Cerpen Nurfathi Robi (Media Indonesia, 13 Mei 2018)
IBU jadi sering mengunci kamar. Pernah suatu ketika karena ada keperluan yang mendesak, dan kupikir ibu sedang pergi pada waktu itu, aku membuka pintu kamarnya yang tidak terkunci dengan begitu saja. Kudapati ibu sedang sesenggukan di depan cermin. Wajahnya merona merah dan matanya bengkak. Maka kutanya mengapa ibu menangis, beliau memelukku, tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Bahkan tak sempat mengusap air matanya.
Sementara itu, kuperhatikan ayah menjadi seorang pelamun akut. Ambang pagi dan lembayung sore ayah habiskan di teras rumah. Sering kupergoki matanya sedang melangit, tapi tidak menangkap apapun. Sedangkan mulut dan hidungnya selalu berasap. Setelah ayah meloloskan rokoknya sebatang, menyalakannya, mengisapnya berulang-ulang, lalu mengandaskannya pada asbak, ayah meloloskan sebatang lagi, menyalakan, menikmati, kemudian mengandaskannya lagi. Demikian puluhan batang tandas hanya dalam sekian waktu.
Tetapi di kesempatan lain, bila ibu tidak mengurung diri dan ayah tidak sedang merenung, mereka berdua sangat cerewet. Ibu akan memarahiku bila aku bangun kesiangan, atau bila aku malas-malasan mempersiapkan sarapan. Pun aku merasa perintah ayah semakin keras. Aku dilarangnya ini dan itu. Pergi ke pasar, ke rumah teman, atau berkunjung ke tempat-tempat yang kuinginkan, selalu ada ayah dan motornya yang mendecit.
Aku tahu asal-muasal segala perubahan yang terjadi di rumah baru-baru ini: Bulan Besar mendatang, aku berusia 23 tahun. Lazim bagi perempuan seusiaku untuk mempersiapkan diri pergi ke Pasar Pintu. Ya, Pasar Pintu, tempat di mana puluhan bahkan ratusan pintu dari berbagai jenis kayu dijual dengan berbagai harga.
“Amilia, kesempatanmu pergi ke Pasar Pintu hanya sekali.” Kata-kata ibu melalang buana di kepalaku. Perasaanku menjadi tak menentu: jika kesempatan pergi ke Pasar Pintu ini hanya sekali, kadang aku berharap semua perkara mengenai Pasar Pintu dapat ditunda ke Bulan Besar berikutnya. Aku belum siap.
Namun hari selalu melangkah ritmis, semua bayangan buruk yang menyertainya muncul semakin pekat. Aku mengeluhkan hal itu kepada ayah. Ia selalu menjadi tempatku bercerita ketika aku merasa kedua bahuku terlalu berat untuk ditopang. “Semua akan lebih mudah bagi ayah bila anak ayah laki-laki, Amilia. Ayah hanya perlu membantu anak ayah untuk membuat pintu yang baik. Kau tahu ayahmu ini tukang kayu yang terampil. Di Pasar Pintu, ayah juga bisa mengamati calon-calon pembeli pintu, seperti yang dilakukan kakek.”
Ayah bercerita mengenai kakek yang membanting harga pintu buatan ayah hanya karena tergetar melihat calon pembeli yang berpakaian buluk, yaitu ibu. “Jujur, ayah sempat membenci kakek karena segala usaha ayah akhirnya dihargai dengan sangat murah. Tetapi setelah kamu lahir, ayah tahu Tuhan mengutus malaikat terbaiknya untuk memberkahi hidup ayah, Amilia.”
Aku berdebar-debar ketika ayah mengantarku melalui jalan yang berbelukar dan berkelok-kelok. Aku tidak bicara sepatah kata pun. Demikian juga ayah, aku yakin sekali tengah terjadi peperangan di kepalanya. Akhirnya kami sampai di depan gapura bambu semipermanen. Di sebelah gapura itu terdapat plang besi yang menyatakan suatu nama. Aku telah tiba di muka Pasar Pintu. Dua laki-laki muda bertubuh besar menatap kedatanganku dengan tajam. Aku mendekat, salah seorang membuka gerbang, sedangkan satu orang lagi menghentikan ayah.
“Mohon maaf. Batas pengantar,” katanya dengan suara yang buas.
Laki-laki yang membukakan gerbang mempersilakanku. Aku diingatkan untuk tidak menghentikan langkah. Kulihat ayah yang sedang berdebat dengan perjaga gerbang semakin mengecil di pandanganku.
Aku ingat, aku belum mengatakan apapun kepada ayah, mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja, mengatakan bahwa cerita-ceritanya, segala aturannya, sudah cukup bagiku untuk menjaga diri di Pasar Pintu. Aku belum menenangkan dan meyakinkan ayah untuk percaya kepadaku, kepada pilihanku nanti. Walaupun, hatiku tidak benar-benar yakin apakah aku bisa memilih, dan pilihanku nanti akan memuaskan ayah dan ibu.
Tiba-tiba sebuah tangan menarik tanganku. Orang itu adalah seorang perempuan tua, cebol, serta bertubuh gempal. “Sampeyan sebaiknya terus berjalan,” katanya sambil menggandeng tanganku.
