Cerpen Aris Kurniawan (Tribun Jabar, 13 Mei 2018)

Membunuh Monyet ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
Tiga puluh tahun kemudian aku membunuh si Monki. Dengan kebencian dan kemarahan yang sulit diredam aku memberinya pisang yang telah kuolesi racun ganas. Sorot matanya menatapku sebelum kepalanya jatuh terkulai di pangkuanku. Suara nguik monyet lucu itu pada detik-detik terakhir hidupnya yang tragis akan mengiang di kupingku sepanjang sisa usiaku.
Entah berapa tahun sudah usia Monki ketika aku menamatkan riwayat hidupnya. Dia hidup bersama kami sejak aku kanak. Ayah membawanya ke rumah untuk memenuhi janji menghadiahiku seekor monyet pada ulang tahunku yang kedelapan. Usiaku hampir menginjak kepala empat sekarang. Ayah dan ibuku telah menjadi sepasang pensiunan yang mulai pikun dan mengisi kegiatan sehari-hari mereka dengan mengurus pot kembang di pekarangan, nonton tivi, dan ngobrol tentang masa muda yang telah mereka lewati, ditemani si Monki.
Si Monki berasal dari Taman Wisata Plangon di lereng Gunung Ciremai. Dia dibawa secara diam-diam dari sana, sebab kalau terang-terangan tidak akan diperkenankan petugas taman wisata. Sejak pertama melihat si Monki ketika suatu hari sekolahku mengadakan piknik ke taman wisata berisi kawanan monyet itu, aku langsung terpikat dan ingin membawanya pulang. Dia berbeda dengan kawan-kawannya, bulu-bulu kelabunya lebih terang dan bersih. Sorot matanya seakan mengerti maksud ucapanku.
Selalu ada saja ulah pintar menggemaskan si Monki yang jadi bahan pembicaraan ayah dan ibuku yang sering diulang-ulang tanpa bosan, diselang-seling mengomentari berbagai tayangan televisi, mulai dari berita politik, acara dakwah agama, gosip artis, kisah-kisah kiriminal yang ditayangkan secara bersambung seperti drama seri. “Dasar perempuaan penggoda,” kata ayahku mengomentari gosip perselingkuhan artis. “Bukan salah si perempuan. Laki-lakinya juga tak setia! Nggak seperti si Monki,” timpal ibuku. Perdebatan yang sejujurnya membuatku sebal dan berpikir betapa sia-sianya memasuki usia pensiunan.
Semuanya memang telah berubah. Pembantu di rumah kami sudah belasan kali silih berganti. Tetapi tidak dengan si Monki. Monyet itu seperti tak tersentuh waktu. Tubuhnya tetap mungil, bulu-bulunya yang kelabu masih terang bersih seperti waktu pertama kali kulihat di Taman Wisata Plangon. “Dia memang bukan monyet biasa,” kata ayahku, suatu hari. “Lihat matanya,” seru ibuku seraya terkekeh. Aku tak terlalu peduli mereka sekadar bergurau atau sungguh-sungguh mengatakan itu.
Menurut cerita yang berkembang dari mulut ke mulut orang-orang tua di desa kami, monyet-monyet yang menghuni Taman Wisata Plangon hidup abadi. Mereka percaya, jumlah monyet-monyet itu tak pernah bertambah tidak pula berkurang sejak dulu kala. Entah bagaimana cara mereka menyensusnya.
Monki menjadi saksi kehangatan keluarga kami. Monkilah yang masih setia menamani ayah dan ibuku setelah kakak-kakakku satu per satu pacaran, menikah, dan akhirnya berlesatan keluar rumah menempuh jalan hidup dan kesibukan sendiri-sendiri. Hubungan Monki dengan ayah dan ibuku makin akrab, saling memahami, seolah bukan lagi hubungan antara manusia dan hewan piaraannya.
Kami membuatkan kandang untuk Monki di samping rumah. Ayah membeli papan kayu mahoni dan menyuruh tukang membuatkan kandang yang menarik, lengkap dengan pintu dan lubang angin. Kandang itu dibuat hanya untuk menunjukkan bahwa kami memberikan tempat yang layak untuk si Monki. Karena pada praktiknya kami membebaskan si Monki berkeliaran sesukanya di mana pun di rumah kami. Dia bisa nongkrong atau bergelayutan di dahan dan ranting pohon mangga depan rumah, pada saat lain jalan-jalan atau tiduran di sofa ruang tamu, bahkan tak jarang berkeliaran di dapur untuk meminta jatah makan. Seperti monyet-monyet lain, makanan favoritnya pisang dan kacang-kacangan.
