Cerpen Ardy Kresna Crenata (Koran Tempo, 21-22 April 2018)
Di dalam cerita itu, si tokoh utama kembali ke kota kelahirannya setelah 15 tahun lamanya. Bentangan waktu sepanjang itu telah membuatnya melupakan begitu banyak hal tentang kota tersebut; bahkan seolah-olah ia telah berusaha menghapus kota itu dari ingatannya, sehingga yang tersisa hanyalah bayangan-bayangan samar yang hampir mustahil dikenali oleh dirinya saat ini. Ia, misalnya, tidak lagi ingat nama jalan yang selalu ia lalui saat bersepeda ke sekolah di pagi hari, tulisan di plang sebuah konbini [1], tempat ia kerap masuk hanya untuk mengademkan diri, atau sebuah famiresu [2], di mana ia dan beberapa temannya kadang bertemu untuk bertukar kisah lucu dan tertawa-tawa. Dan tertawa-tawa dan tertawa-tawa. Kehidupan yang kujalani sebagai seorang remaja di kota ini sepertinya tidak buruk. Begitu ia mencoba meyakinkan dirinya. Namun satu hal: ia, dirinya saat ini, tidak melihatnya sebagai sesuatu yang berharga.
Ia meninggalkan kota kelahirannya untuk mengejar karier di Tokyo. Pada awalnya ia mengikuti ujian masuk sebuah universitas swasta di sana; bukan yang terkenal, tapi ia tak peduli selama itu masih di Tokyo. Ia lolos dan memulai perkuliahan sambil mencari arubaito [3]. Setelah mendapatkannya—ia bekerja sebagai salah satu pramuniaga di sebuah toko buku tak begitu jauh dari tempat ia tinggal—ia ternyata, seperti yang ia duga, lebih menikmati menjalani hari-harinya sebagai si pramuniaga alih-alih si mahasiswa. Di universitas yang tidak terkenal itu, ia mengambil jurusan sastra. Bukan berarti ia penyuka atau penikmat sastra. Ia hanya menilai itulah yang paling cocok untuknya saat itu.
Segera setelah ia memiliki cukup banyak uang untuk seorang perempuan lajang yang tak menjalin hubungan percintaan dan selalu menahan diri untuk tak berbelanja dan mempersolek diri, ia memutuskan untuk mengalokasikan uangnya itu, sebagian besar, untuk mengikuti semacam kelas acting di belahan Tokyo lain. Inilah yang memang semula direncanakannya; langkah awal dari karier yang sedang ia kejar di kota besar tersebut; sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat dari ibunya karena perempuan keras kepala itu pastilah tak akan mengizinkan kepindahannya ke Tokyo jika ia sampai mengendus hal ini. Ia terus menabungkan uang dari arubaito dan terus melakukannya hingga dinilainya ia akan cukup aman setidaknya untuk tiga-empat bulan. Kuliahnya hampir ia telantarkan. Kelas acting itu sendiri, sementara itu, tak pernah ia lewatkan meski kadang perjalanan kereta yang cukup jauh membuatnya lumayan lelah dan mengantuk.
Pada bulan keduanya mengikuti kelas acting tersebut, di kawasan di sekitarnya, ia mulai mencari tempat tinggal baru.
***
Ibunya tak pernah tahu bahwa ia mengikuti kelas acting itu. Ibunya tak pernah tahu ia menelantarkan kuliahnya dan sempat terpaksa mengambil cuti satu tahun karena tak mungkin bisa mengejar materi maupun tugas untuk menjalani ujian semester. Ibunya tak pernah tahu, tak pernah sedikit pun tahu, uang bulanan yang masih terus dikirimnya itu dipergunakan anak semata wayangnya untuk membeli sejumlah buku dan DVD dan baju-baju dan apa pun itu yang tengah dengan tekun ia dalami—seni peran itu.
