Cerpen Deni Dwi Eriyana (Radar Surabaya, 06 Mei 2018)
ARMIN kecil di sana bersama tangan-tangan mungilnya bermain kelereng di tepian rel kereta api yang telah menjadi arena bermain. Hidup sebagai anak haram jadah tanpa bapak dan terlahir dari seorang pelacur, permainan kanak-kanak itu merupakan anugerah tak terkira di zaman serba sulit seperti sekarang. Setelah peristiwa laknat itu, Surti tak lagi berkeliaran dalam remang-remang café di Kalijodo itu. Hidup terlunta-lunta dan akhirnya menempati bedeng-bedeng non permanen di pinggiran rel kereta api untuk menyambung hidup.
Melahirkan Sarmin tanpa seorang bapak terasa berat bagi Surti, tidak tempat tinggal jelas dan penghasilan tak tentu membuat ia rela jadi kaum urban yang overload di ibu kota. Jakarta tak lagi menjadi ibu kota kejam, tapi menyiksa penduduk legal di dalamnya. Surti rela mengais sampah mencari botol plastik atau koran-majalah bekas untuk ditukar recehan rupiah demi sebungkus nasi atau mi instan tiap harinya. Terkadang Surti menjadi buruh cuci door to door di kampung sebelah. Apa pun dilakukan Surti demi Sarmin anak semata wayangnya. Dijalani dengan halal, tidak lagi jalan haram layaknya masa lalu.
Surti tak mau menghidupi Sarmin dari uang haram, dan terus menanamkan doktrin pada anaknya bahwa hidup harus terus dilalui biarpun berat sekali pun.
“Nak, carilah penghidupan buat dirimu. Janganlah kau ambil hak orang lain biarpun kau kelaparan.”
Itu yang selalu diucapkan berkali-kali kepada Sarmin tiap malam, ketika Surti selalu mendongeng cerita nina bobo. Mendendangkan kidung senja menenangkan jiwa-jiwa suram dan tak kembali dalam raganya. Berharap matahari terus bersinar esok hari tanpa padam.
Surti sendiri tak ingin Sarmin hidup tanpa pengetahuan yang cukup buat mengarungi bahtera yang mungkin sewaktu-waktu oleng. Sarmin tumbuh dengan cerdas untuk anak seumuran, matanya yang bulat, kulit putih turunan ibunya dari ras Sunda dan rambut ikal. Kritis keingintahuan dan gampang menyerap apa pun di sekitarnya. Pendidikan adalah hal yang mahal bagi mereka miskin, tapi bukan pada akal.
Surti tak bisa menyekolahkan Sarmin ke bangku sekolah. Biaya tetek begek dan tiada surat keterangan resmi bagi dia dan Sarmin. Pendatang gelap yang tak tercatat dalam sebuah lembaran dilaminating macam akte, KTP atau KK tak pernah ia punyai. Mereka ini hanya menumpang hidup, tak tahu kapan berhenti mati.
Beruntung di negeri ini ada yang peduli. Relawan-relawan dari penjuru antah berantah membangun rumah asuh dan pendidikan buat anak jalanan macam Sarmin. Dia pun bisa mendapatkan pendidikan dan makanan gratis dari sana. Bahkan terkadang dibawa pulang untuk emaknya.
Tiap pagi para relawan selalu mengajarkan baca tulis kepada anak-anak jalanan di bantaran sungai Ciliwung. Sarmin paling antusias untuk menyimak semua kata-kata yang keluar dari mulut mereka, bahkan menceritakan dongeng untuknya. Baracus muncul dari kerumunan relawan itu dengan cara unik menyampaikan sebuah legenda dari jazirah Arab. Laila Majnun memakai boneka kayu. Mereka memanggilnya master puppet Baracus.
Layak sang dalang, Baracus begitu lincah memainkan karakter boneka kayu ciptaannya sendiri.
“Dahulu kala di negeri berselimutkan padang pasir itu, terdapat kisah cinta yang sedih dan gila tentang anak manusia Laila dan Majnun. Memandu kasih tak tersampingkan.”