Ibuku menaruh buah-buahan di dalam keranjang dan diletakkan di ambin di ruangan dapur kami yang luas. Ke sanalah Monki akan mengambil sendiri buah jatah makannya. Monki tidak begitu saja mengambil pisang atau kacang-kacangan yang kami sediakan untuknya. Dia akan lebih dulu mengeluarkan suara menguik sebagai isyarat minta izin.
Selain si Monki, dulu di rumah kami memelihara kucing dan anjing. Seperti para pembantu kami, mereka juga datang dan pergi, sampai tak tersisa sama sekali. Bisa karena dicuri, kabur menempuh jalan hidup sendiri, atau mati lantaran usia tua. Aku keluar rumah sejak lulus kuliah dan bekerja di Jakarta. Paling sering sekali dalam dua bulan mengunjungi ayah dan ibuku. Biasanya aku datang pada sore hari dan mendapati mereka sedang duduk di beranda, ngobrol sambil melihat tingkah lucu si Monki yang memang selalu cari perhatian. Monyet itu benar-benar menjadi hiburan yang mampu mengusir kesepian mereka. Mengobati kesedihan karena anak dan cucunya memilih tinggal di rumah mereka di kota-kota lain yang saling berjauhan.
Sekarang, kalau aku datang, mereka hampir tak pernah lagi bertanya atau merisaukan mengapa pada usiaku sekarang masih melajang. Seakan bagi mereka, aku menikah atau tidak sepenuhnya jadi urusanku sendiri. Yang keluar dari mulut mereka adalah cerita tentang tingkah si Monki yang membuat mereka terkekeh sendiri. Waktu kedatanganku dua bulan yang lalu, mereka bercerita si Monki berhasil menghalau tikus yang hendak mencuri tempe di dapur. “Si Monki menggebuknya pakai gagang sapu,” kata ibuku seraya tertawa renyah sampai air matanya menetes.
Demikian pula si Monki, begitu melihatku muncul di depan pintu pagar, dia segera berlari menyambutku, seraya mengeluarkan suara menguiknya dengan nyaring tangannya menggapai-gapai seperti ingin memelukku. Aku segera membopongnya dan membelai-belai kepalanya. Sejak dulu si Monki memang lebih nurut kepadaku dibanding kepada penghuni rumah yang lain. Aku dan Monki seakan punya ikatan emosi. “Monki itu kakakmu datang,” seru kakak-kakakku meledek kedekatan hubunganku dengan Monki.
Ketika baru punya rumah sendiri di Jakarta aku pernah berniat membawa serta si Monki. Namun dengan berbagai pertimbangan, terutama sikap ayah dan ibuku yang keberatan karena telanjur sayang kepada Monki, aku membatalkan niatku.
“Jangan aneh-aneh. Siapa yang akan merawatnya kalau kamu kerja. Bisa-bisa si Monki diculik orang, dijadikan pengamen topeng monyet!” sungut ibuku. Ibuku benci sekali dengan rombongan sirkus topeng monyet.
“Kalau kangen, kamu kan bisa pulang.” Betul kata ibuku. Seperti harapan ibuku, selama ini aku selalu berusaha pulang ke rumah menjenguk ayah dan ibu dan si Monki. Namun sejak kegagalanku menikah untuk kesekian kali, hampir dua Lebaran aku tak pernah pulang menjenguk mereka. Karena aku tiba-tiba membenci si Monki. Aku tak ingin melihat tampangnya.
Hubunganku dengan si Monki masih baik-baik saja sampai beberapa bulan yang lalu. Masih sangat menggemaskan dan menghiburku. Bahkan dia menjadi salah satu alasan kepulanganku. Tapi kini perasaanku telah berubah. Aku mencurigainya. Malah tebersit niat membunuhnya.
