TAKDIR sepertinya punya dendam kesumat yang tak kunjung putus pada Redo.
Ia telah merasakan pilu sejak hari kelahirannya. Lahir dari keluarga yang menjadi contoh sentral orang paling melarat di kampungnya. Keluarga pedagang yang tak kunjung mengenal laba. Alih-alih untung, utang selilit pinggang malah menjerat. Karena itulah, hasil dagang kedua orang tuanya hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Meski dunia Redo saat kecil sama dengan dunia anak-anak pada umumnya; bermain dan menghabiskan hari hingga petang, tapi sehabis senja Redo turut membantu orang tuanya membungkus kerupuk goreng untuk dijajakan ke pasar, pada pagi hari.
Kebiasaannya membantu orang tua sehabis senja hingga malam ini dilakukan sampai kelas tiga sekolah menengah pertama. Lantaran itu, ia acap terlelap dalam kelas dan dimarahi guru dan dianggap anak pemalas dan tak pantas ditiru.
Meski tak pernah tinggal kelas, dan selalu berada di deretan sepuluh besar, di belakang rapornya sehabis ujian selalu terdapat catatan; Redo sebenarnya anak yang pintar, tapi etikanya sangat buruk karena selalu tidur saat guru menerangkan, dan sangat pemalas maju ke depan kelas. Mohon bapak/Ibu memberi pencerahan di rumah.
Redo tak pernah memberi tahu gurunya bahwa ia sibuk membantu orang tua di rumah. Baginya itu bukan alasan. Karena itu sama saja mengutuk nasib orang tuanya.
Selepas dari bangku SMP, Redo dimasukkan ke pesantren, karena kedua orang tuanya sudah tak sanggup lagi membiayai sekolah di tempat umum. Kebetulan, di pesantren yang Redo masuki, membebaskan seluruh biaya untuk anak tidak mampu, kecuali biaya membeli kitab.
Di sinilah perseteruannya dengan hidup makin terasa betul.
Saat mula-mula menjadi santri, Redo selalu dicibir lantaran baju dan sarung yang dipakainya itu ke itu saja. Malah, ada yang berlagak nabi membelanya, bahwa Redo sebenarnya punya banyak baju dan sarung, hanya saja warnanya sama semua. Pembelaan yang tersirat maki di dalamnya, dan ia sadar betul akan hal itu.
Jangankan baju, bahkan kitab pun ia harus meminjam pada temannya, karena alasan yang sama dengan semula: orang tuanya tak mampu membeli kitab. Jika tidak boleh, ia terpaksa mengintip-ngintip kitab teman yang duduk di sampingnya, supaya dapat menyimak apa yang dibaca ustad di meja muka.
“Kuat-kuatkan hatimu, Nak,” kata ibunya suatu saat saat berkunjung. “Kau harus mengerti keadaan ibu dan ayah. Kami benar-benar tak kuat membeli kitab,” imbuh ibunya menguatkan.
“Iya, Bu,” ucapnya tersedu. Tak ada pilihan lain. Ia harus kuat melawan takdir yang berat, dengan tubuh kecilnya.
Beruntung selama waktu berjalan, lambat laun ia mulai terbiasa. Orang-orang pun mulai paham dengan keadaan Redo. Tak jarang senior memberinya kitab secara cuma-cuma. Kadang kala ada masanya di mana ia mesti menahan niat untuk belanja selayaknya santri-santri lain, demi membeli beberapa kitab di luar pelajaran, untuk menambah khazanah dalam pustaka otaknya.
Meski pun tetap ada beberapa orang yang masih sinis pada Redo, tapi ia telah berhasil mengubur setiap sindiran, cacian, dan hinaan orang di palung terdalam hatinya. Ia terus fokus belajar dengan giat. Lantaran itu ia tumbuh perlahan-lahan jadi salah satu santri yang dibanggakan oleh majelis guru.
Setamat dari pesantren dengan predikat memuaskan, lagi-lagi takdir tak berpihak padanya. Teman-teman seangkatannya banyak yang melanjutkan studi ke bangku kuliah. Ia sendiri sebenarnya dinyatakan lulus tes melanjutkan kuliah bidang tafsir hadist, di sebuah kampus yang cukup ternama di Bukittinggi, tapi karena kesulitan ekonomi, ia terpaksa mengubur mimpi itu.
“Apakah tak masalah bagimu, tidak kuliah sebagaimana teman-temanmu yang lain, Nak?” tanya ibunya.
“Tak mengapa, Bu.”
