Cerpen Wawan Setiawan (Jawa Pos, 29 April 2018)

Wilayati ilustrasi Budiono/Jawa Pos
“LIBUR itu berkah. Konflik itu musibah. Heran, aku bisa kerja tabah.”
Wilayati berpuisi di sawah kampung halamannya. Ketika itu, ia baru menerima surat pensiun. Ia tak pernah berpikir tentang arti libur. Namun sekarang ia sudah menikmatinya. Dengan lahap, sisa mata, telinga, hidung, dan kulit menyerap panorama kampung halaman.
Di desa bersawah itu ia menginap di rumah sepupu, yang juga teman masa kecil. Rumah tepat di pinggir sawah. Depan rumah jalan sirtu, sebelah depannya lagi rel kereta api. Dulu, waktu kecil, kereta yang lewat lokonya hitam, bahan bakarnya balok-balok kayu. Orang kampung menyebutnya sepur grung. Karena klaksonnya berbunyi grung. Sekarang keretanya mesin diesel. Bunyi klaksonnya mirip bunyi terompet tahun baru. Sepur grung sudah lama pensiun, jadi penghibur di museum.
Ia ingat betul pesan almarhum suami. “Bagaimanapun situasinya jangan sekali-kali pensiun dini. Meski mengabdi itu bisa di mana saja dan kapan saja, jangan sekali-kali pensiun dini.” Kelebat-kelebat konflik di kantornya masih terasa. Di kantor orang sering konflik namun sering juga panen uang.
“Hidup hanya sekali. Ingin dibahagiakan itu lucu. Kebahagiaan seperti kematian, peristiwa khas. Subjektif. Mengherankan jika ada orang iri kepada orang bahagia,” bisiknya menegas.
Setahun sebelum pensiun dari Dinas Pertanian, suami Wilayati wafat, komplikasi ginjal. Dua putrinya sudah nikah. Bersama suami, mereka kerja di kota lain. Wilayati sendiri lagi seperti semula. Kata orang, kesendirianlah teman sejati. Sedang sepupunya tanpa anak, pensiunan kepala SD. Suami sepupu yang petani utun itu juga lebih dulu wafat. Hipertensi-stroke memeluk mesra.
“Matahari, di tempat suamiku yang baru, apakah kau seterang ini juga?” tanya Wilayati di pagi hening pinggir sawah.
“Ya, terang. Malah lebih terang,” jawab Matahari pendek.
“Mengapa?”
“Kan di sana lebih dekat dengan Tuhan.”
“Oh iya. Betul juga. He he… Terangnya bagaimana di sana?”
“Bergantung mata yang memandang.”
Wilayati terkejut. Bagaimana mungkin terang Matahari ditentukan oleh yang melihat? Mestinya ditentukan Matahari sebagai penguasa. Baru mata mengikuti terangnya. Tapi benar juga, mata sakit dan mata sehat hasil lihatnya lain.
“Ya Matahari. Aku mengerti.” Cahaya bundar itu semakin cerah. Cahayanya merayap-rayap di atas bulir-bulir padi. Rayapannya meluas.
Wilayati lebih tenang ketika Matahari berkata di alam baru suami juga ada kehadirannya. Kalau di sana Matahari lebih terang, karena lebih dekat dengan Tuhan, buat apa takut kesuraman setelah kematian? Sebab cerita kegelapan itu berabad mencengkeram mata yang rindu cahaya.
Kaki Wilayati yang mulai keriput melangkah kecil sepanjang pematang. Almarhum suami dulu memuji kakinya karena mungil seperti kaki kijang. Tapi sekarang itu sudah dan harus lewat. Kakinya sudah sering memijak tanah makam saat takziah. Tanah sawah memang beda dengan tanah makam. Melangkah di tanah makam rasanya lebih berat. Sebaliknya kalau melangkah di pematang sawah. Pematang sawah seakan berterima kasih merasakan tapak-tapak kakinya.
Kemeriahan kecil akan terjadi. Sawah siap panen sebentar lagi. Tapi entah kenapa ada debar di hati saat peristiwa tiga bulanan itu menepi. Mengapa hatinya tiba-tiba berdebar? Bukankah sawah ini milik sepupu? Dengan sepupu tak ada hubungan milik. Apalagi rebutan warisan.
“Aku ke sini untuk berlibur. Tidak untuk yang lain-lain. Lihat itu pohon kelapa yang padat buahnya. Kacang panjang berjajar di pematang siap petik buah dan daunnya. Dan di sini aku masih bisa menikmati regukan sunyi di akhir hari,” Wilayati seperti mengigau.
“Sebenarnya tanpa konflik pun aku bisa hidup dengan baik. Sampai sekarang pun, boleh dikata, aku bisa bernapas dengan normal, berpikir dengan moral.” Hatinya membenarkan pikirannya.
