukan urusanmu,” kataku perlahan. “Kita baru saling bertemu. Baru tahu nama masing-masing.”

Harum mengambil kertas dari tas tangannya dan membaca tulisan yang tertera. “Bagian faktur. Tambun. Pelatihan promosi. Pak Hebron. Ibu Kusrini. Asisten manager. Komdak. Mutasi. Persetujuan Jepang. Tipe baru. Menperindo. Gaikindo. Samsat…”

“Kamu menguping pembicaraan kami?” Aku kaget dan tersinggung.

“Ya, tapi kata-kata ini tak berguna tanpa dijelaskan hubungannya,” Harum tersenyum.

“Jadi, apa maksudmu menemuiku dengan gratifikasi segelas es podeng?” Meski tetap perlahan, nada suaraku meninggi. Aku menyesal tidak ikut teman-teman naik ke lantai 7 tepat waktu.

“Jangan salah paham. Sudah kubilang, mungkin ada masalah yang membuatmu tampak kusut. Siapa tahu, sebagai kawan barumu, aku bisa membantu.”

Dulu aku suka berkhayal tentang peri yang datang menolong, ketika menghadapi tugas sekolah yang sulit atau selalu kalah main kelereng.

“Sori, aku harus kerja lagi.”

“Ardian!” Harum lebih cepat berdiri. “Tidak baik meninggalkan pembicaraan yang belum selesai. Mungkin aku tidak sopan mencampuri urusan orang lain, apalagi baru saling kenal. Tapi… apakah aku terlihat tak bisa dipercaya?”

Baca juga  Kasandra

Ketika kutatap matanya, ia tidak berpaling. Pandangannya justru disediakan untuk meyakinkanku. Ia begitu pintar membuat matanya menjadi sepasang telaga dan aku merasa nyaman berendam di sana.

“Aku tidak ingin menambah masalah. Satu hal yang kuhadapi ini saja membuatku ingin keluar dari perusahaan.”

“Ada baiknya ceritakan kepada orang yang tak pernah mengejekmu. Satu di antaranya aku.” Jemari Harum dengan lembut menyentuh punggung tanganku. Entah mengapa, dingin yang sebenarnya berasal dari gelas es podeng ikut menenteramkan perasaanku.

“Aku harus masuk, sudah lewat setengah jam.” Aku berusaha menghindar. “Terima kasih telah bersimpati. Juga es podengnya. Kubawa ke dalam.”

Harum tidak memaksa, hanya berharap. “Aku ingin kita bertemu lagi. Mungkin aku bisa membantumu.” Perempuan yang hampir sama tinggi denganku itu memberikan kartu nama. “Jangan dilihat perusahaannya, sudah bangkrut. Nomorku ada di situ. Kutunggu teleponmu.”

Kami berpisah. Harum kembali duduk. Mungkin menghabiskan es podengnya.

Haruskah kuceritakan masalahku kepada Harum? Aku melamun sambil masuk lift. Sebuah kebetulan yang buruk, dalam kotak sempit itu aku bertemu Pak Hebron, Direktur Personalia yang menjadi pangkal persoalan.

***

Seorang pianis mengakhiri musik yang mengiringi biduan bersuara bening. Ada tepuk tangan ringan dari beberapa meja. Perempuan bergaun hitam yang baru saja menyelesaikan lagu Oddie Agam mengumumkan bahwa pengunjung boleh menyumbangkan lagu. “Bukan membuat lagu jadi sumbang, ya,” selorohnya.

“Jadi, promosimu terancam gagal? Dimutasi ke tempat lain yang membuatmu harus belajar lagi?” tanya Harum, seperti ingin merangkum ceritaku.

“Semua itu karena keteledoranku. Aku terlalu percaya pada dealer, karena kuanggap mereka akan selalu menepati janjinya. Beberapa prosedur sering kulanggar, demi pelanggan di pulau-pulau yang jauh itu lekas menerima mobil pesanan mereka. Administrasi sembari jalan. Tapi ya… ada kebijakan perusahaan yang terhadang peraturan lokal dan menjadi konflik yang berujung mencurigaiku,” kataku berat. Beban itu membangun tembok gelap di depanku. Bahkan kopi favoritku tidak berhasil menjernihkan pikiranku.

“Pertanyaanku ini mungkin aneh,” ujar Harum sambil menunggu aku memandangnya penuh perhatian. “Apakah Pak Hebron mengenal istrimu atau pernah bertemu? Mungkin dalam acara gathering kantor.”