Kebetulan arubaito-nya yang baru memberinya lebih banyak uang dari yang sebelumnya; hampir tiga kali lipat jika dihitung per bulan. Ia saat itu bekerja di sebuah kelab malam sebagai salah satu hostes [4]; enam hari seminggu ia bekerja, dari menjelang petang hingga tengah malam. Alasan ia mengambil pekerjaan itu, selain karena bayarannya cukup tinggi dan ia bisa mengenakan pakaian-pakaian “bagus”, adalah karena ia merasa di tempat itu ia bisa mengasah kemampuan acting-nya. Dan tebakannya itu tepat sasaran. Di matanya, hostes adalah sebuah profesi yang mengharuskanmu menyembunyikan dirimu rapat-rapat dan memunculkan dirimu yang lain, dirimu-dirimu yang lain, tentu saja yang kira-kira akan cocok dengan pelangganmu, dengan lelaki-lelaki yang menghampirimu dan mencoba-coba merayumu dan bahkan merabamu, dan bahkan mengajakmu untuk berkencan di luar jam kerja dan setelahnya menginap di love hotel—dan berhubungan seks. Ia tak pernah berkeberatan dengan tatapan-tatapan liar lelaki-lelaki pelanggannya itu saat mereka berdekatan. Tidak peduli, lebih tepatnya. Ia berada di sana untuk mengasah kemampuan acting-nya, bukan untuk menikmati apa yang dilakukannya.
Ia beruntung karena di bulan pertamanya bekerja di kelab tersebut ia telah mendapatkan tiga pelanggan tetap, masing-masing dengan pembawaan dan penampilan yang berbeda, dengan cara bicara dan spesifikasi obrolan yang juga berbeda. Ini benar-benar sebuah kesempatan emas bagiku. Begitu ia pernah berkata kepada dirinya. Pengalaman dua semester sebagai mahasiswa sastra dan kemauannya membaca buku—apa pun itu—banyak membantunya dalam hal ini. Kendatipun ia tidak benar-benar memahami apa yang tengah dibicarakan si pelanggan, misalnya, ia bisa mengakalinya dengan membawa si pelanggan itu bermain-main dalam semacam labirin logika; ia akan sedikit mengulang apa yang telah dikatakan si pelanggan lantas mempertanyakan sesuatu hal dan terus seperti itu dan terus seperti itu; atau ia akan bercerita tentang sesuatu yang dikarangnya sendiri tapi ia menceritakannya seakan-akan sesuatu itu benar-benar terjadi, seakan-akan itu benar-benar dialaminya. Si pelanggan kadang terdesak atau bingung, dan mulai terlihat bosan atau jengkel, tapi persona yang dihadirkannya selalu mampu membuat mereka kembali santai, kembali luluh dan melunak, dan obrolan pun berlanjut dan berlanjut. Ia cepat meraih popularitas di kelab malam tersebut. Beberapa hostes yang iri mulai menggunjingkannya di ruang ganti, kadang ketika ia pun masih ada di sana, seperti dengan sengaja ingin mengusiknya. Namun ia tak peduli. Sama sekali ia tak peduli. Di tempat itu, sekali lagi, ia ada untuk mengasah kemampuan acting-nya, bukan untuk menikmati apa yang dilakukannya.
***
Di titik ini, mari kita mengambil jeda. Kita tidak akan menceritakan lebih jauh apa-apa yang dihadapi si tokoh utama dalam upaya mengejar karier sebagai aktris. Selain itu akan terlalu panjang, kita juga memang tak perlu melakukannya; dan detail tersebut juga tidak penting-penting amat untuk dituangkan di sini—sebuah ruang yang relatif lebih pendek. Si penulis mungkin memiliki maksud tersendiri dengan menghadirkan secara detail apa-apa yang dihadapi si tokoh utama, namun kita sebagai pembaca tentu berhak memiliki maksud kita sendiri, pertimbangan kita sendiri, sehingga kini ketika kita menceritakan lagi cerita tersebut, kita menyajikannya dalam wujudnya yang agak lain. Aku kira itu bukan masalah, dan karenanya tak perlu dipermasalahkan. Si penulis sendiri toh tak akan menyalahkan kita sebab ia mestilah tahu persis posisinya sebagai pengarang tidak memungkinkannya untuk membatasi perlakuan-perlakuan kita atas ceritanya itu. Ia belum mati, memang, tetapi cerita itu bukan lagi sepenuhnya miliknya.