***
TIGA kali aku batal naik ke pelaminan. Pertama dengan Desi. Gadis pintar adik tingkatku itu menjadi pacarku selama dua tahun. Pada tahun ketiga kami berpisah justru ketika aku hendak melamarnya. Alasannya sungguh tak masuk akal, membenci kegemaranku memelihara monyet. “Aku tak keberatan kamu memelihara hewan. Tapi bukan monyet,” ujar Desi. Dia tak mau mendengar penjelasanku.
Kegagalanku yang kedua tak jauh berbeda penyebabnya. Risa, gadis yang kutemui ketika iseng main di Kebun Binatang Ragunan, memutuskanku lantaran jijik melihatku terlalu perhatian dan akrab dengan monyet.
“Aku mungkin masih bisa memaklumi kamu memelihara anjing!” kata dia. Aku tersinggung dan di antara kami terjadi pertengkaran hebat yang menghancurkan rencana pernikahan kami yang hanya beberapa minggu lagi. Aku menyesal tak mampu mengendalikan kemarahanku.
Aku merasa terpukul dan mendapati kepercayaan diriku mengempis; aku bérkubang begitu dalam di palung kesedihan. Hatiku remuk dan nyaris tak dapat rekatkan kembali. Aku membawa kesedihanku kepada seorang dukun. Kepadanya kuceritakan kegagalanku. Dia menerawang nasibku, lalu berkata bahwa penyebab semua ini adalah si Monki.
“Selama hewan piaraanmu itu masih hidup, kamu akan tak akan pernah dapat jodoh! Monyet setan itu menghalangi jodohmu!” kata dukun itu. Terus terang aku ingin menampar dukun berkepala botak ini begitu ia selesai memberi saran. Aku menyesal dengan ketololanku mendatangi seorang dukun. Aku menyingkirkan jauh-jauh gagasan membunuh si Monki. Tak ada hubungannya kegagalanku menikah dengan si Monki, sergahku.
Tapi omongan dukun itu menggema terus dalam kepalaku. Membuatku berat sekali pulang menjenguk ayah dan ibu dan si Monki. Aku takut membayangkan tiba-tiba secara tak sadar membunuhnya seperti saran dukun itu.
Aku bertemu dengan Arini beberapa bulan sejak gagasan membunuh si Monki mengganggu pikiranku. Aku pacaran dengan gadis pendiam dan misterius penjaga kantin di gedung sebelah kantorku itu. Namun dia menghilang begitu saja setelah dua bulan kami pacaran.
Malam sebelum esoknya tak dapat dihubungi, Arini menceritakan ayahnya sangat membenci monyet. “Aku tahu kamu senang memelihara monyet. Aku tak boleh menghentikan kesenanganmu. Tapi aku takut melukai perasaan ayahku,” kata Arini.
Seperti anaknya, ayah Arini seorang pendiam. Sebelum menikah dengan ibu Arini yang ditemuinya di Taman Wisata Plangon suatu hari menjelang maghrib, lelaki itu adalah seorang bujang lapuk yang sering diolok-olok oleh teman-temannya. “Ibuku meninggalkan kami saat aku masih kecil. Sampai sekarang aku tak pernah tahu siapa ibuku. Kata seorang nenek misterius di Taman Wisata Plangon, ibuku seekor monyet pelarian,” kata Arini menjelaskan muasal kebencian sang ayah kepada monyet.
“Melihat monyet seperti melihat musuh bebuyutan. Monyet membuat Ayah teringat pengkhianatan Ibu,” ujar Arini. Sampai sekarang aku tak tahu apa hubungan monyet dengan pengkhianatan ibunya kepada mereka. Yang jelas sejak itu aku memercayai omongan orang pintar itu dan benar-benar ingin membunuh si Monki.
“Kamu bisa membunuh hewan setan itu dengan cara meracuni makanannya.”
***
AKU menyimpan bangkai si Monki di bekas kamarku dulu. Membungkusnya dengan kain kafan dan meletakkanya di kolong ranjang. Ayah dan ibuku sedang pergi kondangan pernikahan keponakannya. Sebentar lagi mereka pulang dan pasti akan bertanya ke mana si Monki. Itulah masalahku sekarang. Bagaimana menjelaskannya kepada mereka.
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon, 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen dan puisinya yang telah terbit: Lagu Cinta untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2005) dan Lari dari Persembunyian (Komunitas Kampung Djiwa, 2007).
Leave a Reply