Cerpen Teny May Rodiah (Pikiran Rakyat, 01 April 2018)
PAGI itu, matahari baru saja menampakkan sinarnya. Di sebuah rumah kecil, Kakek Gio sudah bersiap untuk berangkat mengayuh becaknya. Tak lupa dia memakai topi yang sudah agak kumal.
“Kakek Gio….tunggu!” panggil seorang anak di depan rumahnya. Kakek Gio menoleh ke arah suara. Dilihatnya seorang anak berpakaian seragam sekolah. Anak itu tetangganya Kakek Gio.
“Kek…. saya mau berangkat sekolah naik becak!”
“Oh ya…. silakan naik. Sekolahmu di mana, Nak?”
“Di SMPN 5, yang dekat Bale Desa.”
Kakek Gio mengangguk dan mengayuh becaknya menuju sekolah. Jalan ke sekolahan banyak sekali jalan berbatu dan berlubang, hingga Kakek Gio harus berhati-hati dalam mengayuh becaknya. Akhirnya becakpun sampai ke sekolah dan anak itu turun membayar ongkos becak.
Kakek Gio memang tak pernah memasang tarif untuk ongkos becaknya. Dia menerima dengan sukarela berapa pun ongkos yang diberikan penumpangnya. Belum lagi zaman sekarang becak memang sudah agak jarang jadi angkutan umum. Namun Kakek Gio tak bisa berbuat banyak, karena hanya becak yang dia punya.
Kakek Gio masih berkeliling mengayuh becaknya dan berhenti ketika hari sudah menjelang senja. Dia pulang ke rumahnya. Rumah kecil yang dia tempati bersama istri dan anak satu-satunya. Di rumah, istrinya menyambut dengan hangat.
“Pak… kamu pasti sudah capek dan lapar ya. Ayo makan dulu, ibu sudah sediakan makanan!” ajak istrinya.
“Iya, Bu. Tapi aku mau mandi dulu nih. Badanku sangat kegerahan,” ucap Kakek Gio sambil membawa handuk dan pergi ke kamar mandi. Namun melihat kamar mandi, air di baknya sudah tinggal sedikit Kakek Gio bergegas menimba air dari sumur dan mengisi baknya sampai penuh. Maklumlah, Kakek Gio masih menggunakan timba untuk mendapatkan air karena belum memasang listrik untuk memakai airnya.
Selesai mandi, Kakek Gio menghampiri meja makan. Istri dan anaknya sudah menunggu di meja makan. Sebelum makan tak lupa mereka berdoa dan mereka pun makan dengan lahap walau dengan lauk seadanya. Ketika istrinya sedang membereskan piring-piring kotor bekas makan mereka, terdengar pintu diketuk dari luar. Kakek Gio membuka pintu dan mempersilakan masuk. Pak Tito, tetangganya membawa keresek dan sepiring makanan.
“Ini Kek, ada sedikit makanan. Tadi siang kami memetik hasil kebun kami.”
“Wah…. terimakasih Pak. Alhamduliliah… mudah-mudahanBapak selalu diberikan rezeki berlimpah… Aamiin…”
“Iya, Kek…sama-sama ya Kek. Aamiin…” Pak Tito pun berpamitan pulang.
Kakek Gio membuka bungkusan itu yang isinya pisang ambon, manggis dan sepiring kue-kue yang enak. Mereka pun menikmati makanan tersebut.
Perut telah kekenyangan, Kakek Gio merasa sudah mengantuk lalu pergi tidur merajut mimpi di malam yang semakin sepi.
Hari yang terus berganti. Kakek Gio masih setia dengan becaknya yang telah menemaninya selama puluhan tahun.
Suatu hari, Kakek Gio mengayuh becaknya melewati sebuah kampus. Seorang mahasiswa memanggil dan menghampirinya. Rupanya dia seorang mahasiswa dari fakultas kedokteran gigi.
Sambil naik becak, mereka berbincang-bincang. Dan mahasiswa itu pun menanyakan apakah Kakek Gio mau menjual giginya. Pada awalnya, mungkin Kakek Gio menganggapnya bercanda.Tapi rupanya mahasiswa itu serius bahkan memberikan tawaran harga yang lumayan untuk ukuran tukang becak seperti Kakek Gio.
Akhirnya, Kakek Gio pun tergiur dan bersedia menjual giginya. Ditemani mahasiswa itu, Kakek Gio menemui temannya yang sudah jadi dokter gigi. Dan gigi depannya pun benar-benar sudah terjual.