Aku menggeleng cepat. “Istriku susah diajak bergaul. Bahkan family day tak pernah menarik minatnya. Ia memilih tiketnya diberikan kepada keponakan kami.”

“Kalau begitu, ajak aku dalam acara kantormu, terutama jika Pak Hebron hadir di sana.” Harum tersenyum.

“Maksudmu?”

“Jadikan aku istrimu.”

“Gila!”

“Bukan dalam arti sebenarnya, Ardian. Kenalkan aku sebagai istrimu. Selanjutnya biarlah aku yang bermain.”

“Tidak.” Aku menolak. Meskipun tak terbersit apa tujuan Harum, aku mengendus ini rencana berbahaya.

“Aku serius ingin membantumu. Meskipun berarti itu juga membantuku.” Harum mengelap bibirnya, tak sampai menghapus lipstik tipis yang melapisi. Perempuan itu tahu bagaimana berdandan tanpa kehilangan kecantikan alami.

Baca juga  Papan Tulis Tak Berwarna

Aku seperti mencuci muka dengan kedua tangan. “Ada baiknya kita tak bertemu lagi. Aku sudah lega bisa bercerita panjang dan jujur.”

“Jangan lupa, di awal pembicaraan kaubilang bahwa inilah saatnya mempertaruhkan segalanya. Sudah lima belas tahun kamu bekerja, harus mendapatkan sesuatu yang telah lama diharapkan. Satu hal lagi, bahkan keluar dari perusahaan juga menjadi kemungkinan pilihanmu.”

“Ya, tapi…” Ucapanku terhenti oleh genggaman hangat tangannya.

“Biarlah aku cari informasi tentang Pak Hebron. Dalam seminggu ke depan, apa saja agendanya. Oya, kamu suka aku mengenakan baju warna apa?”

***

Auditorium hotel mewah itu didominasi warna merah kirmizi. Nuansa paling anggun untuk perhelatan besar. Telah terjual satu juta unit mobil SUV elegan sejak 8 tahun yang lalu. Di sisi panggung, berdiri Harum sebagai pemandu acara dengan setelan busana marun. Rambutnya digelung tinggi, memperlihatkan jenjang leher pualam.

Masih kusimpan kiriman WhatsApp dari Pak Hebron. “Ardian, istrimu punya potensi. Jika sukses malam ini, akan jadi langganan acara-acara kita.”

Aku tak jadi dimutasi, bahkan promosiku diteruskan. Aku memimpin satu bagian yang membuat tanda tanganku menjadi koleksi para pelanggan, tertera penting pada faktur kendaraan.

Mula-mula Pak Hebron selalu pamit melalui pesan pendek, setiap kali memerlukan jasa Harum. Lambat laun banyak yang disembunyikan, namun aku tahu. Bagiku tentu tidak masalah, sepanjang Harum memberi tahu agar selalu terjaga rahasia hubungan kami.

“Ardian, aku harus menabung,” kata Harum suatu malam. “Aku titip ini. Siapa tahu kubutuhkan kelak.”

Begitu Harum mengirim foto-foto dan video melalui gawai, aku terkejut. Jika Harum benar-benar istriku, tentu akan kubunuh malam itu juga setelah kulihat adegan ranjang panasnya dengan Pak Hebron di hotel.

Kini sudah hampir setahun berlalu sejak karierku membaik. Ingin juga kusampaikan terima kasih secara spesial kepada dewi penolong itu. Pak Hebron banyak memberikan perhatian kepadaku, terlihat dari beberapa kebijakan yang mengamankan posisiku di kantor. Sementara aku dan Harum tak perlu sering berjumpa kecuali pada kegiatan yang memerlukan sandiwara.

Usai penobatan dealer terbaik nasional, tampaknya pesta terlalu menggairahkan. Ada berbotol-botol sake di meja VVIP. Harum mencicipi bersama para petinggi Jepang, tetapi terpaksa ia pamit dengan sempoyongan. Sekali itu, bahuku menjadi tempat bersandar untuk menuntunnya berjalan meninggalkan grand ballroom. Pak Hebron menatap kecewa, tapi ditutupinya dengan sikap-sikap formal. Ia menawarkan sopir untuk mengantar pulang. Aku menunjukkan kunci mobil di tanganku.

Hujan mencuci langit sepanjang jalan menuju rumah Harum. “Lihat di Google map saja. Kepalaku berat banget,” kata Harum, menyerahkan peta di ponsel kepadaku.

