Cerpen D Inu Rahman Abadi (Suara Merdeka, 01 April 2018)
Dari balik jendela ini—yang berkaca gelap tetapi cukup terang bila orang memandang dari dalam, sebaliknya buram bahkan hanya gelap bila memandang dari luar—mataku terus awas menatapmu. Semestinya aku keluar membawakanmu secangkir kopi, seperti kebiasaanku menemanimu duduk bersebelahan atau berdua di kursi panjang itu. Namun, kali ini, aku hanya berdiri di sini, mengamati.
Memang aku dari dapur. Berulang kudengar uluk salammu di pintu pagar semasih aku di kamar. Dengan dada berdebar, hampir saja kujawab setelah yakin itu suaramu. Namun lebih dulu Bapak keluar setelah samar menjawab salam sambil menatapku tajam.
Sekilas kupandang tubuhmu melangkah, lalu aku bergegas ke dapur, menyalakan kompor untuk menjerang air. Aku juga menakar bubuk seimbang dengan gula pasir seperti biasa, sebab aku tetap ingat soal itu. Semua sudah siap, kopi sudah jadi.
Namun lagi-lagi sebelum cangkir itu terangkat dari meja kecil di hadapan, Ibu lebih dulu menegur dengan batuk kecilnya. “Biar Bapakmu saja,” sergahnya. Kemudian memanggil Bapak tanpa berkata lagi.
Memang aku selalu berdandan serapi bahkan secantik mungkin. Meski tentu saja, itu mesti kulakukan, dan terlebih sudah kuduga kau pasti datang, entah kapan. Setiap pagi aku mengeramas rambut dan merias sampai terlihat cocok dengan wajahku yang katamu, “Kau cantik dengan wajah agak bulat dan bibir mungil begitu.” Ya, aku selalu siap menyambutmu.
Namun dari balik jendela ini aku hanya menatap riak wajahmu. Diam-diam mendengarkan degup dadamu makin kencang. Pipiku kembali menghangat, tapi bukan memerah.
“Aku mencintaimu, Mai.”
Kau mungkin masih ingat ucapan itu sering kudengar darimu. Selalu membuat pipiku memerah. Apalagi ketika waktu itu aku hendak mengakhiri semua. Kau yakinkan sekali lagi hanya aku yang kauingini. Sama sekali bukan perempuan yang dipilihkan ibumu sekaligus masih saudara.
Mula-mula aku tak yakin sebab kau tahu di kampung cinta bukan hal penting. Tidak begitu berarti bagaimana cinta diketukkan ke dada-dada orang tua. Lumrahnya mereka teguh dengan pilihan sendiri. Tak hirau, meski cinta meraung-meraung meratapi kesakitan. Namun aku hanya melongo tak percaya, kau datang menemui Bapak. Dan tidak jauh hari kau datang lagi dengan ibu-bapakmu. Entah bagaimana bisa kauyakinkan mereka, terlebih ibumu yang bersikeras ingin menjodohkanmu.
Hingga malam itu, langkah selanjutnya sudah cukup jauh. Bapak-Ibu sepakat mengundang kerabat, tokoh, tetangga dekat untuk meminta pendapat mengenai tanggal pernikahan. Suasana di rumah ramai. Beragam candaan juga kelakar di sela musyawarah. Ibu-ibu tetangga yang datang membantu menyiapkan jamuan tak segan menggodaku. Jadilah di dapur tak kalah ramai dari di halaman. Aku sempat melirik Ibu. Belum pernah kutemui air mukanya bersemu begitu.
“Sebentar lagi kau punya keluarga. Jadi bagaimana layaknya istri, kau harus menjaga kehormatanmu dan suamimu.” Ibu sedikit memberi wejangan di sela waktu lengang.
“Sudah saatnya pengabdianmu. Lepas ini kau ikut apa kata suamimu.” Ibu berdebar-debar menyampaikan. Di sudut matanya ada linang tertahan. “Besok, besok sudah jadi hari baru bagimu,” katanya lagi. Membuatku kikuk.
“Sebagai istri,” Bapak tiba-tiba keluar kamar. “Kau wajib mematuhi suami, bahkan melebihi pada kami orang tuamu.” Bapak duduk di dekatku. Untuk kali pertama aku merasa canggung di hadapannya. Satu-satunya yang kulakukan hanyalah diam mencerna, sama sekali tak menyanggah atau bertanya. Bapak juga menyinggung rumah tangga Sayyidina Ali dan Fatimah putri Nabi.
“Kenapa dalam doa perkawinan selalu hadir nama dan pengharapan seperti keluarga mereka? Tentu rumah tangga mereka patut jadi contoh. Bahkan kekurangan harta tak menjadikan keluarga berantakan.”
Cerita itu sudah kudengar jauh sebelum Bapak menerakan. Namun tak pernah membuatku sedemikian tertegun haru. Barangkali Bapak menyentil berkenaan dengan dekatnya hari perkawinanku.
Tak banyak yang kuinginkan. Jauh di hatiku hanya berharap dapat membina keluarga sebaikbaiknya.
“Tentu kau punya tekad mewujudkan rumah tangga yang mawaddah wa rahmah, Mai.”
Diam-diam aku mengusap mata ketika Ibu kembali menambahkan. Keteguhanku lebur sama sekali.
Mawaddah wa rahmah…. Dadaku koyak. Air mata menoreh pipi. Dari balik jendela aku memandangi air mukamu yang pias. Berkali tangan Bapak mengentak meja. Kopi yang selalu urung kauteguk bertumpahan. Aku ingin berada di dekatmu, setidaknya menghadapi berdua. Karena aku pun tahu, kemarahan Bapak amatlah kautakuti.