Alih-alih lanjut bercerita tentang pengalaman si tokoh utama hingga menjadi sesosok aktris ternama, kita akan kembali ke titik awal.
***
Ia telah menginjakkan kakinya lagi di kota kelahirannya, setelah 15 tahun lamanya. Baru saja ia meninggalkan stasiun dan kini ia, sambil membenamkan kedua tangan dalam posisi mengepal di saku mantel, sambil sesekali mengembuskan napas-napas panjang, terus menoleh ke kanan dan ke kiri, menyisir lanskap kota ini seperti sedang berusaha mengingatnya, merekamnya kuat-kuat di dalam ingatannya. Tetapi tentu yang dilakukannya adalah sebaliknya. Ia sedang berusaha membangkitkan kembali ingatan-ingatannya tentang kota ini, membangkitkannya hingga ingatan-ingatan itu berdiri layaknya patung yang utuh dan kokoh di hadapannya, sehingga ia bisa memandanginya dari dekat dan merabanya, merasakan teksturnya dan lekukan-lekukannya, dan mungkin kehangatannya—jika ada.
Aneh sekali, pikirnya. Ia telah menjalani hidup di kota ini selama lebih dari 15 tahun, tapi semua itu terasa palsu. Ia bahkan tak bisa memastikan apakah udara yang ia hirup ini, juga pohon-pohon dan rumah-rumah yang menyambutnya ini, juga warna langit dan gumpalan-gumpalan awan ini, adalah hal-hal yang pernah ia nikmati dulu. Anehnya, ia merasa masih hafal jalan ke rumahnya—rumah ibunya. Sementara sepasang matanya menerawang memandang ke benda-benda jauh, sepasang kakinya khidmat melangkah dan melangkah, begitu harmonis, seakan-akan keduanya memiliki kesadarannya sendiri.
Ia ingat sebuah film yang pernah tak sengaja ditontonnya dulu; dulu ketika ia belum memulai debutnya sebagai aktris. Ia tak ingat judul film itu, siapa saja pemainnya, bahkan cerita keseluruhannya, tetapi satu scene ia ingat betul. Sepasang kaki, sepasang kaki seorang perempuan dengan sepatu hak tinggi berwarna merah, menjadi satu-satunya sosok yang muncul di layar dan terus seperti itu hingga lebih dari sepuluh menit. Sepasang kaki bergerak maju secara bergantian yang menandakan si perempuan sedang berjalan. Jalannya biasa saja; tidak cepat tidak lambat. Dan entah kenapa ritmenya selalu sama; seolah-olah si perempuan bukanlah manusia, melainkan android yang tengah mengaktifkan lingkaran bercahaya di atas kepalanya.
Di tengah ia menikmati scene aneh itu, di dalam kepalanya seperti meletus sebuah gelembung sabun, dan darinya terlahir atau terdengar kata-kata ini: kita tidak pernah hidup sebagaimana selama ini kita pikir kita hidup, seperti halnya kita tidak pernah ada sebagaimana selama ini kita pikir kita ada…
Kini, kata-kata tersebut kembali terlahir di dalam kepalanya, kembali terdengar olehnya. Samar saja. Tetapi tidak ada gelembung sabun yang meletus. Dan di hadapannya bukanlah layar dengan scene yang monoton itu. Ia tersenyum. Ia merasa tengah berada di dalam sebuah film yang pernah ia mainkan. Film yang mana? Judulnya apa? Ia di situ sebagai siapa? Ia tak memikirkannya. Ia sedikit pun tak ingin memikirkannya.