***

“Selamat pagi, Harum.” Aku mengucap salam di depan pintu yang terbuka. Dengan daster tipis, Harum terlihat seperti bidadari di mataku.

“Seharusnya kamu tidak pernah mengantarku pulang, selarut apa pun,” kata Harum menyesal. “Sebelum aku berubah pikiran, sebaiknya kamu pulang dan lupakan aku.”

Aku terkejut dengan ucapannya yang serius. Wajahku memanas. Kerja sama tanpa kontrak ini apakah tak boleh diakhiri dengan pertemanan? Sebagai lelaki, aku punya harga diri. Aku hendak berbalik langkah saat ada seruan dari dalam rumah kayu itu.

Baca juga  Chicago May

“Ada tamu siapa, Bunda?” Pertanyaan itu disusul dengan tiga kepala yang memiliki tinggi berbeda di samping Harum. Berebut tempat di lubang pintu.

Seorang anak perempuan dan dua bocah lelaki. Dalam perkiraanku, mereka berusia delapan, enam, dan empat tahun. Perempuan bermuka bulat itu mungkin si sulung. Dua lainnya berbeda satu sama lain. Si tengah berkulit terang dan berhidung mancung indo, sedangkan yang kecil berwajah langsat dengan mata sipit.

“Kamu pengasuh anak?” tanyaku penasaran.

“Mereka anakku. Lahir dari rahimku,” jawab Harum dingin.

“Ayo, Bunda, kita sarapan,” ajak si indo.

Sepasang tangan Harum merengkuh ketiga anak itu membawa masuk. Membiarkan diriku berdiri di depan pintu. Aku ingat seminggu yang lalu, Harum bercerita saat kuantar pulang karena hujan dan acara berakhir lewat tengah malam.

Setengah mabuk, Harum mengatakan bahwa ia sudah punya tiga anak. “Dari tiga lelaki.”

Harum mengaku bersalah telah memikat pamannya ketika masih SMA, sehingga suatu malam menyerahkan keperawanannya yang berlanjut dengan pengusiran. “Bibi memakiku sebagai anak sundal yang tak tahu diuntung. Aku tak punya muka pulang ke rumah orang tua. Sejak belia, aku minggat, merantau.”

Anak kedua Harum berdarah Itali. “Aku bukan merebut dari istrinya yang jauh di Turin. Kami tidak menikah. Aku perlu spermanya saja. Salah perusahaan dong telah menempatkan aku di kantor lepas pantai. Kata Marco, aku cewek Asia paling hangat. Berminyak, hahaha. Belum genap sembilan bulan kandunganku, dia pulang ke Itali, habis kontrak. Hmmm, sejak lahir, Luigi sudah setampan ayahnya.”

Aku tak menanggapi racauannya. Kupilih berkonsentrasi mengemudi karena hujan menampar-nampar kaca mobil.

“Bungsuku… itu anak produser film. Ayah Teddy mati karena kecelakaan. Aku tak mungkin mengaku-ngaku sebagai piaraannya kepada janda yang kini pindah ke Singapura.”

Pengakuan yang kelam dan getir. Aku terkenang pada pertemuan kami pertama kali di kantin kantor. Rasa es podeng itu masih kuingat, juga sentuhan tangan Harum yang menyihirku. Aku tak pernah tahu: apa motif hidup Harum? Benarkah ia bernama Harum? Kini, pada Sabtu pagi, aku dipaksa menerima keputusannya agar saling melupakan. Urusan memang sudah selesai.

Saat aku melangkah meninggalkan teras sempit rumah itu, masih sempat kudengar suara perempuan. “Bunda, kenapa tamunya tak diajak masuk?”

***

 

Elang Malindo, 21 Maret 2018

Kurnia Effendi menulis cerpen dan puisi sejak 1978. Telah menerbitkan 21 buku dalam aneka genre (puisi, cerpen, novel, esai, dan memoar). Tahun 2017 mengikuti program residensi penulis Kemdikbud dan memilih negeri Belanda untuk riset calon novelnya tentang Raden Saleh.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Kisah perempuannya bnr2 gasal, 😂

    Untung si aku (Ardian) tdk terjebak dlm telaga si Harum yg menyejukkan. Tp bgtulah mungkin cara pncerita dlm bertutur aplgi klau pkai kta gnti org prtma tunggal.

    Mntap cerpen nya. Narasinya apik skli.

Leave a Reply

error: Content is protected !!