Tapi mengapa rasanya seperti ada sesuatu yang tak nyaman akan datang. Oh ya, di timur sana ada bukit kecil. Orang desa menyebutnya gumuk. Itu dulu punya kakeknya. Bukit itu ada sumber airnya. Karena perlu uang, bukit itu dijual ke pejabat lokal. Harga di bawah standar. Pejabat lokal itu sekarang sudah di alam sana bersama kakek. Cucu pejabat lokal sering meneleponnya agar membeli lagi sang bukit. Ia butuh uang, seperti kakek dulu.
Tentu saja uang pesangon Wilayati tidak cukup untuk membeli lagi bukit itu. Biarlah bukit itu memperbarui dirinya tanpa pengawasan pemilik lama. Pemilik baru pasti sudah tahu merawatnya apalagi jika dihubungkan dengan ujaran ramah lingkungan.
Sepulang dari sawah akhirnya ditemukan penyebab gelisahnya.
“Kenapa kamu tidak bilang-bilang kalau perlu uang?”
“Kamu habis kesripahan. Aku malu mengatakan. Dan sakitku tak mungkin harus terus kutahan,” bela sepupu.
“Kamu sakit tidak bilang-bilang juga. Takut kewibawaan runtuh?”
“Sudah niatku tak ingin merepotkan.”
“Aku dulu kamu bantu saat sakit. Sekarang kamu menghindar dari bantuanku. Sombong.”
“Bukan sombong. Memang aku belajar untuk mengurangi beban keluarga besar kita.”
“Kamu sudah sering meringankan bebanku. Bukan sebaliknya.”
Percakapan akhirnya berhenti dengan sendirinya. Pesona mimpi menghias tidur pulas. Bulan bundar di sawah berkisah sampai pagi.
***
Dinginnya pagi segar, kicau kutilang ramah, tak membuatnya gairah. Untuk apa bermanja di sawah siap panen, saat luka membuka lagi.
Sepupunya telah menyewakan sawah satu hektare itu untuk tiga kali panen. Katanya, sepupu perlu uang untuk sakit kandungannya. Sayangnya dia tidak memberi tahu sebelumnya. Biasanya sepupunya itu serba terbuka pada soal-soal penting hidupnya. Tentu sepupu merasa bahwa itu miliknya, dan menyewakan adalah haknya. Karena itu, tak perlu rundingan panjang untuk memutuskan sebuah peristiwa kecil!
Ketika Wilayati berkuliah ia sering dikontak oleh Arjuna (desa) itu untuk kelaknya membangun rumah tangga yang hidup. Dengan senang Wilayati mengiyakan. Komunikasi berjalan lancar, disambung sejumlah pertemuan. Namun sang Arjuna kemudian berbelok arah. Alasannya, Arjuna tak sanggup melawan orang tua yang menjodohkannya dengan putri otoritas desa.
Nasib sudah diketuk. Orang tua Wilayati menghiburnya dengan memberikan arahan ini dan itu sehingga Wilayati tetap di kota. Kampung halaman kemudian sungguh-sungguh menjadi kenangan sampai rumah tangganya akhirnya ajur. Apalagi hidup sekadar mimpi. Dan kecewanya lebih terasa setelah tahu menantu otoritas desalah yang merayakan panen tiga bulanan itu.
***
Wilayati tercenung di rumahnya memandangi pohon kelor yang daunnya untuk sayur bening. Ada pisang kayu yang kalau direbus rasa buahnya keset. Dua tumbuhan itu hadiah almarhum ayahnya yang petani utun. Juga ada beberapa mangga, sirsat, blimbing, srikaya, yang sudah banyak kali berbuah. Pohon-pohon itu hadiah dari teman kantor suaminya. Tuhan, lewat tanah di rumahnya yang seribu meter persegi ini, telah mengabulkan doanya. Hijaunya mewakili hijau kampung halamannya.
“Mau apa aku sekarang? Ya, mau apa? Di rumahku ada rumahku, pohon, dan juga aku. Ya, mau apa aku sekarang? Apa aku harus menjadi petani buah di pinggiran kota ini? Atau aku harus pulang kampung merenungi masa jaya keluarga? Oh, sekarang tak ada lagi masa itu!”
Wilayati menatapi pohon kelor yang buahnya panjang-panjang. Nama buahnya klentang. Kalau disayur asem rasanya kecut-kecut segar. Tapi tak ada lagi kini yang perlu disentuh. Ia ingat ujaran guru sastra SMA-nya dulu.
“Tangan manusia cenderung panas. Hati-hatilah saat menyentuh sekitarmu.”
Cukuplah dua kalimat itu yang tak pernah sirna dari kalbu. Betapapun kuatnya sebuah rindu.***
Surabaya, Maret 2018
Wawan Setiawan, dosen FBS Unesa, Surabaya.
Leave a Reply