Aku memanggilnya Mbok Cebol, bukan maksudku untuk mengejek tubuh atau usianya, hanya saja dia berbicara banyak hal tanpa menyebutkan namanya satu kalipun. Dia mengaku bekerja sebagai pemandu bagi para pengunjung Pasar Pintu. Aku mengingat-ingat kembali cerita ibu, apakah pernah beliau menyinggung mengenai keberadaan pemandu. Tapi nihil, entah apakah aku yang luput mengingat, atau ibu sendiri tidak pernah menceritakannya. Maka demi kemaslahatan, aku bersikap cukup hati-hati.
Sepanjang jalan, Mbok Cebol terus saja mengoceh. Bicaranya blak-blakan. Nadanya ramah, meski kadang-kadang terasa dipaksakan. Dia menunjukkan denah Pasar Pintu, di mana letak kios-kios penjual pintu, di mana letak tenda istirahat, letak penjaja makanan, hingga di mana tempat aku bisa membuang hajat alam. Aku hanya mendehem panjang mendengarkan jabarannya. Tiba-tiba ia berhenti, menatapku dalam-dalam.
“Sampeyan baru pertama kali datang kemari?” tanyanya kepadaku.
“Iya.”
“Jarang-jarang saya ini memandu perawan. Sering-seringnya dapat janda atau mengaku perawan, tapi begitu saya pegang tangannya, saya tahu liangnya sudah jebol. Begini-begini pengalaman saya banyak. Saya tahu mana orang yang jujur, mana yang ngibul.”
Nada bicara dan tatapannya seolah menyelidikku.
“Tapi sampeyan ini orang jujur, bahkan polos. Orangtua sampeyan pasti mempersiapkan sampeyan masak-masak. Oh iya, saya belum tahu nama sampeyan.”
“Amilia.”
“Oh, nama sampeyan bagus. Kalau diberi kesempatan, anak saya akan saya beri nama seperti nama sampeyan.”
Dia diam begitu lama, matanya melayap ke sekeliling. Aku yang kebingungan pun ikut-ikutan melihat sekeliling. Ia menarik tanganku lagi, langkah kami lemparkan perlahan-lahan.
Pasar Pintu benar-benar lapang, tapi terasa sesak karena orang-orang berjejalan. Perempuan-perempuan hilir mudik dari kios ke kios. Telingaku penuh dengan suara hiruk pikuk perempuan. Aku juga mendengar suara tangis anak dan rengek bayi. Pandanganku pergi ke arah sumber suara. Aku menjadi saksi seorang ibu tengah menyusui anaknya. Rupanya benar kata Mbok Cebol, yang datang ke Pasar Pintu tidak hanya gadis.
“Nah, Nduk Amilia. Saya hanya bisa mengantarkan sampeyan sampai sini. Saya harap sampeyan tidak kebingungan harus menuju kemana.”
Aku mengangguk.
“Saya pamit dulu, Nduk. Tapi bolehkah saya mengingatkan sampeyan?”
“Apa ada yang perlu saya ketahui lagi, Mbok?”
“Aduh, jangan panggil saya mbok. Saya masih muda.”
Mbok Cebol kembali menembak mataku, matanya melebar, aku merasa seolah-olah ditatap oleh seorang ibu.
“Begini, Nduk Amilia. Saya berpesan jangan sekali-kali sampeyan bersikap curang dan culas. Kalau mau jadi pencuri, silakan oleh sampeyan diandai-andaikan saja, tapi jangan dilakukan. Sampeyan tidak mau menjadi seperti mereka.”
Mbok Cebol menunjuk perempuan-perempuan yang tengah digelandang oleh keamanan pasar. Muka mereka hitam seperti jelaga, berjalan menunduk-nunduk, memegangi perut mereka yang bunting. Dan kudengar keamanan pasar memaki-maki mereka dengan bahasa yang kasar sekali. Aku berempati, entah mengapa berempati kepada para perempuan yang berjumlah lima orang itu membuatku merasa seperti ditelanjangi. Aku malu bukan main.
“Mereka maling. Mereka kirik-kirik culas. Zalim kepada diri sendiri dan kepada orang tua mereka. Biadab tidak tahu diuntung,” Mbok Cebol melanjutkan dengan geram sekali.
“Apa mereka akan dipenjara, Mbok?”
“Tidak ada mekanisme penjara di Pasar Pintu. Akan tetapi, biasanya mereka, yang mencuri, justru tidak mau pulang dari sini.”
“Kenapa, Mbok?”
“Mereka malu!”
Aku memperhatikan para pencuri itu sampai mereka menghilang ke dalam sebuah tenda. Aku merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di dadaku. Pikiranku saling berperang antara kolase satu dengan kolase lain. Air mata meleleh di pipiku. Aku ingin pulang. Tapi aku tersadar ketika aku merasakan genggaman pada tanganku lepas. Aku mencari Mbok Cebol ke sekeliling. Tapi ia telah lenyap. Seperti ayahku, kepada Mbok Cebol pun aku tidak mengucapkan terima kasih. Dan, aku menyesal tidak minta ditunjukkan pintu keluar.
Nurfathi Robi merupakan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Ia bergiat di Komunitas Selepas Senja dan Teater Mishbah.
Leave a Reply