Tak jauh di hadapannya sebuah rumah yang dulu pernah tinggali. Ia mengenalinya, meski wujud rumah itu telah banyak berubah: terlihat begitu tua, dan kusam; seperti tak lagi dihuni sejak tiga-empat tahun lalu. Sepasang kakinya berhenti. Masih dengan kedua tangan mengepal dan tersembunyi di saku mantel, ia menatap rumah itu lekat-lekat.
***
Ia tidak ingat kapan ia mulai membenci ibunya. Bisa jadi setelah ia tahu bahwa apa-apa yang dikatakan ibunya tentang ayahnya adalah kebohongan. Selain sebuah foto close up resmi yang dipasang di altar, ia tak sedikit pun punya gambaran tentang ayahnya. Sewaktu ia SD kelas dua, ibunya memberitahunya bahwa ayahnya meninggal saat ia masih berumur dua tahun; karena itulah wajar saja ia tak memiliki bayangan apa pun tentang lelaki itu. Mungkin ia yang duluan bertanya. Ia tidak ingat.
Namun ia ingat bahwa di tahun terakhirnya di SMP, setelah melakukan pencarian amatiran yang didorong oleh rasa ingin tahu yang timbul dari ketidakpuasan atas hidup yang dijalaninya (baca: ia sering tiba-tiba merasakan sedih saat melihat seorang anak kecil tengah bermain dengan ayahnya atau ketika mendapati sebuah keluarga “lengkap” yang tampak bahagia atau saat teman-teman sekolahnya bercerita tentang kekonyolan ayah mereka atau yang lainnya), ia menyimpulkan: ayahnya itu tidak mati. Ia terus melakukan pencarian dan akhirnya kesimpulannya menjadi kira-kira seperti ini: ayahnya itu memang pergi ketika ia masih sangat kecil dan belum bisa mengingat dengan baik, namun yang dimaksud pergi di sini bukanlah mati, tetapi pergi. Ia meyakini ayahnya pergi meninggalkan ibunya untuk mengejar kesenangan duniawi dengan perempuan lain; perempuan yang tentunya lebih muda dan lebih segar dan lebih menggairahkan dari ibunya. Umur ayahnya dan ibunya terpaut delapan tahun—ayahnya yang lebih muda. Ketika ibunya melahirkannya, usia perempuan itu sudah tiga puluh tujuh tahun.
Selama dua tahun lebih bayangan-bayangan tentang kepergian ayahnya itu senantiasa hidup di dalam kepalanya, di dalam dirinya. Ia memang telah mengambil kesimpulan, tetapi ia merasa kesimpulan itu masih harus dibuat lebih kuat, lebih meyakinkan, lebih bisa dijelaskan secara logis dan karenanya mudah diterima olehnya—sepahit apa pun itu. Dan di tahun ketiganya di SMA, ia mengembangkan kesimpulannya itu menjadi sebuah narasi seperti ini: Ayah pergi dengan perempuan lain, seseorang yang jauh lebih muda dari ibu, ketika aku masih sangat kecil—2 atau 3 tahun. Ibu tidak bisa menerima itu, tetapi juga tak bisa melakukan apa pun untuk menahan Ayah; di saat yang sama ia tak sanggup menanggung rasa sakit—mungkin juga rasa malu—akibat ditinggalkan oleh seseorang yang dicintainya dengan cara seperti itu, seburuk itu. Dan begitulah Ibu mengarang cerita: Ayah mati karena terlalu gila bekerja dan hampir-hampir tak beristirahat; dan itu tentunya demi aku dan Ibu. Di rumah, Ibu menyiapkan dengan sangat baik sebuah altar untuk ayah, dan setiap hari ia berdoa di depan altar tersebut untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa memang itulah yang terjadi. Dan ketika aku sudah mulai bisa mengingat dengan baik, segala sesuatunya telah seperti itu.