Baracus menceritakan kisah yang ratusan tahun sebelum munculnya Romeo Juliet atau Galih Ratna. Qais menjadi Majnun (orang gila) mencintai Laila dalam usia dini. Mereka dimabuk asrama, tapi tak direstui ayah Laila. Majnun berkeliaran di bukit dengan pakaian compang-camping sambil mendendangkan puisi-puisi cinta untuk Laila. Mereka tak pernah dipertemukan oleh takdir. Laila dijodohkan hingga meninggal dalam kuburnya.
“Majnun mendengar itu langsung jatuh luluh bersimpuh dan berlari mencari makam Laila. Tiap meratapi di depan nisan Laila dan meregang nafas terakhirnya di sana.”
Tutup Baracus secara tragis tapi memukau Sarmin, ia berandai-randai bahwa suatu hari nanti menemukan “Laila”-nya sendiri. Sarmin pun pulang dan menceritakan kembali tentang Laila Majnun kepada emaknya.
“Mak, aku mau cari Laila-ku.”
Surti hanya terdiam sejenak dan kaget. Anak balita macam Sarmin sudah berpikir sejauh ini dan terlalu dewasa seumurannya.
“Nak, janganlah kau terlalu dalam dunia pikiranmu.”
“Kenapa Mak?”
Surti tak menjawab. Pertanyaan itu seperti membalikkan masa lalu dulu. Dicampakkan oleh seorang lelaki dengan dongeng-dongeng di kepalanya dan berkelana mengembara tak pernah kembali. Dikarenakan pada rasa itu akan membunuhmu.
Tiap orang selalu mempunyai mimpi yang perlu dikejar, Sarmin pun begitu. Kisah-kisah itu mengilhami Sarmin untuk mencarikan Laila-nya, ke mana kaki melangkah. Di jalanan, perempatan lampu merah atau gerbong kereta api sebagai tempat Sarmin bertanya, “Di manakah Laila-ku berada?”
Itu saja di dalam korteks otaknya, anak seumur itu terus menjelajahi rumah tanpa atap miliknya. Bermain dengan teman-teman yang Sarmin temui di sana dan ada selalu menarik hatinya. Mince teman sepermainan Sarmin, kebetulan bertemu di tempat sama, di rumah asuh relawan. Di mana ia mendapatkan dongeng-dongeng itu. Mince sama seperti Sarmin. Kemiskinan yang membuat kaki-kaki kecil itu berserakan di aspal jalan. Bekerja di jalan jadi pengamen, menyemir sepatu atau menjajakan asongan demi sejumput kebahagian yang mungkin tak ada di keluarga mereka.
Sarmin sering melirik Mince, malu-malu. Tapi dia tak mengganggap Sarmin tak lebih dari teman. Layaknya perempuan dini lainnya, Ambar mempunyai impian sendiri. Ia ingin pergi jauh ke tanah seberang yang orang-orangnya memuja matahari terbit, hidup di dunia khayalan. Komik-komik anime bergambar itu juga menjadikan dongeng baginya.
“Aku mau pergi dan tinggal di sana.”
“Kenapa kau ingin ke sana, kenapa tidak di sini?”
“Di sini bukan tempat kita Sarmin, di sana tempatku.”
Sarmin tak tahu alasan Mince mempunyai keinginan akan perihal tersebut. Laksana mimpi ke bulan dan mewujudkannya. Setelah itu Sarmin tak mendengar kabarnya lagi. Konon perempuan kecil telah tumbuh dewasa dan meraih mimpinya ke Negeri Matahari Terbit itu. Tersiar kabar di masa depan, dia mengubah namanya menjadi Saori untuk menjadi artis cosplay dan akhirnya beralih ke JAV, karena industri legal yang menguntungkan di sana. Tak lama kemudian meregang napas tersendat air mani saat melakukan adegan bukkake dengan 30 pria sekaligus.