“Bukan apa-apa, Mai. Ini urusan harga diri. Sebetulnya Ibu…,” tiba-tiba Ibu merengkuh bahu. Kedatangannya sungguh mengejutkanku. “Bapak dan Ibu sudah cukup dipermalukan,” katanya lagi dengan suara lirih.
Kepindahanku ke rumahmu tentu karena keinginanmu. Ibu-bapakku sudah mengalah, meski tahu tak ada siapa-siapa di rumah menemani mereka. Sementara di rumahmu, sangatlah berbeda dari sangkaan mereka. Aku pun demikian, serapat mungkin kusimpan agar Ibu-Bapak tidak tahu kegalauanku. Mulut kukunci agar jangan sampai menuturkan ketidaksenangan ibumu kepadaku. Di rumahmu, aku tak pernah ada.
Di depanmu, aku bersikap seolah tak ada masalah. Bukan pula tak berani bilang dari hari ke hari perlakuan ibumu makin menjadi. Alasanku hanya tak mau rumah tangga kita direcoki perselisihan. Selama kau menganggapku, tentu aku senang dan cukuplah. Permasalahan di luar bukan masalah yang benar-benar berarti.
Seorang perempuan yang kutahu dekat dengan ibu mertua kerap datang ke rumah. Itu jarang sekali kau tahu. Bagaimana kau tahu bila sehari-hari sibuk mengajar hingga siang. Ia tak pernah mengajakku bicara, tetapi bersikap nyinyir cukuplah sering. Apalagi mendapat dukungan ibumu. Mereka bercakap-cakap, tertawa ngakak. Tentu berterusterang perihal kehadiranku yang tak pernah mereka harapkan. Entahlah, aku masih bisa bertahan.
Selain karena selalu mengingat Ibu-Bapak, aku bertahan untuk bayi dalam perutku. Mendapatimu juga sangat senang mengetahui hal itu menjadi semangat baru untuk tidak menghiraukan mereka. Sebagai istrimu, aku bersikap sebagaimana mestinya. Ketika malam sering kutemani kau merampungkan tugas atau mengisahkan banyak hal mengenai hidup ini. Sering pula kau memintaku banyak istirahat, perhatian yang kurasa melebihi harapanku.
Namun, lagi-lagi, mendadak semua berubah. Begitu saja aku percaya ibumu. Ia selalu mencekokiku jamu peras buatannya. Katanya, untuk menyehatkan kandungan. Sering perut mules, bayi dalam perutku keras menendang-nendang. Setiap kali kutanya, ibumu berkilah itu pertanda baik bagi bayi dalam kandunganku.
Lalu sebagai puncak, dari waktu ke waktu tak ada lagi yang berdenyut dalam perutku. Apalagi menendang hingga membuatku hampir terjerengkang. Di dalam kamar aku hanya menangis melihat darah tiba-tiba tetes, menderas membanjiri lantai. Aneh, tak sekali pun kurasakan sakit di selangkangan. Perutku juga tidak sakit, meski terlihat berbeda dari biasa. Memang dua minggu terakhir aku merasakan perbedaan; perutku makin susut.
Berkunang-kunang mataku melihat lantai penuh darah. Kali itu aku menyadari, ada yang salah dengan ibumu. Tampaknya dia tenang-tenang saja ketika aku panik mengadu. Malah ketika kau pulang, dia meracuni otakmu.
“Kau keliru memilih istri. Menjaga kandungan saja dia tak bisa.”
Kau bingung.
“Dasar ceroboh.”
Mata ibu mertua mendelik padaku. “Lihat, apa yang telah istrimu perbuat. Kau tidak mungkin punya anak.”
Tentu kau terkejut mendengar. Tanpa kau bertanya, ibumu menjawab, “Diam-diam dia menggugurkan kandungannya.”
Seketika aku terkulai melihat tubuhmu bergetar. Kau tidak percaya padaku, sekeras apa pun upayaku menjelaskan. Tambah tak mungkin bila ibumu terus dan terus meracuni otakmu.
Perihal keguguran itu telah menyebar ke sudut-sudut kampung. Mulut-mulut nyinyir menggunjingkanku. Kata mereka, aku tak punya perasaan. Aku bersikeras menjelaskan padamu. Aku bilang semuanya, perihal perlakuan ibumu selama ini. Bukan untuk menambah lukamu. Memang aku tak kuat lagi menahan. Setidaknya aku masih sama, tiada kuharapkan selain kepercayaanmu.
Suatu hari, tanpa kunyana Ibu-Bapak telah berdiri di muka pintu. Mereka mendengar semua dari tetangga. Tentu tetangga yang kerap dilupakan bahwa merekalah yang paling tahu tingkah dan keadaan kita. Di rumah, setelah berhasil memaksaku pulang, Ibu menegurku kenapa tak bercerita. Sementara Bapak berkali gemetar menahan amarah. Mereka sama-sama menaruh kebencian di dada masing-masing.
“Sudah, sudah, tak perlu panjang-lebar.” Bapak mengentak meja. “Kau tidak pantas jadi suami anakku.”
Dari balik jendela, aku merasakan kegugupanmu. Kau ciut dan tentu dadamu lebur. Berkeping. Sama seperti kurasakan.
“Sebaiknya kauceraikan dia secepatnya.”
Seketika kau terdongak. Jelas linang di matamu. Ingin sekali aku teriak, lalu menghambur ke sisimu. Namun, sungguh, aku tak mampu. Benar-benar tak mampu. (44)
Sumenep, 2018
– D Inu Rahman Abadi, kelahiran Sumenep, 17 April 1995. Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Alquran Nurul Islam ini adalah penikmat kopi, senja, dan sastra.
Leave a Reply