Kakek Gio pulang membawa uang hasil dari menjual giginya. Dan dia bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Istri dan anaknya bisa membeli makanan enak, hingga keperluan lainnya. Gara-gara diajual gigi, sampai beberapa hari, Kakek Gio dapat memberíkan asupan gizi cukup untuk keluarganya.
Namun seiring berjalannya waktu, dan zaman membuat perubahan yang teramat cepat. Alat transportasi yang baru yang terjangkau dan semakin canggih mengalahkan segalanya. Mengalahkan alat transportasi seperti tukang becak yang dipunyai Kakek Gio.
Kakek Gio termenung di depan rumahnya. Memandangi jalanan berdebu, jalan yang penuh kerikil tajam. Hari-hari teramat berat dijalaninya. Hari itu dia tidak punya satupun bahan makanan. Dia dan istrinya jadi gelisah. Terpaksa mereka berutang lagi pada warung sebelah untuk sekilo beras. Meski utangnya sudah banyak, yang punya warung tetap berbaik hati memberikannya.
“Pak…. kita tak mungkin terus begini. Ibu ingin Bapak cari kerja yang lain saja kalau bisa,” saran istrinya sambil memasak nasi.
“Bu….Bapak juga tahu, topi zaman sekarang orang sudah sangat jarang mau naik becak lagi, Bu. Mereka sudah punya kendaraan sendiri dan bahkan sekarang kan banyak kendaraan online. Bapak masih pikirkan untuk bekerja yang lain…” Kakek Gio berusaha menyabarkan hati istrinya.
Karena mengingat makin beratnya kebutuhan hidup yang harus ditanggung, Kakek Gio kembali menemui mahasiswa yang menerimanya untuk menjual gigi. Setelah gigi keduanya tanggal, Kakek Gio bisa pulang ke rumah dengan membawa uang untuk anak istrinya. Berhari-hari tercukupilah kebutuhan hidupnya.
Semenjak itu, Kakek Gio seperti tidak mempunyai cara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan terus menjual gigi-giginya. Hingga akhirnya tak ada satu gigi pun yang tersisa.
Betapa getir hidupnya, sampai harus mengorbankan semua giginya. Lebih getir lagi tak berselang lama, istri dan anaknya pun tiada. Tinggallah Kakek Gio seorang diri. Hanya becak itu masih setia menemaninya.
Bahkan rumahnya pun telah dijual, hingga dia jadikan becak sebagai tempat tinggal. Jika dia merasa perlu hiburan, dia suka ikut nongkrong bersama orang-orang di sebuah warung. Mereka berkumpul dari berbagai latar belakang kehidupan mulai dari tukang becak, seniman dan masyarakat kecil lainnya.
Di warung itu mereka berkumpul saling bercerita menumpahkan kegetiran hidup masing-masing tanpa kemarahan dan caci maki.
Kakek Gio pun tak pernah marah atau menyesali keadaan ini. Mungkin batinnya penuh luka dan derita, namun dia tetap tegar menghadapinya.
Kebetulan warung itu sangat dekat dengan bekas rumahnya. Dia selalu mampir ke warung itu hanya sekadar melepas rindu atau mengenang kebersamaan dengan keluarganya. Tak terasa air matanya menetes, seakan kepedihan terpancar di sana.
“Kek… ini kopinya lekas diminum. Nanti keburu dingin.”suara pemilik warung membuyarkan lamunannya. “Iya….terimakasih Bu….”
Kakek Gio menghapus air matanya dan meraíh cangkir kopi di depannya. Perutnya juga sangat lapar, maka dipasanglah gigi palsunya untuk mengunyah makanan. Sepiring nasi dan lauknya telah tandas. Dia masih duduk di warung itu sambil melepas gigi palsunya. Dia kehilangan giginya untuk sebuah pengorbanan menghidupi keluarganya. Namun entah, mungkin pengorbanan ini akan jadi sia-sia jika nasibnya tidak juga berubah.
Hari telah menjelang maghrib. Kakek Gio bergegas pulang walau entah ke mana kakinya kan melangkah. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik dan burung malam yang terasa memilukan. Langkahnya makin tak pasti dan kemudian hilang ditelan kegelapan malam. ***
falah
kok bs Tembus pikiran rakyat gmn caranya? apa emang udah kenal ama org pikuran rakyatnya?