Cerpen Rini Dwi (Radar Surabaya, 01 April 2018)

Pemimpin ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Saya pernah salah memilih teman, terlampau sering tertipu memilih calon pendamping, dan apakah saya juga telah keliru memilih pemimpin? Entah mengapa saya memberi kesempatan kepada pemimpin, yang memutuskan meminta orang lain untuk memimpin dirinya sendiri.
Langit tidak lelah menangis dalam sepekan. Kota besar ini sudah basah, berembun dan jadi abu-abu. Tapi saya punya kerisauan lebih besar dari itu. Seperti halnya mengulang tahun demi tahun bencana yang kita ciptakan sendiri. Dan sayalah yang harus disalahkan atas semua itu. Kenyataan berkata, hanya karena mengganggap diri Anda berbeda, belum tentu orang lain berpandangan sama.
Saya menyelinap pergi dari rumah, memakai kacamata hitam dan topi lebar. Dengan konyol, mengendap-ngendap di koridor. Padahal andai dipikir-pikir, sia-sia saja menyamar. Ada kamera CCTV di mana-mana. Hidup tidak sesimple di film absurd, hanya dengan mengubah penampilan, kita bisa tidak dikenali. Sebenarnya mereka tahu, tapi mengabaikan saya. Katanya, biarlah. Pemuda juga memiliki kehidupan pribadi.
Hujan selalu dramatis untuk wanita sendiri. Saya menikmatinya dengan cara aneh. Berjalan santai dengan payung di antara orang yang panik berteduh. Di suatu emperan toko, saya melihat dua anak jalanan, lalu saya turut bergabung karena penasaran. Sambil menggigil mereka asyik berbincang. Di tangannya ada setumpuk koran belum laku, padahal hampir petang. Satu lagi kelihatannya pengamen, tubuh kurusnya memeluk okulele.
“Boleh beli koranmu?”
“Sepuluh ribu, Kak.”
“Tolong kalikan harga itu, sebanyak koranmu sekarang,” pinta saya.
“Seratus ribu.”
Saya mengambil uang dari dompet. Seratus ribu untuknya, dan lima puluh ribu untuk temannya.
“Tolong bernyanyi untuk saya.”
“Ini terlampau banyak, biasanya orang-orang memberi saya dua ribu saja.”
Meskipun bingung, bocah kecil itu menyanyi. Suaranya membuat saya tertegun. Kalian tahu, apa yang dia nyanyikan? Jika anak-anak mulai teracuni lagu orang dewasa, dia tetap bersikeras menjadi anak teladan. Dia menyanyikan lagu Negeriku Tercinta hingga membuat pipi saya basah oleh air mata.
“Datanglah ke alamat ini. Bilang pada mereka di sana, Ratu meminta kalian datang,” bujuk saya.
“Bagaimana jika mereka mengusir kami?”
“Tidak, saya berjanji.”
Mereka mengangguk berbarengan. Dan itu menandakan inilah waktu tepat untuk pergi. Setidaknya saya sudah berhasil membawa dua bocah kecil lagi. Tujuan saya, tidak sia-sia hari ini.
“Hasan, sepertinya saya kenal Kakak tadi,” ucap anak itu ketika saya agak jauh.
“Siapa, Amir?”
Saya pun meneruskan langkah sambil membawa setumpuk koran. Membeli tiket kereta lalu menantinya di suatu sudut stasiun. Beberapa lembar koran saya tinggalkan di situ. Saat masuk kereta, saya menaruhnya lagi beberapa. Pada dasarnya, saya tidak tahu tengah berbuat kebaikan atau kejahatan. Yang terpenting saya bukan sedang membeli buku saya sendiri untuk jadi best seller.
Selepas turun di stasiun berikutnya, saya kemudian berjalan menuju sebuah kafe. Memesan tiramisu dan secangkir coffee latte. Membaca koran terakhir untuk diri saya sendiri. Sejujurnya itu adalah momen paling mendebarkan. Tak mudah menerima kenyataan, kalau ternyata banyak sekali orang marah pada saya. Nyatanya saya juga harus menghadapi segalanya seorang diri.
“Sempat datang, Bu?” sapa seseorang.
“Ya,” jawab saya singkat.