***
Di hadapan jenazah ibunya, mencermati rupa perempuan itu yang menurutnya sedikit terlalu tua untuk umurnya yang sebenarnya, ia tersenyum. Namun senyum yang ini tidak sama dengan senyum yang tadi. Ia tidak lagi merasa sedang berada di sebuah film yang pernah ia mainkan. Justru, film itu telah selesai, atau ia menjelma menjadi kenyataan, menjadi realitas, menjadi hidup itu sendiri.
Tak lama setelah ia berada di rumah ini, terlebih lagi saat ia melihat sosok ibunya setelah 15 tahun lamanya, bayangan-bayangan tentang masa lalunya di kota ini mulai memadat, mulai menunjukkan bentuk-bentuk yang konkret, mulai memaksanya untuk mengenalinya satu per satu. Ia ingat di dapur ibunya pernah memasak karee [5] dan ia iseng mengaduk-aduknya sendiri lantas menambahkan beberapa potong biskuit cokelat ke dalam panci tanpa sepengetahuan ibunya. Ia juga ingat di suatu musim dingin ia dan ibunya saling membenamkan kaki di kotatsu [6], sambil menonton sebuah acara lawak di televisi dan bertukar cerita lucu dan lainnya. Dan tentu saja ia pun ingat, di hari terakhir ia berada di rumah ini, di kali terakhir ia dan ibunya berhadapan dan saling menatap mata, ia mengatakan bahwa ia tidak akan pernah lagi kembali ke rumah ini; tidak akan pernah, sampai akhir hayatnya.
Ibunya yang biasanya galak dan tegas, yang biasanya keras kepala, kali itu hanya menatapnya sayu, seperti telah hampir habis nyala api di matanya, seperti ia pun tak lagi memiliki kata-kata untuk diucapkan. Setelah beberapa lama mereka hanya saling menatap, ibunya akhirnya sedikit tersenyum, meski matanya masih sayu. Dan perempuan itu berkata, “Begitu.” Hanya itu.
Mengingatnya kini, ia merasa di dalam satu kata itu tercampur banyak hal: keputusasaan, kemarahan, penyesalan, kebahagiaan, kesedihan, kebimbangan, ketakutan, kebencian. Ia meninggalkan ibunya dan benar-benar meninggalkannya. Ia meninggalkan rumah ini dan kota kelahirannya ini dan benar-benar meninggalkannya. Dan 15 tahun pun berlalu. Selama itu ibunya tak pernah berusaha menghubunginya, dan ia pun begitu. Dan selama itu ia hidup tanpa memikirkan ibunya, dan ia pikir ibunya pun begitu. Bahkan ikatan ibu-anak di antara mereka pun di matanya sudah tak lagi ada; sudah terlalu tipis dan terlalu samar untuk dianggap ada. Tak pernah tebersit di benaknya, sedikit pun tak pernah, bahwa ibunya telah sejak lama berpesan kepada seorang tetangga, barangkali teman bicaranya selama ini, untuk menghubunginya jika kelak ia mati—seperti apa pun kematiannya itu.
“Aku dulu ingin sekali menjadi aktris karena kupikir dengan itu aku bisa membuat diriku lupa bahwa hidup yang kujalani bukanlah hidup yang kuinginkan. Aku menjadi orang-orang lain. Aku menjalani kehidupan-kehidupan lain. Aku menjalani… kehidupan-kehidupan lain.”
Dan kini ia mengerti: ia tidak pernah menjalani sebuah kehidupan sebagaimana selama ini ia pikir ia menjalaninya.
Bogor, 2018
Catatan:
[1] convenience storea
[2] family restaurant
[3] kerja paruh-waktu
[4] perempuan di klub yang bertugas menemani pelanggan mengobrol.
[5] curry
[6] meja yang diperlengkapi dengan penghangat; digunakan di musim dingin.
Ardy Kresna Crenata tinggal dan bergiat di Bogor. Kumpulan ceritanya, Sebuah Tempat di Mana Aku Menyembuhkan Diriku (Diva Press, 2017).
Leave a Reply