***
Langit bergemuruh di tengah rinai hujan rintik-rintik membasahi bantaran rel bis. Deru gerbong kereta beserta goncangan menjadi kenikmatan tersendiri bagi para penghuninya. Penggusuran adalah momok kaum urban yang menggantungkan dirinya kepada ibu kota macam Jakarta. Dan hari ini, Surti dan Sarmin adalah pagi yang sial bagi mereka. Di sana telah siap buldozer-buldozer beserta antek-anteknya bersiap dengan tongkat pentungan dan tameng di tangan.
Suara-suara teriakan dan caci maki menggelora menentang mereka. Tak rela untuk digusur dan merasa tanah ini milik leluhur.
“Kami tak sudi pindah dari sini!”
“Ini tempat kami beranak pinak dan mencari penghidupan!!”
“Kami rela bersimbah darah untuk mempertahankan tanah air ini!!”
Celoteh-celoteh kasar tak digubris kawanan berhelm di ujung jalan itu. Semua mencoba menahan amarah dan nafsu yang sudah di atas ubun-ubun. Siapa yang disalah atau dibenarkan, emang ini tanah negara dan telah dipetak-petak bertahun-tahun tanpa peraturan yang jelas. Bahkan dibangun beton, diberikan listrik dan disewa untuk pendatang gelap. Banyak oknum bermain di sini, penarikan retribusi dan berbagai keperluan tak resmi. Tak terkecuali Sarmin dan emaknya.
Hidap tak sepenuhnya indah bagi mereka yang terjerat kemiskinan abadi atau memang sudah garis keturunan. Sebuah negosiasi tak berjalan mulus. Perwakilan masing-masing ngotot untuk tidak mengalah dan tidak ada jalan keluar. Siapa yang memulai? Provokasi lemparan-lemparan batu mulai bersahutan dan para ibu demo, hingga hanya berkutang dan ber-sempak ria menghalau bola baja buldozer itu yang mulai menggilas atap-atap seng karatan rumah mereka. Merobohkan batu bata tersusun acak tak beraturan.
Semburan maut merangsek ke depan tanpa komando. Gerombolan manusia di sana saling adu jontos, otot, pukul hingga hujan benda tumpul terbang berseliweran tanpa diundang. Kaum proletar itu tak berdaya digesek dan ditekan tangan-tangan besi. Deburan debu-debu berterbangan membuat kabut ilusi.
Semua ketakutan tak terkecuali Sarmin dan emaknya. Terbayang di muka mereka bahwa akan kehilangan gubuknya. Ke mana lagi akan berlari? Tempat itu saja mereka berlabuh dari kekerasan ibu kota dan ada lainnya. Surti mencoba menenangkan Sarmin yang mulai berkaca-kaca terkena gas air mata yang dilontarkan petugas di sana. Dengan nafas sesak tersengal-sengal, Surti mencoba menuntun Sarmin keluar dari desakan dan dorongan massa yang sudah dipenuhi amarah memuncak. Semua tak mau mengalah dan tetap mempertahankan ego masing-masing yang jluntrung-nya nihil.
Gebukan dan hantaman popor senapan menghajar memukul mundur para pendemo aksi di bawah jembatan kumuh. Teriakan-teriakan itu menjadi lautan kesedihan yang pedih.
“Sarmin, lari!!”
“Sarmin pergi dari sini!!”
Itu teriakan terakhir yang didengar Sarmin saat emaknya diinjak-injak kerumunan. Hal yang dilakukan Sarmin hanya lari menjauh dari tempat kelahiran dan kepulan asap meruntuhkan dan merobohkan rumah mereka. Orang-orang mengira Sarmin mendengar suara emaknya terakhir kali, tapi itu bukan. Karena Surti sudah bergelimpangan darah di tanah dan mati saat ia lari. ***
.
.
Surabaya, Juli 2017
Deni Dwi Eriyana adalah lulusan Jurusan Perpustakaan FISIP Universitas Airlangga (Unair).
.
Langit Itu Tak Lagi Tegak Lurus. Langit Itu Tak Lagi Tegak Lurus. Langit Itu Tak Lagi Tegak Lurus. Langit Itu Tak Lagi Tegak Lurus.
Leave a Reply