“Anda masih menunggu seseorang?” tanyanya sambil menggeser kursi lalu duduk di hadapan saya.
“Mungkin datangnya akan lama, atau tidak sama sekali. Saya hanya ingin makan di sini.”
Sebenarnya saya sedang takut makan di rumah. Dua hari lalu saya sudah menolak suatu usulan penting, karena menyengsarakan orang banyak. Berbagai pihak menekan saya menyetujuinya. Tapi saya juga bersikeras, sampai meminta mereka melangkahi mayat saya terlebih dulu. Tidak berhenti di situ, saat saya sedang ada di toilet, tak sengaja saya mendengar dua orang berbicara. Kenapa kita tidak masukkan sianida ke makanan perawan tua itu? Hati saya mendadak sensitif. Di tahun 2025 perekonomian, transportasi, teknologi dan pendidikan sudah berkembang pesat. Tapi wanita tiga puluh tahun belum menikah, tetap disebut perawan tua. Jadi barangkali, sayalah yang mereka maksud. Jika saya ada di jalan kebenaran, saya disebut wanita tua. Sebaliknya, begitu berbuat salah, mereka memaki saya anak ingusan.
“Anda terlihat lelah. Maaf menyajikan pemandangan buruk.”
Tiba-tiba saya jadi memperhatikan setiap sudut kafe, ternyata dekorasinya baru. Dindingnya seperti pelangi, agak mirip taman kanak-kanak. Saya ingin berkata begitu pada barista ini, tapi takut membuat hatinya terluka.
“Saya suka warna elegan seperti sebelumnya, tapi jika ada banyak anak SMA datang, mungkin ini situasi cocok.”
“Masa SMA bukan anak-anak lagi, mereka sudah beranjak remaja. Saya tau, Anda ingin berkata dekorasinya buruk.”
Kami tertawa, saya selalu menikmati bagian ini. Orang yang sedang saya tunggu pasti keberatan jika saya menyebut lelaki ini menawan. Prabu memiliki dunianya sendiri. Di sana terdapat kebebasan, sesuatu yang sulit saya dapatkan sekarang ini. Lalu yang paling saya suka, dia tidak pernah bertanya tentang pekerjaan. Kami membicarakan hal sesederhana cuaca, seni, sastra, resep masakan dan kadang kopi.
***
Hari berjalan silih berganti, segalanya berjalan sama. Tak ada yang bisa saya lakukan, selain pura-pura tegar meski merahasiakan jiwa rapuh. Saya bukan produser, yang melulu ada di balik semua lakon dari sutradara. Ibaratnya, saya hanya wanita sial, yang selalu dipersalahkan pada setiap peristiwa.
“Kenapa kasusnya berbelit-belit? Apa karena dia putra seorang pejabat?” sindir saya pada lelaki yang sedang mendampingi saya berolahraga panahan.
Saya tidak bisa mengintervensi secara langsung, hal-hal yang harus diperhatikan tapi tidak pada wilayah otonomi saya. Tapi mengabaikan itu, berarti mengancam kredibilitas saya sebagai seorang Ratu. Saya membayangkan masih di posisi rakyat kecil, yang muak dengan drama politik dan hukum.
“Maaf, Ibu Ratu. Proses hukum sedang berjalan.”
“Palsu! Anda tahu, hukum harus tetap runcing baik diarahkan ke mana saja. Atas, bawah, samping!” bentak saya.
“Sayalah yang ada di samping anda, Ibu Ratu. Dengan sangat menyesal saya sampaikan, panah itu sudah menancap di hati saya, sejak lama. Kini membuat sekarat,” bualnya.
Saya merentangkan busur kuat-kuat, sambil terus berkonsentrasi. Jika meleset, saya akan sangat malu di depannya. Berikutnya, saya akan sulit mendapat apa yang saya mau. Anak panah melesat cepat, saya menantinya dengan jantung berdebar-debar. Entahlah, mungkin karena selama ini, siapa pun selalu melihat saya kuat, keras kepala dan tidak mudah dikalahkan. Keberhasilan dan wibawa mendadak penting di sini.