Tapi ibunya tahu betul, bahwa dalam hati, Redo tengah tersedu-sedan, “Ini semua salah kami, Nak. Kami tak mampu menjadi orang tua yang layak untukmu. Aku sakit-sakitan. Ayahmu hanya pedagang biasa yang kadang membawa laba, tapi lebih sering derita.”
“Sudahlah, Bu. Tak patut disesali,” jawab Redo menatap ibunya, “Aku masih bisa kuliah tahun depan. Sekarang aku bekerja dulu, untuk membantu ibu dan ayah membiayai sekolah Irfan.”
Ibunya menangis. Redo berusaha menenangkan dengan mengusap-usap punggung ibunya, “Sudahlah, Bu.”
“Tapi kau telah berusaha dengan sekuat hati belajar di pesantren, dengan melulur semua derita yang bukan salah, tapi kini semuanya sia-sia.”
“Siapa bilang begitu, Bu. Ini aku. Anakmu yang dulu tak kenal bismillah, sekarang telah mampu tegak berdiri salat hingga tahiyat akhir,” ujar Redo dengan muka sumringah, “tak ada yang sia-sia diberi Allah, Bu. Nyamuk saja ada gunanya.”
Bunyi derap langkah besar datang dari luar rumah.
“Assalamualaikum.”
Redo, adik, dan ibunya serentak menjawab salam.
“Ai, mengapa kalian belum makan.”
“Kami menunggu ayah,” jawab Irfan, adik Redo. “Astaga,” ujar ayahnya memegang kepala Irfan.
“Baiklah, mari kita makan.” Keluarga pedagang yang tak pernah mengenal laba ini pun mulai makan malam, dengan doa pembuka dari Redo.
***
Lagi-lagi, takdir sepertinya punya dendam kesumat yang tak kunjung putus pada Redo. Sebulan setelah tamat dari pesantren, ibunya yang sejak dua tahun lalu sakit keras dan hanya diobati dengan resep dari puskesmas, mengembuskan napas terakhirnya sehabis Salat Ashar.
Redo tak ada di rumah saat itu, karena tengah bekerja di sebuah toko baju.
Di sepanjang perjalanan pulang, ia terus memaki-maki takdir yang berulang kali menghantuk kepalanya ke sanding tajam batu kehidupan. Ia berkendara dengan putus asa. Penglihatannya kelam. Seakan di jalan hanya ada dia seorang.
Sesampai di halaman rumah, keranda putih telah memberi pesan ngilu pada hatinya, bahwa ibu tempat ia selama ini mengadukan gundah hati telah pergi untuk selamanya. Ibu yang menjadi tempat segala nyeri dipulangkan telah dipanggil Yang Kuasa.
Ia masuk ke rumah dengan air mata berlinang. Ia cium kening ibunya. Setelah berhasil menenangkan diri, Redo lalu menenangkan adiknya yang masih kecil, yang menangis tak henti-henti sedari tadi.
Badan Redo yang kurus benar-benar hampir kalah melawan takdir yang berat, tapi deritanya tak sampai di situ.
Seminggu setelah kepergian ibunya, ayahnya turut pula kabur entah ke rimba mana. Ia ditinggalkan dengan adik kecil yang masih mengharapkan kasih sayang kedua orang tua. Tak ada yang dapat dilakukan Redo. Sungguh. Bahkan tangis sekali pun sudah tak sanggup lagi mengabarkan betapa beratnya beban hidup yang akan dipikulnya di hari-hari muka.
Lebih-lebih ayahnya juga meninggalkan utang sebanyak lima juta. Utang yang memaksa Redo menggerakkan tulang empat kerat—kaki dan tangan—yang hanya dibalut kulit, supaya penagih kasar yang selalu membentak dirinya setiap senja di depan pintu rumah tak lagi menampakkan muka. Bulan-bulan berlalu dikangkangi tahun.
Berkat Tuhan dan kegigihan bekerja, utang ayahnya berhasil ia lunasi dan adiknya pun dapat melanjutkan sekolah. Namun, sejak kematian ibu, ia tak pernah lagi menikmati senja. Ia membencinya. Baginya, senja adalah nasib buruk yang melipat mega dan mengantar manusia pada dua tempat: jika tidak ke alam mimpi, maka sudah pasti ke alam kubur.
ANDREAS MAZLAND. Lahir di Banda Aceh, 21 Juni 1997. Menulis esai, puisi, dan cerpen. Bergiat di Lapak Baca Pojok Harapan. Sebuah komunitas literasi di Kota Padang.
Leave a Reply