“Anda tetap memesona, Ibu Ratu,” ucapnya saat menyadari anak panah saya membelah anak panah miliknya. Saya menyadari hatinya mulai goyah. Sebenarnya dia tidak pernah takut. Raka hanya lelaki yang menghabiskan separo abad sendirian, lalu mengiris imannya setipis bawang. Hatinya masih luluh menjadi butiran debu saat menatap mata saya.
“Anda ada di bawah perlindungan saya. Pak, remaja manja itu menabrak sebelas orang pejalan kaki karena minum alkohol, dia akan menghitung setiap dosa-dosanya di penjara.”
“Baik. Mematuhi perintah Anda, Ratuku,” ucapnya lancang, seraya tertunduk hormat.
Kesombongan macam ini tidak akan berlangsung lama. Begitu saya tidak memiliki kekuasaan, kemungkinan dia tidak akan membiarkan saya hidup. Saya akan diracuni saat di pesawat, dibom di hotel, ditabrak bahkan ditembak mati ketika berjalan. Itu mengerikan, tapi saya sebenarnya jauh lebih takut jika Tuhan menghukum saya karena tidak bisa jadi pemimpin baik. Disiksa abadi di dasar api neraka. Hingga kulit beserta tulang-tulang saya hancur jadi serpihan abu.
Di sepertiga malam saya terjaga. Saat itu saya berbincang pelan dengan Tuhan. Mengeluh sangat lelah, meski itu tidak tahu diri. Lalu di akhir doa, saya berjanji untuk bertahan hidup hingga waktunya tiba. Sungguh ajaib. Dengan doa itu, saya sudah mendapati diri saya masih hidup hingga empat tahun berikutnya. Ternyata Tuhan sangat menyayangi saya.
“Apa kamu hari ini merasa lega, Sayang?” bisik kekasih saya lembut.
Saya sangat bersyukur, ternyata orang yang saya nanti bertahun-tahun akhirnya datang. Dia telah membebaskan saya dari ketakutan. Kami punya waktu bersantai di ruang televisi. Yah, sekadar bercanda melepas rindu, sembari saling menatap dengan penuh cinta. Kadang-kadang dia memang tidak memiliki waktu saya sama sekali.
“Menurutmu, siapa orang yang paling berjasa di hidupmu saat ini? Mengingat katamu, kamu tidak pernah mengenal kedua orang tuamu sama sekali,” tanya host di sebuah acara talk show, yang sedang kami tonton.
“Ibu Presiden, Ratu Bunga Flamboyan,” jawabnya mantap. Itu membuat saya terkejut.
“Kamu bercanda, Nak?”
“Jadi, Bu Presiden membeli seluruh koran dagangan saya suatu hari. Waktu itu saya berkata pada teman saya, Hasan. Kakak tadi adalah orang yang ada di halaman depan koran yang baru saya pegang. Lalu dia menjerit histeris, katanya itu Bu Presiden. Ternyata beliau juga memasukkan kami ke sekolah di bawah yayasan beliau, full bea siswa dan asrama.”
Mata remaja itu terlihat berkaca-kaca. Sayapun turut larut terbawa perasaan. Ternyata saya pernah membahagiakan orang lain meskipun sedikit. Itu membuat saya lega.
“Amir, hari ini masa jabatan beliau sudah berakhir. Berbanggalah Nak, sempat bertemu beliau. Wanita super yang pernah kita miliki sebagai Ibu Negara. Saya ingat ucapannya, bahwa kita terus menerus membangun secara fisik, akhir-akhir ini. Bahkan sebenarnya meski kita butuh itu tapi belum sepenuhnya butuh itu. Sebenarnya yang paling mendesak adalah, mulai membangun hati dan pola pikir kita menjadi lebih baik. Ya Tuhan. Selamat atas pernikahannya dengan Mas Prabu, Bu.”
“Ya. Saya lega.”
Mendengar itu, Prabu tersenyum, sambil memeluk saya lama.
“Betapa saya bangga padamu. Dan terima kasih karena sudah memilih saya. Saya tidak perlu menjadi raja di kerajaan manapun di dunia ini untuk berada di sisimu,” bisiknya.
Tentu, cukup Prabu di hati saya. Jerit saya dalam hati. (*)
Sidoarjo, 5 Januari 2018
*Penulis asli Trenggalek, kini bermukim di Sidoarjo
Leave a Reply